Ninuk Mardiana Pambudy
Belakangan ini harga pangan merayap naik. Dimulai dari beras dan minyak goreng kemudian disusul kedelai, susu, telur, dan ayam, sumber gizi untuk membangun manusia berkualitas. Dalam artikel di Kompas (3 November 1980), Prof Dr Andi Hakim Nasoetion menulis, Indonesia akan mengalami ledakan populasi.
Tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 200 juta sampai 210 juta jiwa. Perkiraan ahli statistik itu tidak terlalu meleset. Juga perkiraannya ledakan populasi akan menimbulkan masalah lingkungan, energi, pangan, dan gizi. Semua masalah itu dihadapi Indonesia saat ini.
Jumlah penduduk saat ini 230 juta jiwa, gizi buruk pada anak balita kerap terjadi, produksi pertanian (pangan) berkejaran dengan kebutuhan yang dicerminkan oleh tingginya harga bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya.
Kompleksitas masalah jumlah penduduk dan penyediaan pangan adalah tantangan yang dihadapi Soeharto sejak memulai Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I tahun 1969, minus globalisasi.
Ketika itu jumlah penduduk Indonesia 120 juta jiwa dengan pertumbuhan 2,3 persen per tahun dan sebagian besar di Jawa. Produksi pertanian sangat rendah.
AT Birowo mencatat, tahun 1968, produksi beras nasional rata-rata 1,27 ton per hektar (ha) dengan luas tanam 8,02 juta ha (Pemikiran Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Paruh Pertama Ekonomi Orde Baru, ISEI dan Kanisius, 2005).
Ekonomi Indonesia juga belum terdiversifikasi, terlihat dari sumbangan sektor pertanian sebesar 50 persen pada produk domestik bruto (PDB), 50 persen ekspor dari sektor pertanian dalam arti luas, penyumbang besar untuk pembentukan modal, dan memberi lapangan kerja untuk 70 persen penduduk.
Salah satu keberhasilan Soeharto dalam 30 tahun memimpin Indonesia adalah mengurangi kemiskinan melalui antara lain pembangunan sektor pertanian pada masa awal Orde Baru.
Pilihan pada pembangunan pertanian karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor ini, bekerja sebagai petani pemilik atau sebagai buruh tani.
”Pembangunan sektor pertanian diharapkan akan membuka kemungkinan pertumbuhan pada sektor-sektor lain sehingga peluang akan tercipta untuk mengatasi keterbelakangan ekonomi Indonesia di berbagai sektor” (Anne Booth, The Indonesian Economy in The Nineteenth and Twentieth Century, 1998, mengutip Departemen Penerangan tahun 1969).
Kebijakan konsisten
Pilihan membangun pertanian kemudian didukung dengan kebijakan makro dan mikro yang konsisten. Pada akhir tahun 1960-an, pembangunan pertanian, terutama produksi beras, mendapat alokasi dana 30 persen, termasuk untuk irigasi, prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan produksi.
Dana 20 persen dianggarkan untuk membangun jalan sehingga petani memiliki akses mendapatkan sarana produksi, terutama pupuk, dan juga akses untuk menjual produk pertanian mereka (Booth, 1998).
Soeharto, misalnya, tetap mendirikan pabrik pupuk urea meskipun ketika itu Bank Dunia tak setuju dengan keinginan itu.
Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I (1969-1994) ditekankan pada pembangunan pertanian dengan menjaga harga pangan, terutama beras, untuk mencapai ketahanan pangan.
Ketahanan pangan, demikian ekonom pengamat pertanian Indonesia, C Peter Timmer (International Agriculture Development, 1998), menjamin pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ekonomi makro diterjemahkan melalui kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan anggaran dan kontrol inflasi, serta dari sisi kebijakan mikro, nilai tukar, tingkat suku bunga, dan tingkat upah untuk menjamin harga pangan dan nilai tukar perkotaan dan perdesaan.
Hasil program stabilisasi pangan (beras) antara akhir 1960- an hingga awal 1970-an—ketika beras menyumbang pada seperempat ekonomi Indonesia— adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen per tahun.
Pada awal 1990-an, ketika beras menyumbang hanya 5 persen dari ekonomi Indonesia, kebijakan menjaga harga beras menyumbang pertumbuhan ekonomi 0,2 persen di tengah ketidakstabilan harga dunia.
Menurut Timmer, selama PJP I, kebijakan menjaga harga beras menaikkan PDB 11 persen. Untuk Indonesia, ketahanan pangan berarti penurunan jumlah orang miskin melalui pembangunan ekonomi berorientasi desa dan pengendalian harga beras disertai peningkatan produktivitas.
Meskipun harga pangan, terutama beras, dikendalikan, tetapi petani juga dijamin mendapat sarana produksi dalam jumlah dan waktu tepat dengan harga stabil dan terjangkau.
Di luar beras dan palawija, Soeharto berhasil membebaskan Indonesia dari penyakit mulut dan kuku pada ternak yang sudah 100 tahun ada di Indonesia, meningkatkan produksi daging dan telur ayam, serta susu.
Melompat
Keberhasilan itu melahirkan masalah baru, yaitu kelebihan pasokan. Tantangan berikut adalah membangun sektor hilir (off farm) untuk mengolah kelebihan produksi pertanian dan mendapatkan nilai tambah berlipat. Untuk itu perlu memperkuat dan membangun infrastruktur agrobisnis dari hulu hingga hilir, seperti industri manufaktur dan finansial.
Penguatan pada infrastruktur agrobisnis ini, seperti disebutkan ahli ekonomi pertanian, Bungaran Saragih, menjamin petani tetap bergairah berproduksi karena ada jaminan harga produk dan menciptakan lapangan kerja.
Bila kebijakan pembangunan pertanian (sektor hulu) on farm yang terus berlanjut selama pemerintahan Soeharto tampak jelas, pembangunan di sektor off farm pada PJP II (1995-2020) tidak terlalu tegas.
Pemerintah memiliki kebijakan industri pertanian, tetapi sektor nonpertanian mendapat perhatian lebih besar karena ekonomi Indonesia makin terdiversifikasi dan ada kebutuhan membangun industri pengganti barang impor.
Soeharto yang pada masa mudanya tekun, teliti, dan sabar membangun, semakin bertambah usia ingin Indonesia sesegera mungkin diakui sejajar dengan bangsa-bangsa maju.
Hal ini tampak jelas pada pilihan teknologi tinggi pesawat terbang, meskipun industri ini tidak didukung keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia, yaitu pertanian dan sumber daya alam. Padahal, teknologi tinggi pun dapat dikembangkan pada bidang pertanian dan sumber daya alam melalui bioteknologi, misalnya, untuk menghasilkan pangan, kesehatan, dan energi.
Ketika tahun 1985 Soeharto menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk keberhasilan menjadikan Indonesia dari pengimpor terbesar menjadi swasembada beras tahun 1984, Indonesia mengalahkan China dan India sebagai calon penerima penghargaan.
Petani Indonesia bahkan dapat berinisiatif menyumbangkan gabah mereka untuk membantu kelaparan di Etiopia dan kemudian Soeharto setuju inisiatif petani Indonesia mendirikan pusat pelatihan pertanian di Tanzania dan Gambia.
Setelah semua pengalaman itu, Indonesia kini masih direpotkan masalah ketersediaan pangan, produksi sektor on farm, dan menurunkan jumlah orang miskin, meskipun sampai awal 1990-an pangan, terutama beras, berhasil menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
Sementara India, dan terutama China, berhasil melalui tahap pembangunan agroindustri serta praktis dapat mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.
Kombinasi antara pertumbuhan, menjaga harga, dan penurunan jumlah orang miskin berada di ruang politik ekonomi yang bukan sekadar diwacanakan.
Demonstrasi pedagang dan perajin tempe yang kehilangan kedelai awal Januari lalu adalah peringatan bahwa ekonomi tidak dapat dijalankan dengan kebijakan instan.
No comments:
Post a Comment