Thursday, January 31, 2008

Terlalu Banyak yang Berpersepsi Buruk tentang AS


Rabu, 23 Januari 2008 | 13:35 WIB

Beberapa hari berturut-turut ini harga-harga saham di semua bursa saham berguguran. Padahal, perusahaan finansial, seperti perbankan dan investment banking, yang merugi karena aset berbasis kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) adalah perusahaan-perusahaan Amerika, Eropa, paling dekat China atau Jepang.

Perbankan di Indonesia tidak diizinkan membeli aset berbasis subprime mortgage AS. Namun, mengapa bursa saham di Jakarta juga terkena dampaknya. ”Perusahaan finansial tak sama dengan perusahaan manufaktur,” ujar Kepala Riset Recapital Poltak Hotradero. Dia mengibaratkan, jika perusahaan manufaktur misalnya pembuat mobil di AS merugi karena penjualan menurun, CEO-nya tidak dapat serta-merta menelepon pada cabang di India atau China.

Sebaliknya di pasar saham, dengan hanya mengangkat telepon dan memberikan perintah jual, dalam hitungan detik perintah itu sudah dilaksanakan. Dampaknya ke bursa adalah harga saham jatuh diikuti pelemahan indeks saham. Apalagi jika yang dilepas adalah saham-saham unggulan yang memiliki kapitalisasi pasar besar. Sedikit saja ada penjualan, indeks serta-merta jadi ”merah”.

Naik turunnya pasar saham juga dikendalikan dengan persepsi. Jika ada berita yang dipersepsikan akan berdampak bagus untuk saham atau perekonomian, indeks akan bergerak naik. Sebaliknya, jika ada sesuatu yang dipersepsikan buruk, dampaknya akan buruk juga.

Keadaan perekonomian di AS yang terlihat dari data-data seperti tingkat pengangguran, penjualan ritel, dan inflasi dianggap memburuk pada awal tahun ini. Semakin banyak orang yang menganggur, semakin sedikit masyarakat Amerika yang berbelanja. Ditambah lagi dengan tingginya inflasi berarti semakin mahal harga barang di AS.

Semua itu membuat negara- negara Asia yang mengekspor barangnya ke AS takut volume ekspornya menurun. Penurunan volume ekspor berarti penurunan penjualan dan penurunan pendapatan bagi perusahaan- perusahaan. Jika pendapatan menurun, semakin kecil kemungkinan para investor mendapatkan dividen, semakin kecil pula potensi kenaikan harga sahamnya di bursa.

Akibatnya, para investor yang mempersepsikan data-data ekonomi AS sebagai sesuatu yang buruk akan melepaskan sahamnya. Presiden George W Bush sudah mengusulkan insentif pajak senilai 140-150 miliar dollar AS atau setara dengan 1 persen produk domestik bruto AS. Jumlah yang besar itu dipersepsikan oleh para pelaku pasar tidak akan membantu menghindarkan ekonomi AS dari pelambatan bahkan resesi.

Akibatnya, Senin (21/1), indeks saham di bursa mana pun melemah. Bank Sentral AS, The Federal Reserve, yang akan memangkas suku bunganya akhir bulan ini seharusnya jadi berita baik, tetapi karena terlalu banyak yang berpersepsi buruk, berita baik ini tertimpa banyaknya berita buruk.

Pelemahan rupiah

Gonjang-ganjing di pasar saham ternyata juga menular pada pasar valuta. Sesuai dengan logika, persepsi yang buruk terhadap perekonomian AS menyebabkan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lainnya melemah, kecuali terhadap rupiah. Rupiah terus tertekan dan pada Selasa (22/1) sempat menyentuh Rp 9.500 per dollar AS dan ditutup pada Rp 9.490 per dollar dibanding penutupan hari sebelumnya Rp 9.453 per dollar.

Padahal, jika dilihat dari neraca perdagangan, terjadi surplus yang lumayan besar. Surplus yang dimiliki Indonesia menempati urutan ketiga dari negara di Asia setelah China dan Jepang. Namun, sayangnya, neraca berjalan rendah. Artinya, dari surplus perdagangan yang besar itu sebagian dibelanjakan lagi sehingga surplus pada neraca berjalan tipis. ”Surplus perdagangan besar, tetapi banyak juga yang keluar sehingga sisanya 1 persen dari PDB,” ujar Poltak.

Harga minyak yang membubung tak diimbangi dengan hasil minyak (lifting) yang dapat diekspor. Ujungnya, tetap saja kantung penerimaan kempis kembali karena keperluan pembayaran minyak jadi lebih tinggi.

Pembayaran ini dilakukan dalam dollar AS sehingga meningkatkan pula permintaan mata uang dollar AS. ”Arah pasar seperti berkabut, sangat sulit ditebak. Kalau ada analis yang mengatakan bahwa pasar akan terjadi konsolidasi, itu sebenarnya sang analis sedang bingung,” ujar Kepala Riset Mega Capital Indonesia Felix Sindhunata. Dalam pasar saham yang sangat tinggi volatilitasnya seperti sekarang, banyak analis yang menganjurkan agar investor memegang dana tunai. (Joice Tauris Santi/Kompas)

No comments: