Mengatur atau mengendalikan perusahaan-perusahaan milik negara bukanlah hal yang sederhana dan tidak krusial. Ini merupakan salah satu hal sulit yang dihadapi pemerintah dalam urusan keuangan negara. Sementara, dalam lingkup urusan yang sama, menggenjot pendapatan pajak di negara ini bukan merupakan pekerjaan semudah membalik telapak tangan. Benang kusut perpajakan di negara ini sampai kini masih terlalu kusut.
Karena itu, soal perusahaan negara mau tak mau harus diperhatikan. Setidaknya sebagai pengurang sakit dalam urusan keuangan negara kita. Sasarannya adalah agar perusahaan negara menjadi efisien, memberi manfaat yang lebih baik pada masyarakat, semakin tidak tergantung pada suntikan subsidi dalam berbagai bentuk, menghasilkan pendapatan yang sebesar mungkin, dan sebagainya.
Keunikan perusahaan milik negara adalah statusnya. Sebagai milik negara, tentu tidak mudah mengefisienkannya, tidak mudah membebaskannya dari perilaku manja dan bahkan seringkali tidak mudah mempailitkannya sekalipun sudah sangat layak dipailitkan. Padahal perusahaan begini selain berperan menghasilkan barang dan jasa bagi perekonomian, juga memberikan kontribusi bagi penerimaan pemerintah pusat dan daerah serta mendorong berbagai perbaikan seperti peningkatan kesempatan kerja dan penyediaan produk-produk tertentu yang diperlukan masyarakat.
Secara teoretis, kehadiran perusahaan jenis ini mendapat pembenaran dari dunia ilmu ekonomi. Adam Smith yang dipandang sebagai bapak dari ilmu ekonomi telah menegaskan pada lebih dari dua ratus tahun yang lalu bahwa selain menjaga keadilan dan pertahanan negara (justice and national defence) pemerintah perlu memiliki perusahaan-perusahaan yang sengaja dihadirkan untuk kepentingan masyarakat umum.
Adam Smith mengizinkan peran badan usaha milik negara di beberapa jenis produk. Beliau menggariskan karakter produk yang boleh atau yang sebaiknya ditangani oleh badan usaha milik negara, selain peran pemerintah meregulasi. Salah satunya, produk yang sebaiknya ditangani badan usaha milik negara adalah yang berguna tapi tidak profitabel bagi pihak swasta.
Prinsip ini kemudian dikembangkan oleh banyak ekonom lain yang hidup pada masa sesudah Smith. Mereka memunculkan argumen tambahan seperti efisiensi produksi barang atau jasa tertentu akan lebih tinggi jika dimonopoli pemerintah, harga pokok produk akan lebih rendah jika produksinya dimonopoli oleh badan usaha milik negara, manfaatnya akan dinikmati masyarakat secara lebih merata jika ditangani satu perusahaan yang dikelola negara, dan sebagainya. Maka semakin kuatlah alasan perlunya perusahaan milik negara.
Praktek dari hal-hal tersebut bisa dilihat dalam peran badan-badan usaha milik negara kita. Sebagai misal, pada bidang perlistrikan, PLN mendominasi produksi listrik di negara kita. Di bidang perminyakan, Pertamina memperoleh hak monopoli menghasilkan BBM. Di bidang pendidikan, banyak sekali sekolah negeri didirikan pemerintah agar sebanyak mungkin penduduk bisa sekolah. Di dunia perbankan, beberapa bank pemerintah turut beroperasi. Di bidang kesehatan, peran rumah sakit pemerintah sangat besar. Masih banyak bidang lain lagi yang dicokoli perusahaan negara.
Dalam kenyataan di Indonesia saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa telah banyak pihak swasta memasuki teritori yang pada mulanya dipandang tidak profitabel. Sebut saja dunia pendidikan. Saat ini banyak sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi serta berbagai jenis pendidikan lainnya yang diperani oleh swasta. Hal serupa terlihat juga dalam dunia kesehatan dengan menjamurnya rumah-rumah sakit, klinik bersama, dan sebagainya.
Namun penurunan dominasi pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan ini tidak berlaku dalam bidang lain seperti perlistrikan dan perminyakan. Pemerintah tetap memagarinya secara ketat. Ini terjadi dengan alasan yang bisa diterima tentunya. Dalam bidang perminyakan, apabila swasta pun diperbolehkan terjun beraktivitas seperti Pertamina (bukan sebagai bagian dalam Pertamina tapi menyaingi Pertamina) keadaan akan menjadi amat kacau. Karena itulah, perlindungan kemonopolian di tangan pengelola perminyakan dan perlistrikan harus lebih ketat di banding pada bidang seperti pendidikan dan kesehatan tersebut.
Ketat-tidaknya perlindungan pemerintah ini mestinya berimplikasi juga pada ketatnya pengawasan. Mengapa? Untuk menjawabnya, kita bisa kembali ke alam berpikir Adam Smith yang sangat menjunjung tinggi peran persaingan dalam mengefisienkan, memurahkan harga, meningkatkan kualitas output, dan sebagainya, dalam model mekanisme pasarnya yang terekenal itu.
Dengan masuknya penyedia-penyedia jasa swasta, persaingan telah mulai berperan dalam dunia pendidikan dan kesehatan. Badan-badan usaha pemerintah di bidang-bidang ini berhadapan dengan makin banyaknya pesaing yang pada gilirannya akan menuntut perbaikan diri kalau tidak mau ditinggalkan oleh kehebatan badan usaha swasta.
Jelas terlihat bahwa kontrol kualitas terhadap penyedia-penyedia jasa pendidikan dan kesehatan milik negara perlahan-lahan menajam sebagai suatu proses alamiah. Itulah kontrol yang datang dari persaingan, yakni kontrol yang “berasal dari” penyedia-penyedia jasa milik swasta selaku pesaing.
Bagaimana dengan kontrol terhadap perusahaan-perusahaan negara yang dilindungi dari persaingan sehingga menjadi monopolis atau pemegang posisi dominan yang dilindungi aturan negara? Tentu saja efisiensi perusahaan-perusahaan negara begini tidak akan lahir akibat tuntutan persaingan. Nah, sebagai pengganti kontrol dari persaingan yang nihil ini, pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan negara yang amat dilindungi haruslah lebih ketat untuk menghindari inefisiensi ataupun berbagai bentuk penyimpangan. Pengawasan terhadap organisasi milik negara seperti universitas negeri atau rumah sakit pemerintah harus relatif lebih longgar dibandingkan dengan perusahaan negara yang berposisi amat dominan seperti Pertamina dan PLN.
Berdasarkan pemikiran ini, kita perlu merumuskan kembali standar-standar pengawasan terhadap badan-badan usaha milik negara. Apakah sebuah perusahaan negara monopoli atau berposisi dominan bisa dipandang telah memiliki kontrol yang cukup karena sistem dan prosedur manajemen ataupun akuntansinya telah menyerupai perusahaan serupa di negara-negara maju? Sayang sekali harus disadari bahwa ini masih belum memadai. Pertama, karena nihilnya atau rendahnya kadar persaingan perusahaan begini di dalam negeri kita.
Kedua, karena perbedaan mentalitas manusia di dalam perusahaan sehingga dengan sistem yang sama dengan di negara maju saja belumlah cukup. Harus ada komponen dan subsistem pengawasan ekstra, melebihi yang berlaku di tempat lain. Dengan cara menghadirkan pengawasan ekstra begini, niscaya berbagai penyimpangan yang bermuara pada inefisiensi akan bisa terkikis lebih cepat. Apa saja pengawasan ekstra yang harus dimunculkan? Ini tergantung jenis usahanya.
Di samping semua itu, sebenarnya masih ada satu potensi yang belum dimanfaatkan. Masyarakat sebenarnya bisa diandalkan untuk membantu mengefisienkan perusahaan-perusahaan seperti Pertamina dan PLN melalui pemikirannya. Kelompok akademisi sebagai misal bisa turut membantu melalui aktivitas penelitian. Tapi kenyataannya sampai kini, betapa sulitnya dan bahkan betapa tidak mungkinnya memperoleh informasi tentang perusahaan-perusahaan monopoli ini. Berdasarkan berbagai argumen primitif (ketertutupan, kerahasiaan, dsb.) dimunculkanlah peraturan-peraturan yang menutup akses ke data perusahaan-perusahaan ini. Penelitian yang bisa menghasilkan masukan-masukan berharga, yang merupakan bentuk pengawasan ilmiah, jadi tidak mungkin dilakukan.
Sayang sekali jika keterbukaan dihindari. Padahal apabila kemonopolian dan ketertutupan dihadirkan bersama, ini merupakan landasan yang empuk bagi berbagai bentuk penyimpangan.
____________
Benny A. Ratag
Pengamat Ekonomi tinggal di Jakarta
Monday, January 14, 2008
Antara persaingan dan pengawasan ketat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment