Wednesday, January 30, 2008

Upaya Menghentikan "Pendarahan" di BUMN


Jumat, 25 januari 2008 | 05:23 WIB

Orin Basuki

Sebelum 2008, anggapan badan usaha milik negara atau BUMN sebagai sapi perahan pemerintah masih kental. Itu wajar sebab belum ada iktikad mengurangi setoran BUMN dalam menutup defisit APBN. Lihat saja dividen dan privatisasi BUMN yang dikerahkan untuk menyehatkan keuangan negara. Hasilnya menyedihkan.

Pada saat harga komoditas di pasar dunia terus meningkat, pemerintah malah masih harus menyuntikkan dana ke BUMN. Saya sampai kesal melihat kondisi itu,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Kamis (24/1).

Oleh karena itu, cukup sudah. Mulai Januari 2008, setiap sen uang yang dihasilkan BUMN sebagian besar harus dimanfaatkan untuk mengembangkan usahanya. Kalau bisa, dia dapat menguasai pasar domestik.

Namun, jika BUMN itu sanggup, dia perlu dirorong menjadi perusahaan terhormat di kawasan regional. Itulah arah yang ditegaskan pemerintah dalam program privatisasi BUMN tahun ini.

Siapa yang mendapatkan berkah tersebut? Keputusan sementara Komite Privatisasi menunjukkan ada 34 BUMN yang terpilih untuk masuk dalam daftar ”antrean” privatisasi tahun ini.

Mereka adalah PT Asuransi Jasa Indonesia, Bahtera Adiguna, Bank Tabungan Negara, Barata, Jakarta Lloyd, PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), Industri Kapal Indonesia di Makassar, Industri Kereta Api, Industri Sandang Nusantara, PT Inti, serta Kertas Kraft Aceh.

BUMN lainnya produsen baja Krakatau Steel, perusahaan pengerukan Rukindo, PT Perkebuhan Nusantara (PTPN) III, PTPN IV, dan PTPN VII, lalu produsen aspal dari Buton PT Sarana Karya, konsultan konstruksi Pirama Karya, Waskita Karya, Ayodya Karya, lalu Dok Perkapalan Koja Bahari, Sucofindo, Kawasan Berikat Nusantara, Surveyor Indonesia, serta Bank Negara Indonesia (BNI).

Kelompok terakhir adalah Semen Kupang, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makassar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma-Semarang, Adhi Karya, Pembangunan Perumahan, Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), dan Rekayasa Industri.

Empat program

Di luar program privatisasi 2008 tersebut, ada empat program privatisasi 2007 yang dialihkan ke tahun 2008. Hal itu antara lain penawaran saham maskapai penerbangan Garuda Indonesia kepada investor strategis, lalu Merpati Nusantara, serta Industri Gelas.

Menteri Negara BUMN Sofyan A Djalil menegaskan, alasan pelepasan sebagian saham pemerintah di 34 BUMN tersebut karena perusahaan-perusahaan itu memang membutuhkan pertolongan. Lihat saja, misalnya, pabrik Kertas Kraft Aceh.

Berdasarkan hasil analisis konsultan bisnis, Kertas Kraft Aceh hanya bisa berproduksi lagi dan menghasilkan keuntungan jika mendapatkan suntikan dana antara Rp 500 miliar hingga Rp 600 miliar.

Dananya memang sangat besar karena perusahaan ini memerlukan teknologi baru berbiaya mahal, antara lain mengubah bahan bakar gas ke batu bara.

Lalu lihat penderitaan Krakatau Steel, yang sampai kapan pun tidak akan berkembang dan menjadi perusahaan terkemuka di bisnis baja. Itu disebabkan untuk memenuhi kapasitas terpasang pabriknya saja, yang mencapai 3,2 juta ton per tahun, dia tidak sanggup.

”Mereka hanya sanggup 2,2 juta ton. Kalau ingin maju, setidaknya dapat memenuhi permintaan domestik, dia harus mampu memproduksi 4 juta ton. Namun kalau ingin ekspansi ke kawasan regional, minimal harus menghasilkan 10 juta ton,” ujar Sofyan.

Atas dasar itu, pemerintah berencana melakukan privatisasi maksimal 40 persen dari saham pemerintah. Itu akan dilakukan dengan penawaran saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Keterpurukan juga terjadi di PTPN III, IV, dan VII. Mereka tidak sanggup memperluas lahan lagi karena tidak memiliki uang untuk membeli tanah. Sementara perusahaan perkebunan asing semakin rakus melahap lahan-lahan produktif di Sumatera dan Kalimantan.

Atas dasar itu, ketiga PTPN tersebut perlu mendapatkan suntikan dana melalui penjualan saham perdananya. Saham pemerintah di PTPN III yang akan dilepas mencapai 40 persen. Lalu PTPN VI 30 persen dan PTPN VII sekitar 10 persen.

Tidak hanya BUMN yang merana seperti mereka, privatisasi juga dibutuhkan oleh bank papan atas seperti BNI. Pemerintah menginginkan investor yang masuk memiliki kualitas dan reputasi yang baik. Investor tersebut diharapkan membawa nilai-nilai dan pengalaman yang baik dalam pengelolaan bank.

”Selanjutnya BNI bisa menjadi model bank yang menerapkan tata kelola yang baik,” kata Sofyan.

Pemerintah ambisius

Anggota Komisi XI DPR, Rizal Jalil, menilai pemerintah terlalu ambisius. Itu disebabkan dari pengalaman sejak 2001 hingga 2007, pemerintah hanya sanggup memprivatisasi maksimal tiga BUMN dalam setahun.

”Pemerintah terlalu bersemangat. Lebih baik fokus saja ke privatisasi yang sudah direncanakan di 2007, tetapi belum terlaksana atau privatisasi yang dialihkan ke 2008,” ujarnya.

Anggapan itu ditampik pemerintah. Sofyan mengatakan, ke-34 BUMN itu sangat bisa diprivatisasi tahun ini jika izin dari DPR bisa dikeluarkan secepat mungkin.

Dukungan DPR mulai muncul. Dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan itu, Ketua Komisi XI DPR Awal Kusumah menginterupsi rapat hanya untuk menyampaikan kabar dari Komisi VI DPR. ”Mulai saat ini, pembahasan privatisasi BUMN bukan lagi kewenangan Komisi VI, melainkan domain Komisi XI saja,” ujarnya.

Langkah ini disambut gembira Menkeu Sri Mulyani. Itu artinya, pemerintah tidak perlu menunggu rapat yang berlarut-larut hanya untuk menunggu izin privatisasi dari DPR.

Ini berujung pada kecepatan pengambilan keputusan pemerintah dalam memprivatisasi BUMN. Itu sangat penting karena setiap pelepasan saham harus mempertimbangkan waktu. Waktu sangat perlu diperhatikan karena terkait harga sahamnya.

Anggota Komisi XI, Max Moein, mengingatkan, pemerintah harus melihat sejarah kegagalan privatisasi beberapa BUMN. Salah satu contohnya keputusan membangun perusahaan induk (holding) yang menggabungkan sembilan perusahaan, salah satunya yang paling sehat adalah PT Krakatau Steel.

”Holding ini dipimpin oleh direktur utama yang berasal dari perusahaan yang paling rugi. Hasilnya, PT Krakatau Steel tidak berkembang karena setiap keuntungannya dipakai untuk menyuapi delapan perusahaan lainnya,” katanya.

Mengapa BUMN sangat menarik dibicarakan? Itu karena uang yang akan berputar di 139 BUMN kelolaan pemerintah sangat besar.

Sofyan memperkirakan tingkat penjualan seluruh perusahaan negara itu bisa mencapai Rp 1.000 triliun pada 2008. Itu artinya ada kenaikan dari target 2007 sebesar Rp 820 triliun. Kondisi tersebut tidak lain disebabkan peningkatan harga komoditas pertambangan dan perkebunan di pasar dunia yang masih akan berlanjut.

Tahun ini, BUMN berencana membelanjakan modal Rp 145 triliun-Rp 151 triliun. Adapun belanja operasinya ditargetkan mencapai Rp 645 triliun-Rp 650 triliun atau tumbuh 263 persen dari 2005. Dari belanja itu, total laba BUMN sebelum pajak bisa mencapai Rp 105 triliun.

Penyumbang penjualan masih didominasi oleh Pertamina, Bank Mandiri, Aneka Tambang, Perusahaan Gas Negara, dan Telekomunikasi Indonesia. Hampir 90 persen penjualan dan 85 persen laba bersih berasal dari 25 BUMN, dari 139 perusahaan negara ini. (Fajar Marta)

No comments: