Sunday, January 6, 2008

Harga Minyak Tembus 100 Dollar AS


Batas psikologis harga minyak 100 dollar AS per barrel akhirnya tertembus juga. Kamis (3/1) kemarin perdagangan di Bursa New York melewati patokan itu.

Walau sudah diprediksi akan terjadi, kenaikan harga minyak dunia menembus batas psikologis 100 dollar AS per barrel merupakan kado tahun baru yang pahit. Terbayang tekanan yang akan terjadi pada perekonomian global dan terlebih lagi dampaknya terhadap perekonomian kita di dalam negeri.

Di tengah optimisme yang tinggi akan perbaikan yang bisa kita lakukan di tahun 2008 ini, naiknya harga minyak dunia sungguh sangat mengganggu. Terutama tekanan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang diakibatkan oleh semakin lebarnya harga patokan yang kita tentukan (60 dollar AS per barrel) dengan kenyataan harga pasar yang terjadi. Menko Perekonomian Boediono pernah menyebutkan, ketika harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel, maka subsidi yang harus disediakan mencapai Rp 170 triliun.

Kita tidak lagi menikmati rezeki nomplok (windfall profit) akibat kenaikan harga minyak dunia karena produksi minyak kita yang cenderung menurun. Tahun lalu, target produksi minyak 950.000 per barrel per hari, tetapi hanya terpenuhi 875.000 barrel. Tidak usah heran apabila yang terjadi adalah kondisi yang menyakitkan.

Keadaan yang kita alami sekarang ini buah dari kelalaian kita sendiri. Kita terlalu terlena dengan kelimpahan sumber daya alam sehingga membuat kita malas dan mau mudahnya saja. Kita bukan hanya lebih banyak menyerahkan eksplorasi minyak kepada pihak lain, tetapi tidak menguasai sepenuhnya industri minyak dan gas ini dari hulu hingga hilir.

Ibaratnya bertahun-tahun kita lebih banyak ongkang-ongkang kaki. Kita menunggu saja bagi hasil dari perusahaan-perusahaan minyak asing. Bahkan produksi itu pun kemudian dijual dalam bentuk mentah dan kemudian kita mengimpor dalam bentuk jadi.

Sekarang kita berketetapan hati untuk berubah diri. Kita menyatakan, ingin melakukan transformasi. Tentu tidak pernah ada kata terlambat. Hanya saja yang namanya resolusi itu tidak cukup hanya diucapkan. Kalau kita mau melakukan transformasi, harus jelas transformasi seperti apa yang ingin kita capai, kapan batas waktunya, dan bagaimana mencapai hal itu.

Sungguh ironis apabila kita yang diberi kelimpahan sumber daya alam tidak mampu menjadikannya sebagai sumber kesejahteraan rakyat banyak. Sementara kita melihat bagaimana negara-negara lain, seperti Rusia, yang bisa membangun kembali kebesaran dan kejayaannya dengan memanfaatkan rezeki nomplok akibat harga minyak yang membubung tinggi.

Dulu kita pernah menyayangkan Nigeria, yang gagal memanfaatkan rezeki nomplok dari kenaikan harga minyak bagi perbaikan kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai orang lain kemudian menyayangkan kita karena gagal memanfaatkan kekayaan alam bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Tantangan itu kini ada di hadapan kita. Tugas kita bersama untuk bisa menjawabnya.

No comments: