Thursday, January 31, 2008

Perekonomian Pasca-Soeharto


Rabu, 30 januari 2008 | 02:18 WIB

A Tony Prasetiantono

Perbedaan terbesar rezim perekonomian era Soeharto dibandingkan pasca-Soeharto adalah Soeharto memiliki hak istimewa (privilege) dalam mengambil kebijakan, dalam situasi sesulit apa pun. Soeharto amat dominan di sektor politik sehingga relatif mudah membuat keputusan (decisive), yang didukung gaya kepemimpinannya yang kuat (strong leadership).

Situasi ini berdampak positif bagi perekonomian karena menumbuhkan kepercayaan (confidence) dan kepastian (certainty), dua elemen yang amat diperlukan bagi pelaku ekonomi dan bisnis.

Hal ini kontras dengan situasi pasca- Soeharto. Saat eforia demokrasi berlarut sejak 1998, pengambilan keputusan menjadi lebih sulit dan rumit karena kian banyak ”pemain” yang harus diakomodasi. Dengan segala aspek positifnya, demokrasi dan otonomi daerah telah menjadi kendala tersendiri bagi proses pengambilan keputusan (decision-making policy process). Akibatnya, berbagai keputusan penting tidak bisa segera diambil dan sering diletakkan sebagai agenda yang ditunda (pending matters), alias telantar.

Kapitalisme kroni

Di sisi lain, Soeharto juga terlampau memberi banyak kesempatan kepada anak, kerabat, dan kroninya untuk mendominasi dunia bisnis melalui berbagai skema kemudahan. Sebenarnya, ”cacat” ini sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh para pengamat. Yang cukup monumental adalah karya klasik Yoshihara Kunio dari Universitas Kyoto, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia (1988).

Pada dasawarsa 1980-an, Yoshihara memotret fenomena tumbuhnya pengusaha besar (kapitalis) yang sifatnya semu (ersatz) di Asia Tenggara. Ia membedakan menjadi sedikitnya tujuh kelompok.

Pertama, royal capitalists atau pengusaha yang berasal dari keluarga kerajaan, seperti terjadi di Thailand dan Malaysia.

Kedua, presidential families, atau keluarga presiden yang terlibat bisnis, sebagaimana Indonesia di era Soeharto.

Ketiga, crony capitalists, yakni para pengusaha yang mempunyai hubungan perkoncoan dengan kepala negara.

Keempat, bureaucratic capitalists; yakni birokrat dan mantan birokrat yang aktif berbisnis.

Kelima, politicians-turned-capitalists, yaitu politisi yang menjadi pengusaha.

Keenam, capitalists-turned-politicians, pengusaha yang menjadi politisi.

Ketujuh, other government-connected capitalists, alias kategori lain dari pengusaha yang mempunyai kedekatan hubungan dengan pejabat pemerintah.

Sesudah Yoshihara, sederet karya dari peneliti dan pengamat yang menekuni topik ini—pertautan bisnis dan politik yang melibatkan kroni Soeharto—antara lain adalah Richard Robison (Power and the Economy in Suharto’s Indonesia, 1990), Andrew MacIntyre (Business and Politics in Indonesia, 1991), Adam Schwarz (A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, 1995), dan Jeffrey A Winters (Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State, 1996).

Disertasi saya tentang privatisasi BUMN juga menemukan dinamika kroni Soeharto dalam proses privatisasi (The Political Economy of Privatization of State-owned Enterprises in Indonesia, Australian National University, Canberra, 2005). Meski disertai karut-marut kapitalisme kroni, privatisasi BUMN relatif mudah dijalankan di era Soeharto karena akhirnya Soeharto pula yang memegang kendali untuk memutuskan dan menjalankan, tanpa tantangan berarti dari pihak lain. Hal ini terlihat jelas dari kasus-kasus privatisasi Semen Gresik (1991), Indosat (1994), Timah (1995), Telkom (1995), dan BNI (1996). Dinamika sempat terjadi pada kasus Telkom karena bertabrakannya berbagai kepentingan anak-anak dan kroni Soeharto sehingga perusahaan itu nyaris gagal menjual sahamnya di New York. Berkat lobi gigih Setyanto P Santosa (Dirut Telkom saat itu) kepada Soeharto, melalui orang-orang terdekatnya, privatisasi internasional tetap dilaksanakan.

Di era Soeharto, privatisasi BUMN dimaksudkan untuk membayar utang luar negeri. Pada tahun 1995, Soeharto pernah berkata, ”Kita tidak perlu khawatir dengan luar negeri karena memiliki banyak BUMN. Utang luar negeri bisa dibayar melalui penjualan beberapa BUMN (Jakarta Post, 20/7/1999). Itu sebabnya, Indosat dan Telkom juga dijual sahamnya di bursa internasional (New York dan London) karena negara memerlukan devisa.

Di era itu, investor asing belum melimpah dan mendominasi bursa Jakarta seperti sekarang. Penjualan saham perusahaan Indonesia di Wall Street terasa monumental karena kini sulit sekali diulangi. Persyaratannya kian kompleks.

Krisis ekonomi

Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. Pada dasarnya, ada dua hal yang menjatuhkan.

Pertama, kapitalisme kroni yang sudah mengakar telah menginspirasi terjadinya praktik moral hazard secara meluas. Moral hazard adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab oleh sebagian pelaku ekonomi, yang berusaha menangkap banyak keuntungan, dengan memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun (aji mumpung).

Saat praktik moral hazard juga melanda sektor finansial yang seharusnya dikelola dengan disiplin dan kehati-hatian, yang terjadi adalah krisis finansial hebat. Bentuknya adalah pelanggaran legal lending limit (memberi kredit ke perusahaan sendiri), bermuara pada kredit macet.

Kedua, seiring sistem devisa bebas yang sudah lama dijalankan dan arus besar globalisasi finansial yang tak dapat dibendung, sektor swasta banyak melakukan transaksi utang dari kreditor asing. Utang- utang ini tidak tercatat dan tak terpantau otoritas moneter. Di luar dugaan, jumlah seluruh utang luar negeri swasta diam-diam menyamai seluruh utang luar negeri pemerintah, sekitar 65 miliar dollar AS. Seluruh utang luar negeri kita 130 miliar dollar AS.

Akibatnya, saat Thailand diguncang devaluasi baht pada 2 Juli 1997, kita mulai dirongrong oleh jatuh tempo pembayaran utang luar negeri secara serentak. Lalu, terjadi permintaan dollar besar-besaran. Ditambah fenomena capital flight, rupiah jatuh ke level Rp 17.000 per dollar AS pada medio Januari 1998. Empat bulan kemudian, Soeharto jatuh.

Adakah pelajaran?

Perekonomian pasca-Soeharto dibangun atas dasar demokrasi dan otonomi daerah. Sisi positifnya, pembangunan dilaksanakan atas dasar keadilan (fairness), transparansi, akuntabilitas, independensi, dan bertanggung jawab. Inilah pilar-pilar tata kelola yang baik (good governance).

Beberapa hal positif dari era Soeharto juga bisa diadopsi, misalnya perhatian terhadap perencanaan jangka menengah dan panjang (Pelita) maupun concern terhadap pengendalian penduduk (keluarga berencana). Kini, boleh dibilang tidak ada yang peduli terhadap ledakan jumlah penduduk yang bertambah 1,3 persen. Bandingkan dengan China yang hanya tumbuh 0,9 persen. Anggaran untuk BKKBN kurang dari Rp 1 triliun. Mana cukup untuk berkampanye secara efektif?

Kita tidak akan surut melangkah dari jalan reformasi dan demokrasi yang sudah dipilih. Namun, harus diakui, ada hal-hal yang bisa dipelajari dan diadopsi dari jalan ekonomi yang dulu ditempuh Soeharto. Tentu dengan penyesuaian berdasar konteks kekinian yang luar biasa dinamis ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

No comments: