Saturday, December 22, 2007

Hegemoni Asing pada Bank Swasta Nasional


M Fajar Marta


Pada tahun 2004, kelompok bank swasta mengambil alih dominasi perbankan dari tangan bank-bank pemerintah. Sejak itu, pertumbuhan bank swasta makin melaju tanpa mampu terkejar lagi. Hegemoni bank swasta bakal makin dominan pada masa mendatang mengingat sebagian besar dari mereka telah mantap dengan fokus bisnisnya.

Prospek bank swasta semakin cerah karena hampir seluruh bank swasta papan atas telah dikuasai lembaga-lembaga keuangan internasional yang memiliki modal kuat dan berpengalaman bersaing di tingkat global.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai aset kelompok bank swasta nasional (71 bank) per September 2007 sebesar Rp 754,56 triliun atau memiliki pangsa sebesar 41 persen terhadap total aset perbankan nasional senilai Rp 1.850,56 triliun.

Aset bank-bank swasta tumbuh 19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kelompok bank pemerintah berstatus BUMN yang sebelumnya merajai industri perbankan memiliki aset Rp 656,15 triliun, atau memiliki pangsa aset sebesar 35 persen.

Dibandingkan tahun lalu, aset Bank BUMN hanya tumbuh sekitar 13 persen. Kelompok bank lainnya, seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan kelompok bank asing serta bank campuran, masih berada jauh di bawah, masing-masing pangsa asetnya hanya sebesar 9,20 persen dan 13,40 persen.

Karena sebagian besar bank swasta papan atas dimiliki investor asing, maka porsi kepemilikan asing pada industri perbankan nasional (di tambah kepemilikan asing pada bank asing dan campuran) menjadi 43,07 persen. Adapun kepemilikan pemerintah tinggal 35 persen.

Tak hanya di sisi aset, kelompok bank swasta juga mencatat pertumbuhan yang signifikan di sisi penghimpunan dana dan penyaluran kredit.

Total dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank swasta per September 2007 sebesar Rp 587,72 triliun, tumbuh 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Adapun posisi kredit bank-bank swasta per September 2007 sebesar Rp 393,57 triliun, tumbuh 26 persen dibandingkan September 2006 yang senilai Rp 313,21 triliun.

Pertumbuhan kredit kelompok bank swasta melampaui rata-rata pertumbuhan seluruh kelompok bank sebesar 22 persen.

Kelompok bank swasta nasional juga tercatat sebagai kelompok yang paling banyak menyalurkan kredit ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yakni sekitar Rp 215 triliun atau 46 persen dari total kredit UMKM yang disalurkan seluruh perbankan nasional.

Memiliki pengaruh

Jumlah bank yang masuk dalam kelompok bank swasta memang paling banyak mencapai 71 dari total 130 bank yang beroperasi di Indonesia.

Namun, peran bank swasta yang menonjol itu sebenarnya hanya didorong oleh segelintir saja. Bank yang segelintir ini merupakan bank menengah-besar yang bersifat sistemik, dalam arti memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi industri secara keseluruhan.

Bank-bank swasta yang bersifat sistemik, antara lain BCA, Bank Danamon, BII, Bank Niaga, Bank Panin, Bank Lippo, Bank Permata, Bukopin, Bank Mega, Bank NISP, dan Bank UOB Buana. Puluhan bank swasta lainnya kurang berpengaruh mengingat modal dan asetnya jauh di bawah bank-bank swasta yang sifatnya sistemik.

Sejumlah bank-bank swasta dimiliki investor dari Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Inggris, India, Jepang, Chinam, dan Timur Tengah.

Hegemoni bank-bank swasta diperkirakan berlanjut pada tahun 2008. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.

Pertama, bank-bank swasta besar sudah memiliki fokus bisnis yang jelas. Mereka ibaratnya telah memiliki landasan yang kokoh untuk berlari lebih kencang.

Kedua, bank-bank swasta tidak lagi kesulitan mencari tambahan modal mengingat pemiliknya merupakan lembaga-lembaga keuangan ternama di pasar global.

Ketiga, bank swasta umumnya memiliki dukungan teknologi informasi dan manajemen risiko yang mumpuni.

Bank swasta yang paling menonjol tentulah BCA. Bank yang dimiliki Farallon Capital Management dan Keluarga Budi Hartono (bos Djarum Group) tersebut merupakan bank terbesar kedua setelah Bank Mandiri dengan aset Rp 197,05 triliun per September 2007.

Namun, dari sisi keuntungan, BCA melampaui Bank Mandiri. Laba bersih bank bekas milik Salim Group itu tercatat Rp 3,36 triliun per September 2007.

Kinerja BCA tahun depan diperkirakan tetap akan menonjol. Jika melihat kinerja tahun 2007, pada tahun depan BCA akan tetap memiliki daya saing yang lebih tinggi.

BCA juga memiliki sejumlah kekuatan yang membuat para pesaing bergidik. Bank yang dikomandani DE Setijoso ini memiliki modal yang cukup kuat tercermin dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang mencapai 20,7 persen.

Bank ini juga tidak terbebani oleh kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) mengingat besarannya hanya 1,1 persen (gros atau sebelum dikurangi provisi).

Namun, kekuatan yang paling ditakuti pesaing adalah kemampuan BCA mengumpulkan dana murah, seperti tabungan dan giro. Ini tak terlepas dari kepiawaian mengembangkan jaringan elektronik, terutama ATM.

Ini akan membuat biaya dana BCA lebih murah dibandingkan bank-bank lain sehingga sejatinya bank ini akan sangat kompetitif dalam menawarkan suku bunga kredit, terutama di sektor korporasi yang sangat sensitif terhadap suku bunga.

Namun, keunggulan itu belum optimal dipakai untuk kepentingan penyaluran kredit. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga-DPK (loan to deposit ratio/LDR) BCA hanya 40,7 persen, tergolong terendah di antara bank-bank papan atas.

Jika masalah ini bisa teratasi, BCA dipastikan bakal makin merajalela. Bank swasta berikutnya yang akan menonjol ialah Bank Danamon, bank kelima terbesar dengan aset sebesar Rp 87,99 triliun.

Bank Danamon, yang dimiliki Temasek Singapura, semakin mantap pada fokus bisnisnya di sektor mikro, kecil, menengah, dan konsumsi.

Bank Danamon benar-benar mengoptimalkan dua senjata andalannya, yakni Adira Finance di sektor konsumsi dan Danamon Simpan Pinjam (DSP) di sektor mikro.

Dua bisnis tersebut menyumbang 56 persen dari total pendapatan bunga bersih Bank Danamon yang mencapai Rp 5,26 triliun.

Tahun 2008, Danamon diprediksi berkembang lebih cepat mengingat potensi pasar kredit mikro masih sangat besar. Apalagi, BI makin mempermudah proses pembukaan jaringan kantor.

Dengan mengandalkan kredit mikro yang menghasilkan imbal hasil tinggi, profit Bank Danamon akan makin terdongkrak.

Bank swasta lain yang masuk dalam 10 bank terbesar ialah BII, Bank Niaga, Bank Panin, dan Bank Lippo. Perbedaan aset di antara mereka sangat tipis sehingga bukan tidak mungkin bakal terjadi saling salip peringkat.

Bank-bank tersebut umumnya memiliki fokus bisnis yang jelas, yakni sektor UKM dan konsumsi.

Mereka juga telah melengkapi diri dengan fasilitas teknologi informasi yang memadai. Salah satu dampaknya, mereka bisa mendapatkan fee based cukup besar.

Bank Niaga, bank yang dimiliki Bumiputra Commerce Malaysia, memiliki kekuatan sebagai bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR). Bank ini memiliki pangsa KPR kedua terbesar setelah BTN, yang memang merupakan bank fokus perumahan.

Bank ritel kuat

Bank-bank menengah ini memiliki motivasi yang tinggi untuk tumbuh lebih cepat. Mereka berupaya mengejar target sebagai bank nasional, dengan modal di atas Rp 10 triliun.

Untuk mencapai itu, mereka akan mengombinasikan pertumbuhan organik dan anorganik melalui akuisisi dan merger.

Kelompok bank swasta lainnya yang siap menyodok ialah Bank Permata, Bukopin, Bank Mega, Bank UOB Buana, dan Bank NISP.

Bank Panin dan Bank Mega diperkirakan akan menjadi bank ritel yang kuat. Bank Permata dan NISP akan menjadi bank yang tangguh dalam pembiayaan UKM. Sementara Bank UOB Buana menjadi etnik bank yang kokoh. Adapun Bukopin bakal menjadi mitra koperasi yang andal. Bank-bank ini selalu mencatat kinerja keuangan yang baik dan pertumbuhan yang pesat.

No comments: