Membenahi Perusahaan Listrik Negara
Berhenti operasinya unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Tanjung Jati B pada 31 Desember 2007 karena kekurangan pasokan batu bara mengundang komentar: mengurus satu pembangkit kapasitas 1.200 megawatt saja sudah kedodoran, bagaimana nanti kalau proyek 10.000 MW sudah berjalan?
Ironis, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kembali menyalahkan faktor buruknya cuaca sebagai penyebab terhambatnya pasokan batu bara. Apabila dirunut, matinya pembangkit karena kekurangan pasokan ini sudah kejadian kedua.
Sebelumnya, pada Maret 2007, PLN menghentikan operasi PLTU Tanjung Jati juga karena alasan cuaca. Dua kapal pengangkut batu bara yang memaksa merapat terempas gelombang yang mengakibatkan rusaknya fasilitas dermaga bongkar. Akibatnya, selama dua minggu tidak ada batu bara yang masuk.
Hal serupa juga terjadi pada PLTU Cilacap. Pembangkit swasta yang dioperasikan PT Sumber Segara Primadaya ini pada Kamis (3/1) berhenti operasi karena kehabisan pasokan. Pengelola pembangkit mengaku stok batu bara yang tersedia hanya untuk 10 hari, di bawah standar minimal satu bulan.
Namun, benarkah buruknya cuaca sebagai satu-satunya penyebab terganggunya pasokan? Apakah keputusan Menneg BUMN memberhentikan Direktur Pembangkitan dan Energi Primer sudah didasari evaluasi menyeluruh terhadap manajemen pengelolaan kelistrikan?
Pertama, dari sisi perencanaan pembangkit. Kekurangan pasokan batu bara karena cuaca tidak pernah dikeluhkan pembangkit listrik lain yang sama-sama terletak di pantai utara Jawa.
General Manager PLTU Tanjung Jati B Basuki Siswanto mengakui, posisi dermaga yang tegak lurus dengan arah datangnya angin saat musim barat menyulitkan kapal pengangkut untuk masuk.
Tiga kapal pengangkut batu bara yang sudah dua minggu lebih menunggu di perairan Jepara tidak juga berhasil merapat karena kecepatan angin di atas 40 knot dan gelombang tinggi.
Seharusnya, kesalahan pembangunan semacam ini tidak terjadi jika mitigasi dalam perencanaan pembangkit berjalan baik. Pertanyaannya, mengapa tidak dilakukan antisipasi terhadap cuaca buruk, yaitu dengan menambah pasokan lebih dari biasa, yang hanya dua minggu menjadi minimal satu bulan.
Untuk kasus PLTU Tanjung Jati B, mencari tambahan batu bara tidak mudah karena spesifikasi batu bara yang digunakan berkalori tinggi, yaitu 5.900 kilokalori (kkal) per kilogram, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar PLTU, yang biasanya menggunakan 5.100 kkal.
Hanya sedikit perusahaan tambang yang memproduksi batu bara dengan spesifikasi itu. Dalam posisi membutuhkan, tentu sulit bagi PLN menegosiasikan harga yang pantas dengan perusahaan batu bara yang sanggup memasok untuk PLTU Tanjung Jati B.
Harga dasar kontrak batu bara yang diteken tahun 2006 untuk PLTU Tanjung Jati B berkisar Rp 508.850 per ton.
Menambah cadangan bahan bakar juga kerap memunculkan persoalan karena akan berhadapan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, misalnya, dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan ditetapkan rata-rata stok untuk dua minggu. Penyediaan lebih berarti ada dana yang menganggur.
PLTU Tanjung Jati B dengan kebutuhan batu bara per unit pembangkit 5.000 ton per hari minimal perlu menyiapkan stok 300.000 ton dalam sebulan.
Pilihan menambah stok lebih realistis ketimbang risiko yang harus ditanggung dengan membakar solar, karena pembangkit kehabisan batu bara.
Matinya dua unit PLTU Tanjung Jati B harus digantikan dengan menambah solar di pembangkit listrik lain. PLN harus mengeluarkan biaya BBM yang besarnya Rp 15 miliar per hari.
Akibat lanjutannya tentu saja pemakaian BBM untuk pembangkit meningkat. Ujung-ujungnya, subsidi yang diberikan pemerintah tidak cukup dan perusahaan merugi.
Tahun 2007, dari target laba Rp 3 triliun, PLN diperkirakan bakal rugi Rp 1,51 triliun. Biaya pembelian BBM tahun 2007 mencapai Rp 45,97 triliun atau 43 persen dari total biaya usaha. Pemakaian BBM pada tahun 2007 mencapai 10,02 juta kiloliter, lebih tinggi dari sasaran yang sebesar 7,65 juta kiloliter.
Tambahan subsidi
Tahun ini, dengan patokan perkiraan rata-rata harga minyak 80 dollar AS per barrel, PLN memperkirakan biaya bahan bakar Rp 84 triliun. Sekitar Rp 64 triliun adalah biaya BBM. Dengan patokan subsidi listrik Rp 29 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008, dan janji tidak ada kenaikan tarif seperti yang dilontarkan pemerintah, PLN kembali bersiap meminta tambahan subsidi.
Selain lemah dalam perencanaan, PT PLN juga lemah dalam pengelolaan pembangkit. Hal itu terlihat dalam kasus rusaknya trafo di PLTU Suralaya Unit 5 yang berkapasitas 600 MW. Trafo tersebut rusak sejak Juni 2007. Akibatnya, sistem Jawa-Bali kehilangan daya sebesar 600 MW selama setengah tahun.
PLN tidak memiliki trafo cadangan sehingga harus menunggu 11 bulan untuk sebuah trafo baru. Dengan pertimbangan biaya dan waktu, PLN memilih memesan trafo ke China karena harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan pabrikan Jepang atau Jerman. Rencananya PLTU Unit 5 Suralaya mulai uji coba operasi pada Mei 2008.
Bandingkan dengan PLTU Paiton yang dikelola swasta. Selain memiliki cadangan, pengelola PLTU Paiton mengasuransikan peralatan yang dimilikinya. Bagi pengelola listrik swasta, berhenti beroperasinya pembangkit merupakan kerugian bagi mereka.
Komisaris Utama PT PLN Alhilal Hamdi mengakui PLN agak kedodoran dalam mengantisipasi banyaknya proyek kelistrikan yang berjalan.
Sejak krisis ekonomi tahun 1998, PLN cukup lama tidak membangun pembangkit. Sekarang tiba-tiba korporat harus mengerjakan proyek yang skalanya sangat besar.
Dalam lima tahun ke depan PLN akan membangun 35 pembangkit di Jawa dan luar Jawa, yang masuk dalam proyek percepatan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dengan kapasitas total 10.000 MW.
Selain itu, ada puluhan proyek listrik swasta yang memerlukan integrasi dalam perencanaan dengan melihat kebutuhan listrik dan kemampuan sistem.
Oleh karena itu, dalam jajaran direksi akan ditambah posisi Direktur Perencanaan dan Direktur Konstruksi. Sementara ini, posisi Direktur Pembangkitan dan Energi Primer dirangkap oleh salah satu dari direksi sampai diangkatnya direktur baru. Masa jabatan direksi yang bertugas saat ini berakhir pada Maret 2008.
Permasalahan kekurangan bahan bakar untuk pembangkit tidak terlepas dari belum tegasnya kebijakan pemerintah terkait dengan kebutuhan energi primer untuk sektor ketenagalistrikan.
Pemerintah masih mengkaji opsi pemenuhan kebutuhan batu bara. Mengantisipasi bertambahnya kebutuhan pemakaian batu bara untuk sektor kelistrikan dalam dua tahun ke depan, opsi yang disiapkan adalah mengubah royalti batu bara dari bentuk tunai ke bentuk barang.
Kebijakan mengambil 13,5 persen bagian batu bara pemerintah untuk mengamankan pasokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit pernah dilakukan pada tahun 1993.
PLTU Paiton 1 dan 2 yang dibangun oleh swasta membutuhkan jaminan pasokan batu bara selama 30 tahun. Kebutuhan batu bara Paiton 1 dan 2 mencapai 4 juta setahun, sementara kemampuan produksi maksimum perusahaan tambang batu bara pada waktu itu hanya 2 juta-3 juta per tahun.
Maka, perusahaan tambang diwajibkan untuk menyerahkan 13,5 persen produksinya kepada negara, yang teknisnya dikelola dan dijual melalui PT Tambang Batu Bara Bukit Asam.
Pilihan menyiapkan langsung cadangan batu bara dengan menarik bagian pemerintah lebih menguntungkan daripada membatasi ekspor batu bara. Sebab, perusahaan tambang tentu akan mematok harga jual di dalam negeri sama dengan harga ekspor.
Pemerintah juga perlu menyiapkan sarana dan infrastruktur pendukung pasokan batu bara. Aturan yang melarang kapal berbendera asing mengangkut batu bara menjadi faktor yang mengancam keamanan pasokan ke depan. Sebab, pertumbuhan armada kapal di dalam negeri belum sanggup mengimbangi kenaikan pasokan.
Sejumlah hal di atas seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan PLN untuk membenahi pengelolaan ketenagalistrikan.
Kalau tidak, PLN akan mudah "dipelesetkan" menjadi Perusahaan "Lilin" Negara.(DOTY DAMAYANTI)
No comments:
Post a Comment