Monday, December 17, 2007

Laporan Akhir Tahun Bisnis & Keuangan


Berharap Urusan Ekonomi Rakyat Tidak Terbengkalai


Andi Suruji


Tahun 2007 ini kita masuki dengan optimisme setelah melihat indikator ekonomi yang membaik. Laporan akhir tahun 2006 harian ini pun mencatat sekaligus mengingatkan hal itu. Bahkan, ditekankan, 2007 merupakan tahun terakhir bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla untuk mengoptimalkan kinerja.

Argumentasinya sederhana. Pada tahun 2008 panggung politik bakal diramaikan aksi pemanasan menuju Pemilu 2009.

Kekhawatiran itu akhirnya memang jadi kenyataan lebih awal dari perkiraan. Bahkan, tahun 2007 baru berjalan separuh lebih, genderang "perang Pemilu 2009" sudah mulai terasa. Manuver elite politik sudah terlihat.

Kesibukan politik tentu bakal menyita waktu dan energi sehingga terbuka peluang bagi elite politik yang ada dalam pemerintahan mengabaikan pekerjaan rumah berupa prioritas pembenahan perekonomian, khususnya yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Sebaliknya pun bisa terjadi, "perhatian" kepada rakyat melimpah dengan kebijakan ad hoc demi kepentingan popularitas dan partai masing-masing. Berbahaya...!

Tidak salah jika muncul kekhawatiran di kalangan dunia usaha bahwa pekerjaan yang sudah bertumpuk untuk perbaikan perekonomian bakal ditinggalkan. Dunia usaha berjalan sendiri karena pemerintah sibuk berpolitik sehingga tidak ada lagi yang in charge untuk menggerakkan pemerintahan yang memang keropos. Apalagi dunia yang terus bergerak dinamis, faktor eksternal bisa memengaruhi kondisi internal.

Mengabaikan urusan perbaikan ekonomi, pembenahan iklim investasi, perpajakan, ketenagakerjaan, tentu sama saja menelantarkan rakyat. Semoga pada 2008, urusan perekonomian yang terkait langsung maupun tak langsung dengan kehidupan rakyat tidak terbengkalai.

Berbagai tantangan pada tahun 2008 sudah jelas tergambar. Harga minyak bumi yang terus berputar-putar pada level tinggi, jauh melampaui asumsi pemerintah saat ini dalam anggarannya, sangat berpotensi menimbulkan persoalan serius jika tidak terkelola dengan baik. Jika harga minyak mentah di pasar internasional mencapai 100 dollar AS per barrel, menurut simulasi pemerintah, subsidi yang ditanggung APBN bisa mencapai Rp 170 triliun. Suatu angka yang bisa merepotkan.

Apakah pemerintah akan konsisten dengan janjinya tidak akan menaikkan harga BBM, atau menyelamatkan APBN dengan mengorbankan rakyat?

Harga komoditas primer lainnya, minyak sawit, juga terus meningkat. Untuk minyak bumi dan minyak sawit, mestinya rakyat Indonesia menikmati manisnya kenaikan harga, tetapi kenyataannya tidak. Yang terlihat adalah antre membeli minyak tanah dan minyak goreng.

Rangkaian tantangan pada tahun 2008 masih panjang. Harga komoditas pertanian lainnya diperkirakan masih terus melonjak karena terganggunya produksi akibat perubahan iklim. Jagung, gula, gandum, kedelai, sampai beras merupakan produk yang harus diimpor dalam jumlah banyak.

Krisis keuangan dan perekonomian AS yang telah menyeret perekonomian global ke dalam gejolak juga masih menjadi ancaman tahun depan. Sampai kini belum ada laporan yang bisa memperkirakan seberapa dalam dan luas dampak krisis keuangan AS yang dipicu kredit macet perumahan terhadap perekonomian global.

Kinerja

Sepanjang tahun ini pemerintahan SBY-JK mencatat kinerja indikator-indikator makro-ekonomi tertentu yang terus membaik. Pertumbuhan ekonomi positif di kisaran 6 persen. Belum cukup, sebab Indonesia memerlukan pertumbuhan yang lebih tinggi lagi untuk membuka lapangan kerja secara memadai.

Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) atau jumlah nilai tambah yang dihasilkan seluruh unit usaha terus menurun. Inflasi yang merupakan terjemahan dari kenaikan indeks harga-harga relatif moderat di bawah 6 persen. Nilai tukar rupiah stabil cenderung menguat di kisaran Rp 9.000-Rp 9.200. Cadangan devisa antara lain disumbangkan ekspor semakin menguat, kini di atas 50 miliar dollar AS. Kinerja ekspor membaik, meski lebih didorong lonjakan harga, bukan karena kenaikan volume.

Akan tetapi, apalah arti indikator makro-ekonomi itu manakala pengangguran tetap tinggi, kemiskinan belum beranjak turun secara signifikan, seperti dilaporkan Senin (10/12). Indikator makro yang baik memang prasyarat investor menanam modal dan membuka lapangan kerja. Tetapi mungkin perlu juga pemerintah "mengorbankan" sedikit kemilau indikator itu, untuk menolong rakyat yang sehari pun belum dapat memenuhi kebutuhan minimum sekalipun.

Bagi mereka perbaikan ekonomi bukan dengan angka makro. Tidak perlu antre beli minyak, biaya sekolah murah, naik bus murah, berobat murah, itulah kesejahteraan bagi mereka.

No comments: