Monday, December 31, 2007

Infrastruktur


Enam Ruas Tol Bisa Atasi Kemacetan?

"Pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota di Jakarta adalah upaya kontraproduktif dalam pembangunan transportasi kota. Rencana itu disodorkan sebagai cara mudah menyelesaikan persoalan kemacetan," kata Tubagus Haryo Karbyanto, anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta.

Enam ruas tol dalam kota itu adalah Kemayoran- Kampung Melayu (9,646 kilometer), Duri Pulo-Tomang- Kampung Melayu (11,38 km), Rawa Buaya-Sunter (22,8 km), Sunter-Pulo Gebang (10,8 km), Pasar Minggu-Casablanca (9,55 km), dan Ulujami-Tanah Abang (8,26 km).

Nilai total proyek diperkirakan Rp 23 triliun, berkonstruksi layang. Tentu saja karena nilai proyek dihitung tahun 2006, maka bila dibangun tahun 2009, biaya dapat membengkak hingga 30 persen menjadi Rp 30 triliun.

Bahkan, bisa lebih mahal lagi karena harga baja, misalnya, terus merangkak naik dipicu lonjakan harga minyak mentah dunia.

Titik terang pembangunan enam ruas tol makin terlihat setelah Departemen Pekerjaan Umum menyetujui pembangunan enam ruas tol dalam kota Jakarta. Pembangunan tol dalam kota tersebut, dalam versi Departemen PU, diharapkan bisa mengurai kemacetan di Jakarta.

"Awalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta pelaksana proyek ditunjuk langsung, tetapi hal itu bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur," kata Menteri PU Djoko Kirmanto.

Djoko mengajukan tiga cara mencari kontraktor pembangun enam ruas tol itu. Pertama, penunjukan langsung. Kedua, tender dengan preferensi kepada Pemprov DKI Jakarta sebagai inisiator proyek.

Ketiga, tender biasa dengan catatan pemenang tender harus bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta. "Saya telah menyarankan Menko Perekonomian Boediono selaku Ketua Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) untuk memilih opsi ketiga, dengan alasan agar pembebasan lahan dapat cepat dikerjakan Pemprov DKI Jakarta," ujar Djoko.

Penghancuran tol

Menurut Tubagus Haryo Karbiyanto, yang lama berkiprah di Divisi Perkotaan dan Masyarakat Urban Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengurangi kemacetan perkotaan dengan membangun ruas jalan baru maupun tol merupakan paradigma usang.

"Pemerintah sama sekali tidak belajar dari kesalahan di negara lain, yang telah lebih dahulu membangun tol dalam kota. Setelah menyadari kesalahannya, mereka menghancurkan tol-tol dalam kota. Sedangkan kita malah berniat membangunnya," ujar Tubagus Haryo.

Penghancuran tol dalam kota dilakukan Wali Kota Seoul Myung Bak Lee di Korea Selatan serta dua kota di Amerika Serikat, yakni San Fransisco dan Boston.

Keberadaan jalan tol dalam kota diakhiri karena memicu peningkatan arus kendaraan pribadi sehingga penghancuran merupakan solusi terampuh untuk mengakhirinya.

Tahun 2006, Seoul pun dianugerahi Sustainable Transport Award sebab berhasil merestorasi kota dengan meruntuhkan jalan layang tol di tengah kota sepanjang 4 mil (sekitar 6,5 km).

Otoritas Kota Seoul juga menyisakan pilar-pilar tol sebagai monumen, sebagai "peringatan keras" kepada kota lain agar tidak mengekor kesalahan mereka.

Koridor memanjang yang dulunya lahan tol di tengah kota lalu dialihfungsikan sebagai areal publik. Tiap malam koridor ini dimanfaatkan sebagai arena bermain anak-anak.

Kota Seoul pun bertransformasi dari kota berwajah dingin dengan hutan-hutan betonnya menjadi kota yang lebih manusiawi.

Di Kota Seoul, penghancuran jalan tol diikuti pembangunan jalur bus. Begitu pula di kota-kota besar dunia, penghancuran tol dalam kota selalu dibarengi pembangunan jaringan transportasi massal untuk melayani mobilitas penduduk dari kawasan komuter ke tengah kota.

Yang terpenting, kota-kota besar itu mematuhi tata kota dan tata ruang serta pola transportasi makro.

Berbicara tentang pola transportasi makro, Tubagus Haryo mengingatkan, rencana enam ruas tol dalam kota Jakarta tidak tercantum dalam The Study On Integrated Transportation Master Plan (Sitramp) Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Bila dipaksakan, Tubagus Haryo khawatir lambat laun lalu lintas di tengah kota Jakarta akan terkunci. Dalam studi tahun 2002-2003, pada sejumlah titik keluar jalan tol dan perempatan jalan terindikasikan kelebihan volume kendaraan pada jam-jam sibuk.

Bila idealnya menampung maksimal 90.000-100.000 kendaraan per jam, tetapi di ruas jalan itu kendaraan yang melintas dapat 150.000 unit per jam.

Pengemudi pun dapat menunggu 5-7 kali pergantian lampu pengatur arus lalu lintas berwarna merah sebelum melintas. Jadi, kira-kira 15-20 menit untuk melalui satu perempatan.

Belum lagi, bila hujan turun, lampu pengatur arus lalu lintas mati, dan peristiwa besar, seperti final kompetisi sepak bola di Gelora Bung Karno Jakarta, kemacetan makin parah.

Berdasarkan data Kaukus Lingkungan Hidup Jakarta tahun 2006, selama dekade terakhir pertambahan panjang jalan di Jakarta hanya kurang dari satu persen per tahun.

Sebaliknya, pertumbuhan rata-rata kendaraan sekitar 10 persen per tahun. Dalam sehari rata-rata diajukan sekitar 300 STNK mobil baru.

Kemauan membayar tol

Menurut Djoko Kirmanto, dimensi jalan di Jakarta hanya enam persen dari total luas Jakarta. "Di Melbourne, Australia, luas jalan mungkin di atas 20 persen sehingga kepadatan lalu lintas tidak terasa sehingga di Jakarta, panjang jalan harus ditambah minimal jadi 10 persen," ujarnya.

Pembangunan jalan memang dibutuhkan. Tahun 2008 alokasi anggaran terbesar Departemen PU bahkan untuk pembangunan jalan senilai lebih dari Rp 15 triliun.

Akan tetapi, membangun jalan tol lebih banyak di dalam kota Jakarta dan sekitarnya mungkin sia-sia sebab nantinya akan terjadi penumpukan dengan bus transjakarta, monorel ataupun subway.

Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang tol, jalan tol seharusnya menjadi bagian dari rencana umum jaringan jalan nasional sehingga tidak dapat dibangun sebagai bagian jaringan jalan provinsi.

Dari sisi investor, Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk Frans Sunito, mewakili perusahaan tol terbesar di Indonesia, mengatakan, bilamana memberi keuntungan wajar, maka investor mana pun bersedia membangun enam ruas tol di dalam kota Jakarta.

"Karena proyek ini berkonstruksi layang, maka bernilai positif sebab tidak membebaskan lahan terlampau banyak. Tetapi, bukan berarti biayanya ringan karena konstruksi layang nilainya 2-3 kali lebih mahal daripada tol di permukaan tanah," kata Frans.

Meski demikian, Frans menegaskan, Jasa Marga belum meminati proyek itu sebab akan berkonsentrasi lebih dulu untuk membangun tol trans-Jawa dan Jalan Lingkar Luar Jakarta/Jakarta Outer Ring Road II.

Hitungan tarif dasar tol tahun 2007 ini, jelas Frans, sebesar Rp 600 per km-Rp 700 per km. Ambil contoh ruas tol Pasar Minggu-Casablanca (9,55 km), maka konsumen diharuskan membayar Rp 7.000 sekali jalan.

Bila tarif dasar dihitung sejak proyek dimulai tahun 2009, maka karena tarif diprediksi Rp 1.000 per km sehingga tarifnya menjadi Rp 10.000 sekali jalan.

Nantinya, tarif tol ini akan "bertemu" dengan komponen tarif, yakni dasar kemauan konsumen untuk membayar atau willingness to pay terhadap manfaat yang diperoleh karena menggunakan jalan tol dibandingkan dengan bila melalui jalan non-tol.

Bila tol dalam kota tetap macet karena antrean di ujung tol, seperti kemacetan tol Cawang- Pluit atau Cawang-Tanjung Priok-Jembatan Tiga, sehingga waktu tempuh tidak banyak terpangkas atau bila tarif dirasa terlalu mahal, apalagi konsumen masih harus beli bensin dan tarif parkir yang makin mahal, maka mungkin konsumen tidak berminat menggunakan tol dalam kota itu.

Jika kita membandingkan tarif kereta api rel listrik (KRL) jurusan Pasar Minggu-Tebet yang tidak jauh dengan ruas jalan Casablanca dengan tarif Rp 1.500 per penumpang, tentu saja tarif tol Pasar Minggu-Casablanca yang besarnya Rp 7.000 atau Rp 10.000 untuk sekali jalan itu terasa lebih mahal. Jadi, mengapa tak memperbanyak frekuensi KRL saja. (Haryo Damardono)

Perbankan


Suku Bunga Tabungan
Hanya 3,46 Persen Per Tahun


Jakarta, Kompas - Suku bunga tabungan perbankan menyentuh level terendah, yakni rata-rata 3,46 persen per tahun.

Rendahnya suku bunga tabungan berpotensi memicu perpindahan dana pihak ketiga ke instrumen pasar modal, seperti saham, obligasi, serta reksa dana.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rata-rata suku bunga tabungan perbankan nasional per akhir Oktober 2007 mencapai 3,46 persen per tahun.

Suku bunga tabungan cenderung menurun sejak Januari 2006, yang sebesar 4,84 persen per tahun.

Suku bunga tabungan saat ini berada di bawah tingkat inflasi tahunan yang sekitar 6,3 persen. Artinya, nilai dana yang ditaruh pada tabungan sebenarnya terus tergerus.

Bahkan, jika nilai tabungan di bawah nominal tertentu, bunga yang diterima masih lebih kecil dibandingkan biaya administrasi yang harus dibayar ke bank.

Ekonom BNI Ryan Kiryanto di Jakarta, pekan lalu, menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan suku bunga tabungan sangat rendah.

Pertama, suku bunga acuan atau BI Rate berada dalam tren menurun dari 12,75 persen pada Januari 2006 menjadi 8 persen pada Desember 2007 atau terjadi penurunan 475 basis poin.

Kedua, penurunan suku bunga tabungan yang lebih cepat dari suku bunga kredit merupakan strategi bank untuk menurunkan biaya dana. Tujuannya untuk meningkatkan keuntungan bank.

Ketiga, merupakan upaya bank meningkatkan kualitas layanan sebagai kompensasi suku bunga dana yang rendah.

Hingga kini, jelas Ryan, deposan atau pemilik dana tak terlalu hirau dengan level tersebut. Sebagian besar tetap menabung di bank. Terbukti pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) tetap besar mencapai sekitar 17 persen dibandingkan tahun lalu.

Bukan untuk investasi

Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Djoko Retnadi mengatakan, suku bunga tabungan rendah karena tabungan bukan lagi sarana investasi, tetapi hanya untuk transaksi.

"Dengan pertumbuhan tabungan sekitar 20 persen per tahun, komposisi dana murah membaik sehingga menekan biaya dana," katanya.

Saat ini komposisi DPK masih didominasi deposito (dana mahal), yakni 45 persen. Sementara tabungan dan giro merupakan dana murah.

Rendahnya suku bunga membuat pertumbuhan DPK lebih rendah dibandingkan kredit. Pertumbuhan DPK tahun ini sekitar 17 persen, adapun pertumbuhan kredit sekitar 22 persen. "Dampaknya loan to deposit ratio (LDR) akan semakin besar," kata Djoko Retnadi.

Menurut dia, pergerakan suku bunga tabungan ke depan sangat bergantung pada pergerakan BI Rate dan suku bunga penjaminan.

Sementara Ryan memperkirakan suku bunga tabungan ke depan akan cenderung naik. Hal itu karena pertama, adanya kekhawatiran nasabah akan migrasi ke pasar modal.

Kedua, instrumen investasi lain, seperti tanah, properti, dan emas, menawarkan imbal hasil yang relatif makin tinggi. Ketiga, adanya tuntutan pasar di mana kendali ada di tangan nasabah.

Direktur Bank Mega Kostaman Thayib menambahkan, salah satu strategi agar nasabah tidak migrasi adalah dengan menciptakan produk hibrida.

Jadi, produk bank seperti tabungan dicampur dengan produk pasar modal. Dengan demikian imbal hasil yang diterima nasabah bisa tetap tinggi. (FAJ)

Penerimaan Migas Turun


Menteri Keuangan Akan

Terbitkan Tiga Peraturan


Jakarta, Kompas - Akibat produksi turun, penerimaan negara dari sektor migas pada tahun 2007 turun tajam dibandingkan tahun 2006. Akibatnya, Indonesia gagal memanfaatkan kenaikan harga minyak dunia. Pencapaian produksi minyak mentah siap jual atau lifting di pengujung 2007 kian mengkhawatirkan.

Laporan terakhir pemerintah menunjukkan realisasi lifting hanya 899.000 per hari, sedangkan target di Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan sebanyak 950.000 barrel per hari.

"Saya mengoreksi laporan terakhir yang menunjukkan lifting minyak mencapai 0,910 juta barrel per hari karena capaian yang sebenarnya adalah 0,899 juta barrel per hari. Hal itu disebabkan pada bulan Desember hanya mencapai 0,810 juta barrel per hari. Itu agak mengkhawatirkan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Sabtu (29/12).

Angka yang dikoreksi Menkeu merupakan angka yang muncul dalam pertemuan antara Menkeu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro sehari sebelumnya.

Dalam pertemuan itu, angka lifting yang muncul adalah 910.000 barrel per hari. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dalam laporan akhir tahun 2007 yang dirilis Jumat pekan lalu menyebutkan bahwa realisasi penerimaan negara dari sektor migas diperkirakan mencapai Rp 174,486 triliun atau turun Rp 32 triliun dibandingkan tahun lalu Rp 207,467 triliun.

Perbedaan perhitungan

Sepanjang tahun ini rata-rata harga minyak Indonesia (Indonesia crude price/ICP) mencapai 72,6 dollar AS per barrel, lebih tinggi dibandingkan rata-rata tahun lalu 64,26 dollar AS.

Purnomo mengatakan, perbedaan angka realisasi lifting disebabkan Depkeu menghitung penerimaan yang masuk ke kas negara sebelum tutup buku.

"Sehingga apabila ada pembayaran yang belum atau terlambat masuk tidak tercatat. Sedangkan, Departemen ESDM menghitung lifting nyata," ujar Purnomo.

Menurut Menkeu, dengan capaian lifting yang sangat rendah, pekerjaan pemerintah tahun depan semakin berat. Pasalnya, target tahun depan jauh lebih tinggi, yakni 1,034 juta barrel per hari.

Berkaitan dengan itu, Menkeu akan menerbitkan tiga peraturan menteri keuangan (PMK). Ketiga PMK itu akan berlaku mulai 1 Januari 2008.

PMK pertama mengatur tentang pembebasan bea masuk (BM) atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi.

Kedua, PMK soal Pajak Pertambahan Nilai yang ditanggung pemerintah atas impor barang untuk usaha eksplorasi hulu migas serta panas bumi.

Ketiga, PMK tentang penetapan tarif BM sebesar nol persen untuk platform pengeboran, produksi terapung atau di bawah air. (OIN/DOT)

Menkeu Curigai Belanja Negara


BPKP Diminta untuk Mengaudit


Jakarta, Kompas - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencurigai penggunaan anggaran belanja negara yang realisasi pencairannya melonjak menjelang akhir tahun anggaran 2007. Kecurigaan itu muncul karena besarnya permintaan dana dilakukan dalam waktu singkat, yakni dua minggu.

Untuk itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) diminta mengaudit penggunaan anggaran negara tersebut. Menkeu mengungkapkan hal itu di Jakarta, Sabtu (29/12).

Menurut Menkeu, realisasi anggaran belanja modal diperkirakan mencapai 89,4 persen dari target APBN Perubahan (APBN-P) 2007. Perkiraan itu jauh di atas realisasi belanja modal pada tahun 2006 yang mencapai 82,4 persen atau tahun 2005 yang hanya 60 persen di atas target.

Perkembangan ini, kata Sri Mulyani, cukup mengejutkan pihak Departemen Keuangan. "Saya termasuk yang terkejut dengan realisasi ini. Apalagi saya sering mengatakan perkiraan belanja modal tahun 2007 ini tidak akan jauh beda dengan 2006," ujar Menkeu.

Realisasi belanja modal ini cukup mengejutkan karena dua minggu sebelumnya, penyerapan belanja modal baru mencapai 83 persen dari target.

"Saya antara senang dan tidak senang. Senang karena realisasi anggara belanja tetap berjalan, tetapi tidak senang juga karena saya harus hati-hati. Kami mungkin akan menaruh curiga pada anggaran belanja yang seharusnya sulit cair ternyata bisa dicairkan," ujar Menkeu.

Dana alokasi khusus

Kecurigaan Depkeu diarahkan pada realisasi dana alokasi khusus (DAK) yang ternyata dapat dicapai seluruhnya. DAK yang dicairkan diperkirakan akan mencapai Rp 17,094 triliun.

Sri Mulyani menegaskan, ada beberapa daerah yang sebelumnya menyatakan tidak sanggup menyelesaikan proyek fisik yang dibiayai DAK, ternyata pada akhirnya melaporkan telah menyelesaikan proyeknya.

Kemudian daerah tersebut mengajukan permohonan pencairan DAK pada menit-menit terakhir tahun anggaran 2007. Ini sangat mencurigakan.

"Kami perkirakan DAK ini tidak terserap, ternyata semua menyerap. Kami malah curiga karena ada beberapa daerah menyebutkan tidak sanggup menyelesaikannya. Kok, rasanya tidak mungkin seperti Bandung Bondowoso membangun candi, dalam semalam bisa selesai," kata Menkeu.

Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu Mardiasmo mengatakan, hanya ada 167 pemerintah daerah yang akan mendapatkan DAK paling cepat pada 2008, yakni pada bulan Januari. Itu disebabkan hanya 167 daerah yang telah tercatat menyelesaikan APBD mereka hingga Desember 2007.

Secara keseluruhan belanja negara 2007 diperkirakan mencapai 20,4 persen dari produk domestik bruto (PDB), yakni sekitar Rp 770,3 atau lebih tinggi dari target APBN-P yang ditetapkan 20 persen.

Peningkatan itu disebabkan naiknya subsidi migas. Adapun realisasi penerimaan negara hingga periode yang sama diperkirakan 19,1 persen dari PDB atau Rp 721,2 triliun. (OIN)

ANALISIS EKONOMI


Persaingan Tajam di Bawah

Pertumbuhan Sedang Indonesia Tahun 2008

DJISMAN S SIMANJUNTAK

Bagian yang besar dari berbagai kejadian ekonomi tahun 2008 adalah warisan dari tahun 2007 dan sebelumnya walaupun perhatian kita cenderung semakin terpusat pada perubahan terkini dan futuristik.

Sesama peramal ekonomi ada sejenis konsensus bahwa kinerja ekonomi dunia dalam 2008 akan melemah dibandingkan dengan tahun 2007. Krisis kredit perumahan Amerika Serikat menyeret banyak ekonomi negara lain ke dalam krisis serupa dan resesi berat investasi perumahan memperburuk dampak kenaikan harga komoditas primer, terutama minyak bumi.

Dalam ekonomi dunia seperti itu, Indonesia mencatat dalam 2007 kinerja yang secara keseluruhan patut disebut sebagai kinerja sedang. Sangat mungkin kinerja sedang itu akan bertahan pada 2008.

Beberapa undang-undang memang sudah disahkan, tetapi pelaksanaannya dihambat oleh macam-macam inersia dalam pemerintah dan birokrasi, parlemen ataupun masyarakat legal.

Menguat, tetapi kalah cepat

Ada beberapa alasan untuk menyebut tahun 2007 sebagai tahun kinerja sedang. Pertumbuhan ekonomi memang membaik, tetapi hanya sedikit menjadi 6,5 persen dari 5,48 persen dalam tahun 2006 dan masih tetap jauh di belakang negara China, India, dan kini Vietnam.

Seperti sebelumnya, pertumbuhan terkuat terjadi dalam pengangkutan, telekomunikasi dan listrik, yaitu sektor-sektor nondagang internasional. Sumbangan ekspor bersih memang naik, tetapi berasal terutama dari komoditas primer. Investasi sebagai sumber pertumbuhan hari depan memang menunjukkan tanda-tanda kebangkitan yang menggembirakan.

Sebagai persentase produk domestik bruto, ia naik menjadi 24,4 persen dalam triwulan ketiga 2007. Impor mesin-mesin naik tajam.

Lalu lintas keuangan dan modal asing menunjukkan surplus biarpun tidak besar. Harga saham naik tajam seraya mendorong produksi aset produktif.

Kredit perbankan juga naik 15 persen meski penanaman dana dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mengindikasikan intermediasi terbalik juga naik dengan kecepatan yang sama.

Sampai Agustus 2007, persetujuan penanaman modal dalam negeri sudah naik 51 persen dibandingkan dengan masa yang sama tahun 2006 dan persetujuan penanaman modal asing naik 213 persen dalam sembilan bulan pertama 2007.

Inflasi bertahan pada tingkat yang jauh di atas tingkat inflasi negara tetangga karena inflasi Indonesia melaju lebih cepat ke arah 7 persen.

Cadangan devisa sudah di atas 50 miliar dollar AS, menandakan neraca pembayaran yang sehat, terutama karena bagian yang lebih besar dari kenaikan ini berasal dari surplus transaksi berjalan.

Sayang, citra yang dikesankan oleh angka-angka di atas harus dikeruhkan karena beberapa hal. Pertama, Indonesia menderita pengangguran yang parah, terutama pengangguran terselubung.

Kedua, warga miskin dan warga di pinggir kemiskinan di Indonesia masih tetap sangat banyak.

Ketiga, inersia pemerintahan pusat dan daerah, manajemen BUMN dan BUMD, parlemen dan masyarakat hukum masih lebih kuat dibandingkan dengan terobosan-terobosan kebijakan.

Keempat, dalam perlombaan pembangunan Asia Timur, Indonesia masih ditinggal semakin jauh oleh negara tetangga yang paling relevan.

Ekonomi dunia melemah

Masih ada dua faktor yang akan memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia tahun 2008 di samping kinerja tahun 2007. Salah satunya adalah melemahnya kinerja ekonomi dunia dan ketidakpastian tentang akhir dari ketimpangan makroglobal dewasa ini.

Keadaan bisa memburuk jika jatuhnya sektor perumahan ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan atau kalau harga minyak bumi naik ke 100 dollar AS per barrel dan bertahan di situ.

Sebelum krisis kredit perumahan ini pun, dunia sudah dihantui oleh ketimpangan makro yang struktural. Amerika Serikat di satu pihak hidup selalu dengan pasak yang lebih besar daripada tiang.

Defisit transaksi berjalan AS naik ke 5,6 persen dalam 2007 atau jauh di atas batas 2,5 persen yang dianggap aman. Mendanai defisit ini dengan utang tentu ada batasnya.

Di lain pihak, Asia Timur umumnya, serta Jepang dan "China Raya" di lain pihak, memupuk surplus yang membesar terus. Surplus transaksi berjalan China akan naik menjadi 11,25 persen dari produk domestik bruto tahun 2007.

Biarpun ekonomi dunia melemah, Indonesia dapat saja mengurangi dampak pelemahan itu melalui inovasi kebijakan. Ruang gerak masih terbuka bagi kebijakan fiskal yang lebih ekspansif digabung dengan kebijakan moneter yang juga lebih ekspansif.

Namun, perubahan besar dalam profil kebijakan makro tampak tidak leluasa. Di kalangan menteri-menteri ekonomi tampaknya ada kekhawatiran bahwa kebijakan makro yang lebih ekspansif tidak menolong banyak karena daya serap yang dibatasi oleh inersia dalam politik dan birokrasi.

Gunung yang semakin menjulang tidak dapat dipindahkan dengan cangkul yang semakin tumpul. Dengan sentuhan manajemen, kota-kota utama Indonesia dapat dikoneksi ke kota utama lain dunia pada umumnya dan di Asia Timur khususnya untuk menjadi bagian dari sistem produksi global dan aneka ragam bisnis wisata yang tumbuh pesat di Asia Timur.

Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali menyerang persoalan-persoalan struktural ini kalau hendak memasuki kembali lajur pertumbuhan tinggi yang berkelanjutan.

Peluangnya tidak besar bahwa persoalan-persoalan struktural itu akan ditangani secara besar-besaran dalam 2008. Karena itu, peluang sukses kebijakan makro yang lebih ekspansif di tengah ekonomi dunia yang melambat juga adalah kecil.

Profil dasar kebijakan Indonesia tahun 2008 tampaknya akan sama saja dengan profil dasar tahun 2007. Jika demikian, guncangan yang dapat datang dari kenaikan harga minyak bisa menjadi pukulan berat bagi Indonesia dengan saldo ekspor migasnya yang sudah mendekati nol.

Hubungan ekonomi AS-China dapat memburuk, tetapi tidak sedemikian jauh hingga Indonesia mendapat durian runtuh berupa relokasi besar-besaran industri-industri Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang yang sekarang mengekspor besar-besaran ke AS.

Di bawah lingkungan global, regional, dan lokal yang disketsakan di atas, Indonesia akan tumbuh sedang-sedang lagi. Tetapi karena ukurannya yang sudah cukup besar, ekonomi yang tumbuh dengan sedang itu akan dipersaingkan dengan semakin tajam sesama peserta lokal, regional, dan global.

Untuk bertahan di dalamnya, para pelaku harus bekerja semakin keras dan kreatif seperti "Ratu Merah".

Sunday, December 30, 2007

Kaledoskop Ekonomi-Politik Pertanian 2008


Didin S Damanhuri
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Pengajar STIE Tazkia

Wacana yang telah didengungkan sejak reformasi tahun 1998, adalah perlunya shifting paradigm yakni dengan melakukan reorientasi pembangunan yang lebih berbasis kepada sumber daya domestik dan SDA pertanian dalam arti luas dengan kandungan iptek yang tinggi. Hal ini untuk menciptakan proses pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Dengan begitu, proses pertumbuhan dan pembangunan tak akan menciptakan kontradiksi dengan sebagian besar pelaku pembangunan yang selama ini telah berkiprah dalam mengolah SDA pertanian dalam arti luas. Juga, pembangunan akan menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan lewat penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus menciptakan pemerataan. Tentu saja aset nasional berupa industri manufaktur non-agro tetap dikembangkan. Hanya, pembangunannya lebih ditekankan untuk memanfaatkan kapasitas terpasang yang kini belum pulih sepenuhnya dari kondisi krisis.

Sementara itu, sejak awal kemerdekaan hingga masa orde baru yang melaksanakan proses industrialisasi secara sistematis dan besar-besaran, peran pertanian hanya menjadi salah satu sektor pembangunan, bahkan sekadar pelengkap sektor industri non-agro semata. Padahal, kekayaan potensial terbesar dari bangsa ini adalah berasal dari SDA pertanian dalam arti luas.

Paradigma pembangunan sejak awal kemerdekaan hingga sekarang tercatat lebih memprioritaskan strategi pembangunan berbasis industri non-agro dan impor sekaligus kerap megorbankan pertanian dalam arti luas beserta para pelakunya. Yang disebut terakhir ini, misalnya terbukti dengan telah terdegradasinya secara drastis SDA bangsa ini di satu pihak, namun di lain pihak makin terpuruknya peran pertanian dalam arti luas.

Data statistik yang ada memperjelas analisis tersebut. Persentase PDB pertanian dalam arti luas terhadap PDB total tahun 2000 sekitar 15,6 persen dan pada tahun 2005 turun menjadi tinggal 13,39 persen. Kondisi lebih jelas terlihat pada perkembangan investasi di seluruh kelompok pertanian baik PMDN maupun PMA.

Misalnya untuk PMDN, seluruh kelompok pertanian tahun 2001, jumlah Izin usaha hanya 15 atau 9,3 persen dibandingkan seluruh izin usaha yang berjumlah 160 dan meningkat menjadi 20 atau 15,63 persen dari seluruh izin usaha yang berjumlah 128 pada tahun 2006. Sedangkan dilihat dari realisasi investasinya tahun 2001 hanya sekitar Rp 1.121,7 miliar atau 11,34 persen dari total investasi PMDN yang berjumlah Rp 9.890,8 miliar dan meningkat menjadi Rp 2.131,6 miliar atau 15,74 persen dari total investasi PMDN yang berjumlah Rp 13.545,9 miliar tahun 2006.

Sementara untuk PMA lebih rendah lagi, di mana kelompok pertanian tahun 2001jjumlah izin usahanya 16 atau 3,5 persen dari seluruh izin usaha PMA yang berjumlah 454 dan meningkat jumlahnya menjadi 20 tapi menurun persentasenya menjadi 2,6 persen dari total izin Usaha PMA yang berjumlah 770 tahun 2006. Sedangkan dlihat dari realisasi investasinya tahun 2001 hanya sekitar 79,4 juta dolar AS atau 2,3 persen dari total investasi PMA yang berjumlah 3.509,4 juta dolar AS dan meningkat menjadi 368,6 juta dolar AS atau 8,2 persen dari total investasi PMA yang berjumlah 4.480,7 juta dolar AS di tahun 2006. Kesimpulannya, tetap saja peran investasi di sektor pertanian masih jauh tertinggal dibandingkan dengan sektor industri non-agro, jasa, dan pertambangan.

Sementara data kemiskinan (diukur oleh garis kemiskinan BPS) sekarang sekitar 38 juta atau 17,3 persen dari total penduduk (sekitar 220 juta) yang sebagian besar berada di sektor pertanian dan pedesaan. Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah prospek kontribusi SDA pertanian dalam arti luas dalam konteks di mana lingkungan strategis yang memayungi perannya, dalam pembangunan nasional 2008 dan tahun-tahun selanjutnya?

Tiga variabel
Ada tiga variabel yang menarik untuk diperhatikan sebagai constraints. Pertama, globalisasi. Kalau strategi pembangunan makronya tak dilakukan reorientasi secara mendasar, kondisinya tak akan banyak berubah, yakni tingkat daya saing bangsa dalam pasar global, terutama sektor pertanian, tetap rendah.

Kedua, krisis kenaikan migas global. Kalau kalangan pejuang sektor pertanian umumnya hanya pasif dan introvert, maka kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan akan semakin parah. Selain itu juga akan terjadi opportunity loss yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk investasi baru di sektor pertanian dalam arti luas karena terjadinya financial overliquidity baik secara global maupun nasional.

Ketiga, konstelasi elite politik nasional. Ini lebih memprihatinkan lagi, mengingat lobi politik kalangan pertanian maupun posisi tawarnya terhadap kalangan elite politik jauh lebih rendah dibandingkan sektor lain. Padahal regulasi maupun arah pembangunan di alam demokrasi amat sangat ditentukan oleh para elite politik yang ada di legislatif, eksekutif, judikatif, partai-partai, serta media massa yang cenderung lebih memihak kepada orientasi pembangunan berbasis non-agro dan impor. Bahkan sekarang ini semakin kepada sektor non-riil.

Oleh karena itu, solusinya setidaknya juga harus memperhitungkan tiga variabel tersebut. Pertama, harus ada perjuangan ekstra keras untuk merebut wacana resource and knowledge based industrialization dalam menghadapi globalisasi menjadi wacana nasional sehingga dapat memayungi pembangunan berbasis SDA pertanian dalam arti luas dengan kandungan iptek yang tinggi.

Kedua, menghadapi krisis migas global, kalangan pejuang pertanian harus pandai menciptakan peluang serta koalisi secara luas untuk memanfaatkan financial overliquidity global maupun nasional untuk mendorong invetasi baru besar-besaran dalam rangka industrialisasi berbasiskan SDA pertanian dalam arti luas dengan kandungan iptek yang tinggi. Ketiga, bagaimanapun kalangan pejuang pertanian harus mempunyai lobi politik dan meningkatkan posisi tawar terhadap para elite politik agar lebih peduli kepada sektor ini.

Saturday, December 29, 2007

Penutupan Bursa Lebih Meriah


Insentif Pajak Emiten Diharap Keluar 2 Januari


Jakarta, Kompas - Maraknya perdagangan surat berharga di pasar modal berimbas pada sektor riil. Dukungan dari pemerintah, seperti insentif perpajakan untuk perusahaan yang mencatatkan sahamnya ke bursa, juga diperlukan. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak yang tertarik ke pasar modal.

"Kenaikan indeks yang mencapai 52 persen tahun ini tentu ada hubungannya dengan sektor riil. Sejumlah ekonom kurang paham pasar modal sehingga menyatakan pasar modal tidak berdampak pada sektor riil. Padahal, perbankan, tambang merupakan perusahaan yang langsung berhadapan dengan sektor riil," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada penutupan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Jumat (28/12).

Penutupan perdana bursa hasil merger ini lebih meriah dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya. Tidak hanya pemencetan tombol dan peniupan terompet, akhir perdagangan bursa juga ditandai dengan penabuhan seperangkat drum yang dilakukan oleh dua orang yang diletakkan di tengah-tengah lantai perdagangan.

Kemeriahan semakin bertambah ketika penari-penari berpakaian seksi melenggak-lenggok di antara para pialang yang sehari-hari sibuk bertransaksi saham. Suasana di lantai perdagangan penuh musik dan kegembiraan. Bahkan, Sri Mulyani dan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany bernyanyi untuk memeriahkan suasana.

Indeks saham tahun ini ditutup 2,745.826 naik 52 persen dibandingkan dengan penutupan 26 Desember 2006. Kenaikan ini hanya dikalahkan oleh bursa Shanghai yang naik 98 persen. Adapun indeks Kompas 100 ditutup pada 700,603, naik 26,4 persen sejak diluncurkan 10 Agustus.

Rupiah melemah 10 poin menjadi Rp 9.417 per dollar AS dibandingkan dengan Kamis lalu, pada posisi Rp 9.407 per dollar AS. Sepanjang 2007, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ialah Rp 9.139 membaik dibandingkan tahun 2006 sebesar Rp 9.172 per dollar AS.

Pencapaian lainnya adalah pertambahan kapitalisasi pasar, nilai transaksi harian, serta jumlah emiten dan produk pasar modal.

Fuad mengatakan, pertumbuhan pasar modal tidak berdiri sendiri, tetapi didukung keadaan makro dan mikro-ekonomi. "Pada mikroekonomi, lihat saja pertumbuhan laba perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa. Pertumbuhannya mencerminkan fundamental, tidak hanya teknikal," ujarnya.

Penurunan indeks yang sempat terjadi karena aspek kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di AS justru membuat pasar modal sehat. Secara global daya tarik pasar modal Indonesia masih ada, tetapi perlu perbaikan seperti pengetahuan para emiten tentang aturan dan perundangan di pasar modal.

Fuad mensinyalir masih banyak sekali emiten dan jajaran direksinya yang belum paham aturan pasar modal. "Sedang dipikirkan apakah perlu mengadakan pelatihan," ujarnya.

Insentif pajak

Pemerintah juga diharapkan memberikan insentif pajak untuk emiten yang sudah berusaha transparan melalui pencatatan sahamnya di bursa.

"Sekarang ini peraturan pemerintahnya masih ada pada presiden. Mudah-mudahan itu bisa keluar sebelum tanggal 2 Januari 2008 sehingga pas tanggal 2 Januari bisa efektif," kata Fuad.

Emiten yang mencatatkan sahamnya lebih dari 40 persen di bursa akan mendapatkan keringanan pajak sebesar 5 persen dari tarif pajak pendapatan badan saat ini sebesar 30 persen. Hanya 80 dari total 408 emiten yang akan menikmati insentif ini.

Diharapkan insentif tersebut dapat mendorong perusahaan untuk mencatatkan sahamnya ke bursa.

Direktur Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah menargetkan akan mendapatkan sebanyak 30 emiten baru pada tahun 2008.

Dia juga mengatakan bahwa pada tahun 2008 akan memperbanyak produk-produk turunan di pasar modal sehingga investor lebih banyak memiliki pilihan investasi sesuai dengan risiko dan tujuan investasinya. (JOE)

Ekonomi 2008


Dibutuhkan Kerja Lebih Keras

Bambang Prijambodo

Prospek ekonomi tahun 2008 akan ditentukan oleh tiga hal, yaitu ekspektasi dari kemajuan yang sudah dicapai sampai tahun 2007, masalah dan tantangan yang akan dihadapi tahun 2008, serta langkah-langkah yang akan ditempuh.

Sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2008 sebesar 6,8 persen dalam jangkauan untuk dicapai dengan upaya keras guna mendorong investasi, meningkatkan efektivitas belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk oleh daerah, menjaga keyakinan masyarakat dan dunia usaha, serta mengelola risiko, terutama risiko eksternal, yang timbul.

Secara ringkas, kemajuan ekonomi tahun 2007 lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Stabilitas ekonomi yang tercermin dari nilai tukar rupiah dan laju inflasi terjaga. Sampai dengan 19 Desember 2007, rata-rata nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.134 per dollar AS.

Terdapat pergerakan rupiah, baik penguatan maupun pelemahan, yang meningkat sejak Mei 2007, tetapi masih berada dalam rentang yang dapat dikendalikan. Volatilitas rupiah yang terjadi lebih didorong oleh likuiditas global yang berlebih dan pengaruh rambatan dari krisis kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) di AS.

Kepercayaan rupiah didukung oleh fundamental neraca pembayaran yang lebih baik. Sampai dengan tiga triwulan pertama 2007, neraca transaksi berjalan serta neraca transaksi modal dan finansial mengalami surplus 8,4 miliar dollar AS dan 3,7 miliar dollar AS.

Cadangan devisa meningkat menjadi 52,9 miliar dollar AS pada September 2007, bertambah 10,3 miliar dollar AS dibandingkan dengan akhir 2006. Pada akhir November 2007, cadangan devisa meningkat lagi menjadi 54,9 miliar dollar AS atau cukup untuk membiayai impor dan pembayaran utang pemerintah selama 5,5 bulan.

Laju inflasi tahun kalender (Januari-November) 2007 sebesar 5,43 persen. ju inflasi Desember 2007 diperkirakan antara 0,6 persen-0,9 persen, lebih rendah dibandingkan dengan Desember 2006 (1,21 persen). Dalam keseluruhan tahun 2007, laju inflasi diperkirakan antara 6,1 persen-6,4 persen, lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006 (6,6 persen).

Pertumbuhan ekonomi dalam tiga triwulan pertama tahun 2007 mencapai 6,3 persen. Selain didukung oleh ekspor, pertumbuhan ekonomi juga ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi.

Perkembangan bulan Oktober-November 2007 mengindikasikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV/2007 berpotensi lebih tinggi dari 6,3 persen (year-on-year/y-o-y).

Total realisasi izin usaha tetap yang dikeluarkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan instansi penanaman modal daerah dalam bulan Oktober dan November 2007 yang meningkat sekitar 90 persen dibandingkan dengan periode sama 2006, tambahan kredit investasi Oktober 2007 sebesar Rp 2,7 triliun dan impor barang modal pada Oktober 2007 yang meningkat hampir dua kali lipat (y-o-y) mengindikasikan kegiatan investasi masyarakat tetap berlangsung.

Demikian juga belanja negara baik berupa investasi maupun konsumsi pada triwulan IV/2007 diperkirakan berperan lebih besar dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya.

Penerimaan ekspor nonmigas dan arus wisatawan asing pada bulan Oktober 2007 yang masing-masing meningkat 16 persen dan 21 persen dibandingkan dengan Oktober 2006 mencerminkan kemampuan ekspor barang dan jasa yang terjaga.

Risiko eksternal

Risiko eksternal tahun 2008 bersumber dari masih tingginya harga minyak mentah dunia, pengaruh lanjutan dari subprime mortgage, dan melambatnya ekonomi AS.

Ketiga risiko ini akan memperlambat ekonomi dunia dan pada gilirannya akan berpengaruh pada kemampuan ekspor Indonesia. Dengan melihat potensi pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia, ketiga risiko eksternal di atas masih dalam jangkauan untuk diantisipasi.

Proyeksi terakhir yang dikeluarkan Badan Energi AS (Energy Administration Information) memperkirakan harga minyak mentah dunia tahun 2008 sebesar 84,8 dollar AS per barrel. Tidak pada tingkat yang psikologis mengkhawatirkan, misalnya 100 dollar per barrel.

Dengan harga ekspor minyak mentah Indonesia yang sekitar 2 dollar AS-3 dollar AS di bawah harga spot WTI, APBN dapat dipastikan aman.

Risiko yang berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi AS. Ekspor berpotensi berkurang sekitar 2 miliar dollar AS dari total penerimaan ekspor yang sebelumnya diperkirakan meningkat mencapai 103 miliar dollar AS pada tahun 2008.

Jumlah yang tidak terlalu sulit untuk diantisipasi sejauh ekonomi Asia tetap tumbuh tinggi dan langkah diversifikasi pasar ekspor dilakukan dengan efektif..

Pengaruh lanjutan subprime mortgage diperkirakan tidak berimbas pada sektor riil. Pengaruhnya relatif terbatas pada arus modal jangka pendek, baik melalui bursa regional maupun instrumen keuangan lainnya seperti Sertif. Secara singkat, risiko ekonomi dunia tahun 2008 berada dalam kemampuan untuk dikelola dan diamankan dengan baik.

Pertumbuhan 2008

Ekspektasi positif berdasarkan dinamika ekonomi pada tahun 2007 serta kemampuan yang cukup baik dalam mengelola risiko eksternal tahun 2008 memberikan gambaran bahwa ekonomi tahun 2008 berpotensi tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2007. Sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2008 yang sekaligus juga merupakan asumsi dalam penyusunan APBN adalah 6,8 persen.

Dari rencananya, tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut digerakkan oleh investasi berupa pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang meningkat 15,5 persen, ekspor barang dan jasa yang naik 12,7 persen, serta pengeluaran pemerintah dan rumah tangga yang berturut-turut tumbuh 6,2 persen dan 5,9 persen; sedangkan impor barang dan jasa meningkat 17,8 persen.

Dalam realisasinya nanti, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi itu dapat saja bergerak dalam komposisi yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi 6,8 persen dapat dicapai, misalnya, dengan peningkatan ekspor barang dan jasa lebih rendah, tetapi pada saat yang sama kenaikan impor barang dan jasa lebih rendah karena kebutuhan investasi dapat lebih dipenuhi dari dalam negeri dan seterusnya.

Namun, apa pun realisasinya nanti, kerja lebih keras dituntut untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,8 persen. Ada empat langkah pokok yang akan berperan penting dalam pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi tersebut. Pertama, investasi lebih digerakkan. Investasi berupa PMTB, yang dalam tiga triwulan pertama tahun 2007 masih tumbuh 7,9 persen, diupayakan meningkat dua digit dalam keseluruhan tahun 2008.

Selain oleh kebijakan percepatan investasi masyarakat, peningkatannya akan didorong oleh pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN.

Potensi investasi masyarakat yang dapat direalisasikan tahun 2008 cukup tinggi. Dalam 11 bulan pertama tahun 2007, total rencana investasi yang disetujui BKPM dan instansi penanaman modal di daerah sekitar Rp 520 triliun atau meningkat 84 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2006.

Kedua, efektivitas APBN ditingkatkan. Pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dibiayai APBN diupayakan sedini mungkin agar memberi dorongan lebih awal kepada perekonomian. Selain belanja modal oleh pusat, daerah diharapkan sedini mungkin dapat memanfaatkan dana perimbangan yang disediakan.

Dengan investasi meningkat dua digit dan belanja APBN yang mengisi sejak awal-awal tahun 2008, daya beli masyarakat berpotensi meningkat lebih tinggi dan lebih mendorong pengeluaran rumah tangga.

Dengan sumbangannya yang hampir dua pertiga PDB, peranan konsumsi rumah tangga cukup besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, ruang penurunan suku bunga dimanfaatkan. Dengan ekspektasi bahwa laju inflasi terkelola dengan baik serta nilai tukar dollar AS melemah terhadap mata uang dunia, stabilitas harga akan terkendali lebih baik pada tahun 2008.

Keempat, stabilitas ekonomi tetap dijaga. Pergerakan nilai tukar dan peningkatan inflasi yang tidak terkendali akan berpengaruh langsung terhadap keyakinan masyarakat termasuk dunia usaha. Untuk itu, kebijakan suku bunga harus tetap mempertimbangkan keseimbangan yang tepat antara stabilitas, baik nilai tukar rupiah maupun harga, dan pertumbuhan ekonomi.

Bambang Prijambodo Direktur Perencanaan Makro, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas

Investasi



Pasar Modal Lebih Menarik dari Bank

Joice Tauris Santi

Sejak pertengahan tahun ini, dana masyarakat yang ditempatkan di pasar modal ternyata lebih banyak ketimbang dana yang ditempatkan pada produk deposito perbankan. Tingkat suku bunga perbankan yang terus menurun membuat masyarakat mengalihkan dananya ke pasar modal yang memberikan imbal hasil lebih tinggi.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Bank Indonesia, dana masyarakat yang diinvestasikan di pasar modal sudah mencapai Rp 2.539 triliun. Angka ini sudah naik pesat dari kapitalisasi pada tahun 2006 yang hanya sebesar Rp 1.249 triliun.

Angka Rp 2.539 triliun ini merupakan gabungan dari kapitalisasi pasar saham Rp 1.982 triliun, obligasi korporasi sebesar Rp 79,065 triliun dan 105 juta dollar AS, serta kapitalisasi obligasi pemerintah Rp 477 triliun.

Perbandingan kapitalisasi pasar modal dengan Produk Domestik Bruto (PDB) juga meningkat dari 37 persen tahun 2006 menjadi 53 persen dari PDB pada tahun 2007. Perbandingan tersebut hanya dihitung dari kapitalisasi pasar ekuiti.

Besaran PDB Indonesia pada tahun 2006 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 3.338,2 triliun. PDB ini terus bertumbuh, pada triwulan ke II tahun 2007 mencapai Rp 962,5 triliun.

Adapun dana pihak ketiga perbankan pada Agustus sekitar Rp 1.400 triliun saja, lebih kecil dibandingkan dengan kapitalisasi pasar modal.

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Fuad Rahmany di Jakarta, Jumat (28/12), mengatakan, perbandingan kapitalisasi pasar modal terhadap PDB itu masih sedikit dibandingkan dengan Singapura. Pasar modal Singapura memiliki kapitalisasi pasar 115 persen dari PDB Singapura sebesar 137,7 miliar dollar AS.

"Diharapkan pada tahun 2008 perbandingan kapitalisasi pasar modal terhadap PDB minimal menjadi 75 persen," ujarnya.

Dirut BEI Erry Firmansyah mengatakan, "Pasar modal sudah menjadi tempat investasi menarik bagi investor. Ini memberikan sinyal positif bahwa pasar modal sudah bisa memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional."

Dia melanjutkan, "Kami tidak melihat bank sebagai kompetitor, melainkan komplemen satu sama lain. Kita membangun ekonomi secara bersama-sama, pasar modal dan perbankan tidak bisa dipisahkan. Di banyak negara juga seperti itu."

Peningkatan kapitalisasi pasar tersebut juga menunjukkan pasar modal telah menjadi alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan.

Selain itu, baik perorangan maupun institusi seperti dana pensiun dan asuransi telah semakin banyak menanamkan uangnya di pasar modal untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan deposito.

Direktur Penelitian dan Pengaturan BI Halim Alamsyah mengatakan, dana di pasar modal lebih banyak dibandingkan dengan dana simpanan pada perbankan karena tingkat suku bunga perbankan yang menurun sehingga memicu orang menanamkan dana di pasar modal.

"Kenaikan permintaan ini juga mendorong banyak perusahaan mencatatkan sahamnya ke bursa dan menerbitkan obligasi," katanya.

Kombinasi faktor tersebut semakin meningkatkan harga saham sehingga kapitalisasi naik melebihi dana pihak ketiga di perbankan.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Ciptadana Securities, Ferry Budiman Tanja menuturkan, suku bunga deposito cuma 6 persen per tahun. Belum dipotong pajak atas bunga, sehingga nasabah hanya menerima 5 persen per tahun.

"Di pasar modal, kemungkinan dapat 5 persen jauh lebih besar. Itu makanya, banyak orang berpindah dari deposito ke pasar modal," katanya.

Ini didukung sosialisasi dari bursa efek, usaha broker-broker, para pialang, dan masyarakat pasar modal sehingga sekarang banyak juga perusahaan yang melepaskan sahamnya ke bursa (go public).

Banyak yang pertama mencoba-coba melepaskan saham melalui penawaran perdana saham kepada masyarakat, kemudian berkembang menjadi penerbitan obligasi, waran, atau penawaran saham terbatas (rights issue). Semuanya menarik dana dari masyarakat untuk sumber pendanaan perusahaan.

Uang masuk ke bursa jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang keluar. Karena itu, likuiditas di bursa naiknya luar biasa. "Sekarang mungkin bisa sampai Rp 6 triliun hingga Rp 8 triliun per hari, bandingkan dengan dua tahun lalu ketika hanya Rp 2 triliun per hari," katanya.

Selama likuiditas bursa tetap ada, sementara suku bunga bank yang relatif kecil, maka ke depan tren masyarakat untuk investasi ke bursa akan makin besar.

Erry bahkan berani mengklaim, jumlah investor individu yang ada di pasar modal mencakup investor saham langsung, reksa dana, unit link dan obligasi negara ritel (ORI) telah mencapai 1 juta orang. Dia optimistis dapat mencapai target 2 juta investor ritel pada pengujung tahun 2008.

Lebih berisiko

Walaupun menjanjikan tingkat imbal hasil yang lebih tingi dibandingkan dengan simpanan deposito, risiko yang terkandung dalam investasi di pasar modal juga lebih besar.

Akan tetapi, seiring dengan semakin berkurangnya dana simpanan masyarakat yang dijamin dalam program penjaminan pemerintah, risiko yang dihadapi orang jika menanam uang di deposito ataupun di pasar modal lambat laun akan sama.

Artinya, menempatkan dana di mana pun sama-sama tidak ada jaminannya. Hanya saja, imbal hasil yang dapat diharapkan dari pasar modal tentunya jauh lebih besar.

Sosialisasi masalah manajemen risiko di pasar modal merupakan tantangan semua pihak ke depan. Hal ini diakui oleh Fuad Rahmany.

"Kami akan lebih banyak membuat aturan yang melindungi investor. Jangan sampai jika mereka merugi lalu marah-marah. Harus dibuat juga pemahaman bagaimana risiko-risiko di pasar modal," katanya.

Direktur BEJ Eddy Sugito memperingatkan adanya risiko-risiko yang ada di pasar modal. Sejalan dengan prinsip high risk high return, para investor harus benar-benar memahami risiko yang mungkin diterima di pasar modal seperti kesimpangsiuran informasi, likuiditas rendah, emiten yang dikeluarkan dari bursa, serta risiko lainnya yang lebih beragam dibandingkan dengan risiko yang ada pada deposito.

Seperti menapaki dunia pendidikan, menapaki dunia investasi juga sebaiknya dilakukan secara berjenjang. Setelah mengetahui instrumen penyimpanan dana pada perbankan, yaitu deposito, sebaiknya seorang investor pemula tidak langsung bermain saham. Banyak lika-liku di pasar modal yang harus dikenal agar dapat menghasilkan keuntungan maksimal.

Langkah pertama mungkin dari deposito, baru beralih ke obligasi pemerintah. Obligasi ini relatif aman karena pasti dibayar, tidak akan terjadi gagal bayar (default).

Risiko yang ada merupakan risiko pasar. Harga obligasi dapat berubah-ubah bergantung pada keadaan pasar dan tingkat suku bunga.

Investasi tahap selanjutnya adalah reksa dana. Reksa dana juga memiliki berbagai macam jenis. Mulai dari proteksi yang menjamin nilai investasi awal akan tetap hingga akhir masa investasi.

Ada pula reksa dana pasar uang yang tidak berfluktuasi, tetapi imbal hasilnya kecil. Adapun reksa dana obligasi berbasis surat utang imbal hasilnya lebih tinggi dari reksa dana pasar uang.

Reksa dana campuran bisa dijadikan jembatan peralihan dari reksa dana obligasi ke reksa dana saham. Reksa dana saham merupakan jenis reksa dana yang imbal hasilnya paling tinggi, tetapi sangat berfluktuasi dan hanya cocok untuk investasi jangka panjang.

Exchange traded fund (ETF) reksa dana indeks yang diperdagangkan di bursa seperti saham merupakan produk baru yang dapat juga dijadikan alternatif investasi.
(M fajar Marta/ c anto saptowalyono)

Monday, December 24, 2007

ANALISIS EKONOMI


Ketika Rekening Pemerintah Ditertibkan


Chatib Basri


Pesan terpenting dari sejarah mungkin adalah pesan tentang kesalahan. Sejarah panjang birokrasi agaknya bisa bercerita tentang bagaimana perencanaan bisa meleset, prosedur bisa macet, dan mesin birokrasi bisa mandek. Dalam kemandekan, kadang timbul improvisasi untuk mencari jalan pintas, untuk membuat mesin tetap berjalan.

Minggu lalu media masa ramai mengulas soal temuan Tim Penertiban Rekening Pemerintah tentang sejumlah rekening yang tidak dilaporkan—atau oleh media disebut sebagai "rekening liar". Sejarah rekening yang tak dilaporkan barangkali sebuah sejarah tentang improvisasi di tengah kemandekan birokrasi.

Dalam laporannya Tim Penertiban Rekening Pemerintah menyatakan: per 30 November 2007 dilakukan pembahasan mengenai penertiban rekening dengan kementerian negara/lembaga sebanyak 26.770 rekening dengan nilai Rp 36,5 triliun dan 620,1 juta dollar AS. Dari jumlah ini, Rp 20,3 triliun dan 618,5 juta dollar AS disetujui digunakan secara permanen atau sementara. Sebanyak Rp 7,3 triliun dan 1,5 juta dollar AS ditutup atau dalam proses penutupan. Sisanya, Rp 8,8 triliun, dalam pembahasan. Tim melaporkan, ada 1.737 rekening (nilainya hampir Rp 1,1 triliun dan 100.000 dollar AS) memerlukan investigasi lebih lanjut. Dari 1.737 rekening itu, ada 257 rekening ditutup, tetapi tak disetorkan ke kas negara, dan nilainya mencapai Rp 848,6 miliar. Pelajaran apa yang bisa ditarik?

Pertama, angka-angka di atas menunjukkan betapa besar dan tersebarnya rekening pemerintah—dan juga rentannya masalah akuntabilitas selama ini.

Pada masa lalu, tekanan untuk perlunya transparansi anggaran relatif lemah sehingga berbagai rekening dapat tersebar dan tak dilaporkan. Pada era ini, terutama sejak adanya UU Perbendaharaan Negara 2004, ada tekanan membuat anggaran menjadi transparan. Memang, tak sepenuhnya adil untuk menjelaskan situasi masa lalu dengan perspektif kekinian karena ia bisa membawa kita kepada risiko penjelasan post factum. Namun, lepas dari soal itu, komitmen menteri keuangan menertibkan rekening liar, dan memutus rantai kesalahan, merupakan sebuah langkah penting di dalam sejarah anggaran di negeri ini. Tentu ini tak lepas dari dukungan media, kritik dan berbagai institusi lain. Inilah pentingnya check and balance.

Kedua, apa dampaknya bagi perekonomian? Jawabannya mungkin meluasnya problem principal-agent. Problem principal-agent adalah persoalan yang timbul ketika satu pihak (principal) mencoba memotivasi pihak lain (agent) bertindak sesuai keinginannya (principal). Contohnya: pengelola anggaran menginginkan anggaran akan digunakan institusi pelaksana sesuai dengan keinginan perencanaan anggaran. Problem principal-agent di dalam konsep ekonomi biasanya dicoba diatasi dengan insentif dan disinsentif.

Dalam kasus rekening tak dilaporkan—karena rekening itu tak diketahui dan dapat diawasi —praktis tak ada mekanisme insentif dan disinsentif. Akibatnya, tak ada jaminan, agent akan menjalankan anggaran sesuai persetujuannya dengan principal. Jika ini meluas, aktivitas dan kualitas belanja akan terganggu.

Dengan rekening yang tersebar begitu banyak—dan tak sepenuhnya bisa diawasi menteri keuangan—tugas menteri keuangan sebagai chief financial officer dari republik ini menjadi relatif lebih sulit.

Kita tidak memiliki akurasi mengenai sumber daya yang kita miliki—yang tentunya akan memengaruhi kemampuan kita membuat perencanaan anggaran yang baik. Mudahnya: bisa saja satu institusi menyampaikan kebutuhan dananya dalam jumlah tertentu, padahal institusi itu sebenarnya masih memiliki dana yang dapat digunakan. Jika pengelola anggaran tak memiliki informasi akurat, dan permintaan itu dipenuhi, artinya ada alokasi dana tambahan ke institusi itu. Dalam situasi anggaran terbatas, penambahan alokasi anggaran dapat berarti relokasi dari pos lain, yang dapat mengganggu prioritas pembangunan. Dampak lain, potensi penyalahgunaan anggaran.

Ketiga, agar kesalahan tak diulangi, penting bagi kita mengerti mengapa rekening liar tumbuh dan berkembang. Selama manfaat dari tak melaporkan rekening lebih besar dibandingkan dengan biayanya (pengawasan, hukuman, penutupan), rekening-rekening akan muncul. Motivasinya tak melulu berangkat dari penyalahgunaan dana, tetapi karena inefisiensi birokrasi. Inefisiensi birokrasi memicu munculnya kebutuhan rekening-rekening ini. Sebaliknya ketika birokrasi menjadi efisien, proses otorisasi dan pencairan uang relatif cepat, "manfaat" dari rekening-rekening liar menjadi relatif kecil, kecuali jika ada maksud penyalahgunaan dana. Dalam kondisi ini tak ada alasan rasional rekening liar menjamur.

Apa yang bisa kita simpulkan dari sini? Upaya penertiban rekening pemerintah tak bisa berhenti pada tindakan menutup atau mengonsolidasikan rekening-rekening itu. Penutupan ini harus dibarengi usaha perbaikan efisiensi dari birokrasi dalam proses otorisasi dan pencairan uang dan juga cakupan anggaran. Saya melihat relevansi reformasi birokrasi yang dilakukan Depkeu. Efisiensi birokrasi akan membantu mengurangi "manfaat" dan meningkatkan "biaya" dari munculnya rekening liar.

Analisis ini membantu kita melihat penertiban rekening terobosan amat penting untuk memperbaiki kualitas anggaran, menghindari penyalahgunaan uang publik, dan perbaikan good governance. Namun, perlu diingat, penertiban rekening saja tak akan menyelesaikan persoalan jika ia tak diikuti efisiensi dalam birokrasi dan perbaikan pengawasan.

Di sini komitmen dari semua pihak menjadi amat penting. Upaya penertiban rekening harus terus dilanjutkan. Untuk mendapatkan efek kejut, Departemen Keuangan juga perlu mengumumkan kementerian negara/lembaga yang masih memiliki rekening yang tak dilaporkan ini dan juga perkembangan penertibannya. Selanjutnya investigasi perlu dilakukan untuk rekening yang diduga bermasalah.

Kita memang perlu belajar dari kesalahan yang kita buat. Sejarah memang datang dengan pesan penting tentang kesalahan. Mungkin itu sebabnya suara kuno Mark Twain jadi terasa benar: the past does not repeat itself, but it ryhmes.

Saturday, December 22, 2007

Minyak dan Sektor Industri

M Ikhsan Modjo

Tantangan ekonomi nasional terbesar pada tahun 2008 adalah kenaikan harga minyak. Saat ini harga minyak dunia sudah melambung tinggi, menyentuh angka 99 per barrel dollar AS pada akhir November dan berpotensi menembus angka 100 dollar AS per barrel.

Kenaikan harga minyak ini akan memiliki dampak saling terkait yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional 2008. Dampak-dampak ini antara lain pada sisi fiskal, moneter, konsumsi rumah tangga, dan yang terpenting sektor industri.

Bagi sektor industri, kenaikan harga minyak akan berdampak pada harga dan output akibat adanya kenaikan biaya penggunaan bahan bakar minyak (BBM), peningkatan biaya input (raw materials), serta biaya transportasi dan distribusi. Untuk mengukur dampak langsung kenaikan harga minyak pada BBM, satu simulasi yang saya lakukan dengan menggunakan data Statistik Industri Indonesia 2000-2004 serta asumsi kenaikan harga minyak rata-rata sebesar 30 persen dalam satu tahun menunjukkan hasil seperti tertera di tabel.

>endtab

Perhitungan di atas belum termasuk dampak tidak langsung dari penurunan ekspor, kenaikan upah, harga komponen, dan biaya transportasi. Pengikutsertaan komponen-komponen ini dipastikan membawa dampak lebih besar pada harga dan output sektor industri.

Menghadapi prospek ini diperlukan satu strategi kebijakan yang tidak sekadar tambal sulam, seperti pemberian insentif fiskal temporer, yang bisa meningkatkan defisit dan efek pendesakan (crowding-out effect) suku bunga dan investasi. Langkah terpenting seharusnya adalah pemberian ruang adaptasi lebih pada struktur biaya produksi.

Pemberian ruang adaptasi lebih dapat diupayakan dengan cara memberantas penyebab kekakuan biaya dan penguatan kelembagaan pasar. Salah satu sumber kekakuan akut bagi penyesuaian ongkos produksi adalah kekakuan di bidang ketenagakerjaan. Penetapan upah minimum yang birokratis, berbelit-belit, dan bercampur aduk politik membuat tingkat upah tidak merefleksikan produktivitas dan menutup ruang adaptasi biaya terhadap kenaikan biaya input, seperti BBM.

Akibatnya, perusahaan akan menyerap kenaikan harga input seperti BBM dengan menyesuaikan jumlah ketimbang upah pekerja. Hal ini menyebabkan harga akan meningkat dan output akan menurun lebih dari yang seharusnya, yang pada gilirannya menimbulkan masalah pengangguran, mengingat tidak semua pekerja dengan upah tinggi bisa terserap.

Dari pengalaman di beberapa negara, kenaikan biaya akibat harga minyak yang disertai kekakuan upah mengakibatkan tertekannya tingkat produksi dua kali, yang pada akhirnya menyebabkan kontraksi lebih besar pendapatan nasional. Resesi ekonomi yang panjang di Eropa dan Amerika Serikat pada dekade 1970-an disebabkan oleh masalah ini.

Peningkatan harga minyak sebesar hampir empat kali lipat saat itu tidak bisa teradaptasi penuh akibat militansi serikat buruh dalam memperjuangkan peningkatan upah. Kekakuan ini menyebabkan terjadinya stagflasi di Eropa dan Amerika Serikat pada era tersebut. Inflasi melambung tinggi, sementara pada saat yang sama terjadi kontraksi output dan penambahan jumlah pengangguran.

Kondisi ini mirip dengan yang tengah terjadi di Indonesia. Kekakuan di bidang ketenagakerjaan berpotensi untuk menghambat adaptasi kenaikan harga minyak pada struktur biaya, yang akan mengakibatkan tertekannya output lebih dari semestinya, serta meningkatnya inflasi dan pengangguran.

Kekakuan lain adalah pada biaya transaksi berupa ongkos pungutan gelap dan liar pada industri. Celakanya, selain ilegal, pungli diterapkan tanpa pandang bulu, alias bersifat sebagai biaya tetap (fixed cost), sehingga menyebabkan kerugian relatif besar pada perusahaan kecil ketimbang perusahaan besar. Karena itu, tidak mengherankan krisis akibat tekanan eksternal lebih merugikan usaha kecil dan menengah ketimbang usaha besar.

Pemerintah juga bisa membantu industri menghadapi kenaikan harga minyak melalui reformasi kelembagaan pasar. Pasar pada beberapa komoditas input sektor industri kerap bersifat monopsoni atau oligopsoni, di mana hanya terdapat satu atau beberapa pemasok. Struktur pasar ini menyebabkan tingkat harga input meningkat secara tidak proporsional, akibat kenaikan harga minyak, yang akan semakin memberatkan perusahaan.

Terakhir, hal yang juga penting dalam jangka menengah dan panjang adalah mengurangi ketergantungan industri pada minyak. Dari tahun ke tahun, ketergantungan ini justru meningkat dan bukannya menurun walau ada kenaikan harga. Ke depan, sudah seyogianya ada satu rencana teknis dan target pengurangan yang lebih detail untuk melakukan pengalihan penggunaan energi pada industri, dari minyak ke energi lain yang lebih murah dan ramah lingkungan.

M Ikhsan Modjo Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef)

Hegemoni Asing pada Bank Swasta Nasional


M Fajar Marta


Pada tahun 2004, kelompok bank swasta mengambil alih dominasi perbankan dari tangan bank-bank pemerintah. Sejak itu, pertumbuhan bank swasta makin melaju tanpa mampu terkejar lagi. Hegemoni bank swasta bakal makin dominan pada masa mendatang mengingat sebagian besar dari mereka telah mantap dengan fokus bisnisnya.

Prospek bank swasta semakin cerah karena hampir seluruh bank swasta papan atas telah dikuasai lembaga-lembaga keuangan internasional yang memiliki modal kuat dan berpengalaman bersaing di tingkat global.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai aset kelompok bank swasta nasional (71 bank) per September 2007 sebesar Rp 754,56 triliun atau memiliki pangsa sebesar 41 persen terhadap total aset perbankan nasional senilai Rp 1.850,56 triliun.

Aset bank-bank swasta tumbuh 19 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kelompok bank pemerintah berstatus BUMN yang sebelumnya merajai industri perbankan memiliki aset Rp 656,15 triliun, atau memiliki pangsa aset sebesar 35 persen.

Dibandingkan tahun lalu, aset Bank BUMN hanya tumbuh sekitar 13 persen. Kelompok bank lainnya, seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan kelompok bank asing serta bank campuran, masih berada jauh di bawah, masing-masing pangsa asetnya hanya sebesar 9,20 persen dan 13,40 persen.

Karena sebagian besar bank swasta papan atas dimiliki investor asing, maka porsi kepemilikan asing pada industri perbankan nasional (di tambah kepemilikan asing pada bank asing dan campuran) menjadi 43,07 persen. Adapun kepemilikan pemerintah tinggal 35 persen.

Tak hanya di sisi aset, kelompok bank swasta juga mencatat pertumbuhan yang signifikan di sisi penghimpunan dana dan penyaluran kredit.

Total dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun bank swasta per September 2007 sebesar Rp 587,72 triliun, tumbuh 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Adapun posisi kredit bank-bank swasta per September 2007 sebesar Rp 393,57 triliun, tumbuh 26 persen dibandingkan September 2006 yang senilai Rp 313,21 triliun.

Pertumbuhan kredit kelompok bank swasta melampaui rata-rata pertumbuhan seluruh kelompok bank sebesar 22 persen.

Kelompok bank swasta nasional juga tercatat sebagai kelompok yang paling banyak menyalurkan kredit ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yakni sekitar Rp 215 triliun atau 46 persen dari total kredit UMKM yang disalurkan seluruh perbankan nasional.

Memiliki pengaruh

Jumlah bank yang masuk dalam kelompok bank swasta memang paling banyak mencapai 71 dari total 130 bank yang beroperasi di Indonesia.

Namun, peran bank swasta yang menonjol itu sebenarnya hanya didorong oleh segelintir saja. Bank yang segelintir ini merupakan bank menengah-besar yang bersifat sistemik, dalam arti memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi industri secara keseluruhan.

Bank-bank swasta yang bersifat sistemik, antara lain BCA, Bank Danamon, BII, Bank Niaga, Bank Panin, Bank Lippo, Bank Permata, Bukopin, Bank Mega, Bank NISP, dan Bank UOB Buana. Puluhan bank swasta lainnya kurang berpengaruh mengingat modal dan asetnya jauh di bawah bank-bank swasta yang sifatnya sistemik.

Sejumlah bank-bank swasta dimiliki investor dari Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru, Inggris, India, Jepang, Chinam, dan Timur Tengah.

Hegemoni bank-bank swasta diperkirakan berlanjut pada tahun 2008. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.

Pertama, bank-bank swasta besar sudah memiliki fokus bisnis yang jelas. Mereka ibaratnya telah memiliki landasan yang kokoh untuk berlari lebih kencang.

Kedua, bank-bank swasta tidak lagi kesulitan mencari tambahan modal mengingat pemiliknya merupakan lembaga-lembaga keuangan ternama di pasar global.

Ketiga, bank swasta umumnya memiliki dukungan teknologi informasi dan manajemen risiko yang mumpuni.

Bank swasta yang paling menonjol tentulah BCA. Bank yang dimiliki Farallon Capital Management dan Keluarga Budi Hartono (bos Djarum Group) tersebut merupakan bank terbesar kedua setelah Bank Mandiri dengan aset Rp 197,05 triliun per September 2007.

Namun, dari sisi keuntungan, BCA melampaui Bank Mandiri. Laba bersih bank bekas milik Salim Group itu tercatat Rp 3,36 triliun per September 2007.

Kinerja BCA tahun depan diperkirakan tetap akan menonjol. Jika melihat kinerja tahun 2007, pada tahun depan BCA akan tetap memiliki daya saing yang lebih tinggi.

BCA juga memiliki sejumlah kekuatan yang membuat para pesaing bergidik. Bank yang dikomandani DE Setijoso ini memiliki modal yang cukup kuat tercermin dari rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang mencapai 20,7 persen.

Bank ini juga tidak terbebani oleh kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) mengingat besarannya hanya 1,1 persen (gros atau sebelum dikurangi provisi).

Namun, kekuatan yang paling ditakuti pesaing adalah kemampuan BCA mengumpulkan dana murah, seperti tabungan dan giro. Ini tak terlepas dari kepiawaian mengembangkan jaringan elektronik, terutama ATM.

Ini akan membuat biaya dana BCA lebih murah dibandingkan bank-bank lain sehingga sejatinya bank ini akan sangat kompetitif dalam menawarkan suku bunga kredit, terutama di sektor korporasi yang sangat sensitif terhadap suku bunga.

Namun, keunggulan itu belum optimal dipakai untuk kepentingan penyaluran kredit. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga-DPK (loan to deposit ratio/LDR) BCA hanya 40,7 persen, tergolong terendah di antara bank-bank papan atas.

Jika masalah ini bisa teratasi, BCA dipastikan bakal makin merajalela. Bank swasta berikutnya yang akan menonjol ialah Bank Danamon, bank kelima terbesar dengan aset sebesar Rp 87,99 triliun.

Bank Danamon, yang dimiliki Temasek Singapura, semakin mantap pada fokus bisnisnya di sektor mikro, kecil, menengah, dan konsumsi.

Bank Danamon benar-benar mengoptimalkan dua senjata andalannya, yakni Adira Finance di sektor konsumsi dan Danamon Simpan Pinjam (DSP) di sektor mikro.

Dua bisnis tersebut menyumbang 56 persen dari total pendapatan bunga bersih Bank Danamon yang mencapai Rp 5,26 triliun.

Tahun 2008, Danamon diprediksi berkembang lebih cepat mengingat potensi pasar kredit mikro masih sangat besar. Apalagi, BI makin mempermudah proses pembukaan jaringan kantor.

Dengan mengandalkan kredit mikro yang menghasilkan imbal hasil tinggi, profit Bank Danamon akan makin terdongkrak.

Bank swasta lain yang masuk dalam 10 bank terbesar ialah BII, Bank Niaga, Bank Panin, dan Bank Lippo. Perbedaan aset di antara mereka sangat tipis sehingga bukan tidak mungkin bakal terjadi saling salip peringkat.

Bank-bank tersebut umumnya memiliki fokus bisnis yang jelas, yakni sektor UKM dan konsumsi.

Mereka juga telah melengkapi diri dengan fasilitas teknologi informasi yang memadai. Salah satu dampaknya, mereka bisa mendapatkan fee based cukup besar.

Bank Niaga, bank yang dimiliki Bumiputra Commerce Malaysia, memiliki kekuatan sebagai bank penyalur kredit pemilikan rumah (KPR). Bank ini memiliki pangsa KPR kedua terbesar setelah BTN, yang memang merupakan bank fokus perumahan.

Bank ritel kuat

Bank-bank menengah ini memiliki motivasi yang tinggi untuk tumbuh lebih cepat. Mereka berupaya mengejar target sebagai bank nasional, dengan modal di atas Rp 10 triliun.

Untuk mencapai itu, mereka akan mengombinasikan pertumbuhan organik dan anorganik melalui akuisisi dan merger.

Kelompok bank swasta lainnya yang siap menyodok ialah Bank Permata, Bukopin, Bank Mega, Bank UOB Buana, dan Bank NISP.

Bank Panin dan Bank Mega diperkirakan akan menjadi bank ritel yang kuat. Bank Permata dan NISP akan menjadi bank yang tangguh dalam pembiayaan UKM. Sementara Bank UOB Buana menjadi etnik bank yang kokoh. Adapun Bukopin bakal menjadi mitra koperasi yang andal. Bank-bank ini selalu mencatat kinerja keuangan yang baik dan pertumbuhan yang pesat.