Friday, January 4, 2008

Garmen Lokal Kian Tergerus


Diperlukan Tindakan Pengamanan Perdagangan

Jakarta, Kompas - Pangsa produk pakaian jadi lokal di pasar domestik kian tergerus oleh produk impor ilegal. Pada tahun 2007, produk lokal diperhitungkan hanya menguasai 22 persen dari pasar domestik, anjlok dari 45 persen pada tahun 2006. Padahal, pemasok garmen lokal mayoritas berskala kecil dan menengah.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno di Jakarta, Rabu (2/1), menjelaskan, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) menunjukkan, konsumsi pakaian jadi di pasar domestik pada tahun 2007 mencapai 1,22 juta ton.

Sementara itu, produksi pakaian jadi industri nasional yang diserap pasar dalam negeri hanya 270.000 ton, sedangkan impor garmen yang tercatat resmi hanya sebesar 88.000 ton.

"Artinya, ada konsumsi garmen sebesar 862.000 ton yang enggak jelas dari mana sumbernya," ujar Benny.

API memperkirakan, kesenjangan antara konsumsi nasional dan serapan produk nasional serta impor resmi itu diisi oleh garmen yang masuk ke pasar domestik secara ilegal.

Benny mengakui, adanya pengetatan pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Tanjung Priok, Jakarta, dan Batam. Namun, titik masuk penyelundupan yang tidak terawasi masih amat banyak.

"Pelabuhan tercatat di Indonesia ini lebih dari 130, belum lagi yang tidak tercatat. Di Serang, Banten, saja ada banyak pelabuhan milik perusahaan swasta. Penyelundupan garmen paling banyak masuk ke Pulau Jawa dan Sumatera yang penduduknya paling padat," ujar Benny.

Data BI dan BPS yang diolah API juga menunjukkan adanya peningkatan konsumsi pakaian jadi di pasar domestik hingga 20 persen dari 1,013 juta ton pada tahun 2006 menjadi 1,220 juta ton pada tahun 2007.

Sayangnya, peningkatan volume konsumsi itu justru sebagian besar dimanfaatkan oleh produk impor. Produk impor ilegal diperkirakan menguasai sedikitnya 70 persen dari pasar domestik.

Kondisi ini amat dirasakan memprihatinkan karena pelaku industri garmen yang tergerus pangsa pasarnya dan mati adalah industri kecil dan menengah yang hanya berorientasi ke pasar dalam negeri.

Sebaliknya, perusahaan garmen berskala besar masih bisa bertahan dan tumbuh dengan orientasi ekspor. Data API menunjukkan, 92,6 persen dari total produksi garmen Indonesia diekspor.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT), termasuk garmen/ pakaian, merupakan penyumbang devisa non-migas terbesar, yakni 10,31 miliar dollar AS atau 2,4 persen dari produk domestik bruto.

Industri TPT juga merupakan industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja di sektor manufaktur. Sekitar 1,8 juta pekerja diserap oleh industri TPT.

Pengamanan pasar

Menyikapi makin banyaknya produk impor, khususnya dari China, API menilai pemerintah perlu menerapkan kebijakan pengamanan perdagangan.

"Persaingan perdagangan yang tidak fair ini harus diatasi," ujar Benny. Pembatasan impor pakaian jadi dari China antara lain dilakukan oleh Amerika Serikat, Eropa, dan Turki.

"API sudah melakukan investigasi dan mengumpulkan data untuk mengajukan safeguard (tindakan pengamanan perdagangan), tetapi pemerintah menilai belum cukup bukti kerusakan yang ditimbulkan oleh garmen impor ini. Industri yang tutup pun tidak dianggap sebagai bukti," kata Ernovian G Ismy, Sekretaris Eksekutif API.

Di sisi lain, tindakan hukum terhadap penyelundup yang tertangkap pun dirasa masih terlalu lemah. Pada salah satu kasus penyelundupan pakaian jadi yang merugikan negara Rp 1 miliar, misalnya, pengadilan hanya menjatuhkan denda Rp 100 juta. Barang yang diselundupkan pun tidak pasti dimusnahkan.

API menyarankan pemerintah juga mengurangi impor garmen ilegal dengan intensifikasi pajak di kalangan pedagang pakaian jadi. "Pedagang di Pasar Tanah Abang, Jakarta, misalnya, sebagian besar tidak punya NPWP (nomor pokok wajib pajak). Artinya, tidak ada catatan aliran kasnya sehingga leluasa saja memperdagangkan garmen impor yang ilegal," ujar Ernovian.

Garmen impor ilegal tidak membayar bea masuk 15 persen, pajak pertambahan nilai (10 persen), dan pajak penghasilan (2,5 persen). Akibatnya, produk lokal yang bayar pajak tidak dapat bersaing di pasar domestik. (DAY)

No comments: