Thursday, January 31, 2008

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) (2)


Persennya Disalah Gunakan

Minggu, 13 Januari 08

Sebelum artikel ini di KoranInternet dimuat tulisan saya yang berjudul “INTERPELASI BLBI KEPADA SBY SALAH ALAMAT”.

Masalah, atau lebih tepat malapetaka keuangan maha besar yang dikenal dengan istilah “BLBI” adalah sebuah rentetan kebijakan pemerintah yang praktis dipaksakan oleh IMF dalam menangani krisis moneter di tahun 1997, yang kemudian meluas sampai menjadi depresi ekonomi.

Gambaran menyeluruh secara garis besarnya (bird’s eye view) diberikan oleh artikel sebelumnya. Tulisan ini merupakan tulisan kedua yang khusus membahas tentang BLBI.

BLBI ADALAH FUNGSI POKOK BANK SENTRAL

Fungsi yang paling pokok dari sebuah bank sentral adalah bertindak sebagai the bankers’ bank atau lender of the last resort.

Bank melakukan transaksi setiap harinya. Salah satu yang termasuk kegiatan bank paling intensif adalah lalu lintas uang antar bank yang disebabkan karena lalu lintas giro dari semua pemegang rekening bank. Bank berutang kepada bank lain kalau uang nasabah berpindah ke bank lain tersebut, dan sebaliknya. Jumlah uang keseluruhan yang setiap harinya masuk ke dalam bank tidak pernah persis sama dengan jumlah uang keluarnya.

Di antara seluruh bank yang ada di negeri ini, semuanya dihitung menjadi satu, sehingga setiap akhir hari posisinya setiap bank ketahuan, apakah saldonya plus/positif atau minus/negatif. Penyatuan keseluruhan ikhtisar lalu lintas uang antara semua bank ini disebut clearing (kliring). Kalau sebuah bank mengalami saldo minus, tetapi masih mempunyai uang sendiri untuk membayarnya, itu sangat normal.

Terkadang bank berakhir dengan posisi minus yang lebih besar jumlahnya dari uang yang dimilikinya. Dalam hal seperti ini, namanya “bank kalah kliring”, atau bank dalam posisi negatif/minus.

Biasanya, dalam posisi seperti ini, kalau jumlahnya tidak terlampau besar, bank yang kalah kliring bisa meminjam dari inter bank money market atau call money market yang kegiatannya pinjam meminjam dalam waktu 24 jam dan hanya dibolehkan untuk bank.

Kalau jumlahnya terlampau besar, sehingga minusnya tidak dapat ditutup dengan pinjaman dari inter bank call money market, bank sentral wajib turun tangan membantunya. Namun dengan persyaratan tertentu dan kehati-hatian yang sebagaimana mestinya. Bank dalam posisi seperti ini sudah harus diawasi dengan ketat.

Walaupun harus dengan persyaratan, bank sentral wajib memberikan talangan supaya bank yang bersangkutan dapat membayar kepada bank yang mempunyai piutang.

JAUH SEBELUM KRISIS BI MEMBERI BLBI BERULANG-ULANG

Karena salah satu fungsi pokoknya BI sebagai bank sentral yalah lender of the last resort, maka jauh sebelum krisis pemberian BLBI kepada dunia perbankan adalah hal yang rutin.

Namun yang menjadi sorotan oleh Kejaksaan Agung dan masyarakat adalah BLBI yang dikucurkan kepada bank-bank yang terkena rush di tahun 1998.

Tidak banyak pembahasan tentang satu kasus yang sangat besar dan sangat bermasalah ini. Komisi XI DPR juga tidak menyentuh masalah ini ketika berdengar pendapat dengan 9 mantan Menteri Keuangan dan mantan Menko EKUIN beberapa waktu yang lalu.

BLBI BERMASALAH BESAR

Atas permintaan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menerbitkan laporan audit investigasi bernomor 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Judulnya “LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”

Ringkasan Eksekutifnya dimulai dengan “Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL).”

Saya kutip beberapa butir yang penting sebagai berikut.

“BI tetap tidak melakukan stop kliring kepada bank-bank yang sudah mengalami overdraft dalam jumlah besar dan waktu yang lama.”

“Dispensasi kepada bank-bank yang rekening gironya bersaldo debet untuk tetap mengikuti kliring, pada mulanya diberikan dalam jangka waktu tertentu tanpa ada batasan jumlah maksimal. Namun dalam perkembangan selanjutnya dispensasi tersebut diberikan tanpa batasan waktu dan jumlah maksimal.”

“Dispensasi semacam itu sudah dilakukan oleh BI jauh sebelum krisis menimpa sistem perbankan nasional. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bank yang sudah lama overdraft sebelum krisis, namun tidak dikenakan sanksi stop kliring.”

Di halaman viii (Laporan Audit Investigasi) di bawah huruf C dengan judul “Potensi Kerugian Negara Dalam Penyaluran BLBI” ditulis “Dari hasil audit investigasi terhadap penyaluran BLBI posisi tanggal 29 Januari 1999 yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, kami menemukan berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dari jumlah BLBI yang disalurkan pada tanggal tersebut.”

Di halaman x diberikan perincian dari “jumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI untuk transaksi periode sampai dengan 29 januari 1999 sebesar Rp. 84.842.162 juta atau 58,70 % dari jumlah BLBI yang disalurkan per 29 Januari 1999 sebesar Rp. 144.536.086 juta.”

Perincian di halaman x tersebut adalah penyimpangan dalam penggunaan BLBI beserta jumlah uangnya sebagai berikut :

“BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal pinjaman/pinjaman subordinasi sebesar Rp. 46,088 milyar. Untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis (G-3) sebesar Rp. 113,812 milyar. Untuk membayar kepada pihak terkait (G-4) sebesar Rp. 20, 367458 trilyun. Untuk transaksi surat berharga sebesar Rp. 136,902 milyar. Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan (G-6) sebesar Rp. 4,472831 trilyun. Untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/cut loss (G-7) sebesar Rp. 22,463004 trilyun. Untuk membiayai placement baru di PUAB (G-8) sebesar Rp. 9,822383 triliun. Untuk ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (G-9) sebesar Rp. 16,814646 trilyun. Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, pembukaan cabang baru, penggantian sistem baru (G-10) sebesar Rp. 456,357 milyar. Untuk membiayai overhead bank umum (G-11) sebesar Rp. 87,144 milyar. Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk dalam G-1 s.d. G-11 (G-12) sebesar Rp. 10,061537 trilyun.

Dari sebagian penyimpangan ini saja bisa kita lihat betapa ngawurnya pimpinan BI ketika itu. Entah sekarang ini masih ada yang duduk dalam pimpinan atau tidak. Komentar yang paling tepat seperti yang sering dipakai oleh Opa Irama dalam Republik Mimpi, yalah “TER….LA….LU !!”

YANG HARUS DI-INTERPELASI SIAPA ?

Bank Indonesia independen, tidak ada urusan dengan Presiden, boss-nya BI adalah DPR. Boss-nya BPK juga DPR. Kok DPR meng-interpelasi SBY sebagai Presiden ? Jangan-jangan Gus Dur nanti berujar lagi bahwa DPR bagaikan Taman Kanak-Kanak.

Buat SBY sangat enak, tinggal meng-interpelasi balik dengan pertanyaan-pertanyaan seperti : “Ketika itu DPR sedang ngelamun apa ? Demikian juga BI ketika itu sedang ngelamun apa ? Dan apa tujuan anda kok sampai secara aklamasi mau meng-interpelasi saya, sedangkan saya yang terbengong-bengong tapi tidak bisa apa-apa, karena para pelakunya badan-badan yang independen, dan yang membuat independen DPR. Dasar Demokrasi yang Crazy”.

BANYAK DATA DI BANYAK BANK PENERIMA BLBI DIRUSAK

Yang ini saya dengar dalam rapat-rapat resmi yang saya pimpin ketika saya menjabat sebagai Menko EKUIN. Rekan-rekan dari BPPN menceriterakan bahwa penyalah gunaan BLBI memang ada. Dan tidak saja ada, tapi brutal. Setelah nilep dana BLBI yang tidak dibayarkan kepada para deposannya, karena rush-nya jauh lebih kecil jumlahnya, mereka sadar betul bahwa cepat atau lambat pasti ketahuan. Maka data yang tersimpan di dalam CPU computer itu, tidak saja dihapus, tetapi Personal Computers (PC) yang banyak itu dijebol, kabelnya ditarik begitu saja seperti orang panik. Kantor-kantor bank ketika itu seperti baru digarong dengan perusakan. Saya hanya meneruskan saja apa yang saya dengar.

GEDUNG BANK INDONESIA TERBAKAR

Beberapa waktu kemudian ada yang berpikir bahwa BI menerima satu lembar copy dari semua transaksi. Maka gedung BI dan ruang yang menyimpan dokumen-dokumen tersebut terbakar. Setelah itu saya membaca di surat kabar bahwa POLRI menyimpulkan tidak mustahil kebakaran itu bukan kecelakaan, tetapi dibakar. Semua ini termuat di koran.

KOMISI IX DPR DAN KEMUNGKINAN ADANYA ALIRAN DANA

Tadi telah dikemukakan adanya laporan audit investigasi oleh BPK tentang BLBI.

Ketika laporan tersebut diserahkan kepada Komisi IX DPR, saya berfungsi sebagai anggota Komisi IX DPR. Maka dibentuk Panja untuk membahas laporan tersebut. Saya masuk sebagai anggota Panja.

Saya tidak banyak dilibatkan dalam rapat-rapat Panja yang mungkin juga dihadiri oleh para pejabat dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Rapat-rapatnya tidak di gedung DPR, tetapi di hotel-hotel.

Kesimpulan Panja mengejutkan saya. Seperti tadi telah saya kemukakan, menurut BPK sejumlah Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dikategorikan oleh BPK sebagai “berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI yang menimbulkan potensi kerugian negara.”

Oleh Panja disepakati bahwa BI hanya disuruh bertanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, karena kalau lebih dari ini BI-nya bangkrut. Mana ada bank sentral yang bangkrut ? Saya protes keras karena merasa DPR melecehkan dan memain-mainkan aparatnya sendiri, yaitu BPK. Kalau tidak percaya dengan BPK ya BPK-nya dibubarkan atau Ketua beserta staf intinya dipecat, tapi jangan dimain-mainkan begitu.

Akhirnya keputusan Panja tersebut diambangkan sampai Presidennya berganti dari Gus Dur ke Ibu Megawati. Menko Ekonominya, Prof. Dorodjatun minta advis kepada mantan Gubernur FED (Bank sentralnya AS) Paul Volcker. Advisnya dipakai dan diberlakukan, yaitu segala sesuatunya diselesaikan dengan secarik kertas dengan susunan kata-kata yang intinya Departemen Keuangan menjamin segala sesuatunya akan beres. Tentu rumusannya ilmiah, sophisticated, dan namanya Capital Maintenance Note. Saya punya kalau ada yang berminat.

Tentang kemungkinan adanya aliran dana dari BI kepada beberapa anggota Panja BLBI yang sampai menyimpulkan bahwa BI “digantung” dengan tanggung jawab sebesar Rp. 24,5 trilyun saja, sampainya ke telinga saya hanya sebagai desas-desus. Tidak ada dokumennya.

Kesimpulan

Jadi kalau hanya mau bicara atau meng-interpelasi BLBI saja, ya itulah permasalahannya. Tetapi kalau DPR mau mengetahui kebijakan-kebijakan yang merupakan konsekwensi dari BLBI, bacalah artikel selanjutnya dalam serial KoranInternet ini.


___________

Kwik Kian Gie

1 comment:

The Indonesia Monitor Group said...

Siapakah Biang Kerok Kegaduhan BLBI?

Akhirnya Kejaksaan Agung (Kejakgung) tidak menemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam dua kasus Bank Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada kesempatan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman juga mengumumkan pembubaran tim 35 jaksa yang bertugas menyelidiki dua kasus BLBI tersebut sekaligus menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Keputusan Kejagung tersebut relevan dengan logika keadilan hukum bisnis. Bagaimana mungkin, obligor yang dinilai pemerintah sebagai obligor yang kooperatif, dianiaya melalui berbagai unjuk rasa oleh para aktivis mahasiswa, dan juga dibombardir berita negatif yang berasal dari anggota DPR-RI. Sebaliknya, obligor yang jahat dan tidak kooperatif (seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR-RI), justru tidak tersentuh hukum. Bahkan sebagian, sukses ngumpet di luar negeri.

Oleh sebab itu, sebaiknya aparat hukum, baik Polri maupun Kejakgung mengusut siapa konglomerat hitam yang menjadi biang kerok dan sponsor dibalik kegaduhan BLBI selama ini. Selain merepotkan pemerintah karena membuang-buang energi dengan membuka kasus lama yang sudah closed, tekanan publik melalui unjuk rasa dan pernyataan negatif, sudah menorehkan citra negatif terhadap iklim investasi di Indonesia.

Berbagai kalangan kritis memprediksi, ada disain besar yang disponsori oleh konglomerat hitam untuk meluluh-lantakan tatanan hukum bisnis investasi setelah dia mereguk keuntungan ekonomis dan politis sekaligus. Dalam hal kepentingan ekonomis, konglomerat hitam itu hanya ingin mengeruk keuntungan tanpa mau mempertanggungjawabkan kewajiban utang-utang.

Konglomerat hitam sudah mengambilalih asset obligor BLBI melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga yang murah, namun tidak mau membayar kewajiban kepada pihak ketiga. Pengusutan terhadap konglomerat hitam seperti ini pastilah akan memberikan citra positif terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY). Adakah political will pemerintah untuk memberangus konglomerat hitam seperti ini? sebaiknya pemerintah yang menjawab pertanyaan ini.