Saturday, January 26, 2008

Gizi Masyarakat dan Kualitas Manusia Indonesia


Jumat, 25 januari 2008 | 03:44 WIB

Siswono Yudo Husodo

Tanggal 25 Januari setiap tahun kita peringati sebagai Hari Gizi, dan seyogianyalah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kualitas gizi masyarakat adalah salah satu penentu kemajuan bangsa-negara kita ke depan.

Krisis ekonomi yang telah berlangsung lama telah meningkatkan angka kemiskinan dan diikuti dengan penurunan kualitas gizi masyarakat. Indikatornya, di berbagai daerah terus ditemukan kasus busung lapar, gizi buruk, dan aneka penyakit rakyat karena melemahnya fisik serta menurunnya daya tahan tubuh karena kualitas gizi yang rendah, yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan ketidakberdayaan ekonomi. Banyak keluarga menghabiskan uang untuk rokok daripada untuk susu bagi anaknya.

Kualitas pangan rakyat kita selama ini telah meningkat cukup baik melalui kampanye intensif 4 Sehat 5 Sempurna. Empat sehat: nasi, jagung, ubi kayu (sumber karbohidrat), daging, telur, ikan (sumber protein dan lemak), sayur dan buah-buahan (sumber serat, vitamin dan mineral); dan sempurna dengan ditambah susu. Namun, bangsa-bangsa lain asupan gizinya meningkat jauh lebih baik, akibatnya secara relatif kualitas pangan rakyat kita menjadi kurang baik jika dibandingkan dengan banyak negara lain.

Di mana pun, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi rakyat yang akan menentukan tingkat pertumbuhan fisiknya, termasuk kecerdasannya, di samping pendidikan yang bermutu dan pelayanan kesehatan yang baik.

Makan seadanya

Terlalu lama kita membiarkan bangsa ini makan seadanya. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kecuali beras, tingkat konsumsi per kapita tiap tahun Indonesia untuk berbagai produk pangan penting masih sangat rendah. Tingkat konsumsi rakyat Indonesia untuk telur 3,48 kg/kapita/tahun, Malaysia 17,62 kg, dan Filipina 4,51 kg. Konsumsi rakyat Indonesia untuk daging 7,1 kg/kapita/tahun, Malaysia 46,87 kg, dan Filipina 24,96 kg.

Sebagai negara yang 75 persen wilayahnya berupa lautan yang luasnya 5,8 juta km persegi, konsumsi ikan rakyat kita juga masih rendah, baru 26 kg/kapita/tahun, di bawah Malaysia yang 45 kg dan jauh di bawah Jepang yang 70 kg/ kapita/tahun. Konsumsi sayuran bangsa kita 37,94 kg/kapita/tahun, sementara standar FAO 65,75 kg dan tingkat konsumsi susu rakyat Indonesia baru 6,50 liter kapita/tahun, sementara India telah mencapai 40 liter.

Tak akan ada peningkatan kualitas SDM bangsa kita tanpa peningkatan kualitas gizi makanan sehari-hari masyarakat, terutama protein, mineral, dan vitamin.

Tantangan untuk mengupayakan perbaikan gizi rakyat tidaklah kecil. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang tinggi, sekitar 1,4 persen per tahun, dan kondisi gizi masyarakat saat ini yang masih rendah menyebabkan Indonesia menghadapi tantangan ganda; memerlukan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan akibat pertambahan penduduk yang tinggi dan peningkatan konsumsi per kapita.

Dunia tempat kita tinggal berkembang ke arah kompetisi yang semakin ketat. Semua negara di Bumi ini berlomba mencapai standar hidup dan kualitas manusia yang semakin tinggi. Tinggi rendahnya harkat, derajat, dan martabat suatu bangsa semakin diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya, dan peradabannya.

Dahulu, tahun 50 dan 60-an, di bidang olahraga kita dapat unggul bersaing di tingkat Asia, kini di tingkat ASEAN pun kita kalah dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Padahal, sampai tahun 1997 kita selalu memegang juara umum. Buruknya kualitas gizi masyarakat kitalah yang sesungguhnya menjadi penyebabnya, di samping sistem pembinaan yang kurang baik dan kurangnya sarana olahraga.

Daya saing nasional

Laporan Human Development Index (HDI) tahun 2005 menunjukkan bahwa kita ada di peringkat 107, sementara Malaysia 63 dan Singapura 25. Peringkat daya saing nasional kita juga memperlihatkan posisi yang terus merosot. Posisi daya saing Indonesia tahun 2001 ada di peringkat 46 dunia, dan terus menurun hingga tahun 2006 ada di posisi ke-60. Berbeda dengan China yang tahun 2001 ada di peringkat 26, tahun 2006 naik ke posisi 19; atau India yang tahun 2001 ada di posisi 42, tahun 2006 naik ke peringkat 29.

Tanpa langkah-langkah sistematis untuk memperbaikinya, dalam waktu singkat bangsa-bangsa lain akan lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih cerdas dari bangsa kita. Tugas kita meningkatkan kualitas pangan rakyat, termasuk untuk memodernisasi kualitas rasa, tampilan, dan cara penyajian aneka produk kuliner tradisional, banyak terabaikan.

Kita memiliki sumber pangan karbohidrat berupa sagu yang terbesar di dunia. Namun, cara penyajiannya perlu disesuaikan dengan selera masyarakat era kini. Makanan Thailand tidak jauh beda dengan banyak makanan tradisional kita, tetapi segi tampilan dan penyajiannya memikat orang-orang berselera kosmopolitan.

Untuk meningkatkan kualitas anak-anak kita, sumber pangan yang bergizi tinggi sepatutnya dicari solusi yang bersifat lokal dan inovatif serta berbiaya murah. Sebagai negara kepulauan dengan potensi perikanan yang amat besar, amatlah logis kalau peningkatan gizi rakyat kita bersumber dari hasil laut. Sejak lama Jepang melakukan hal ini, menjadi bangsa dengan konsumsi ikan per kapita yang tertinggi di dunia.

India berhasil, melalui Revolusi Putih, meningkatkan konsumsi susu dengan penyediaan susu murah di desa-desa. Tiap KK petani yang punya kelebihan waktu dapat memiliki dua sapi perah yang dibeli dengan kredit berbunga sangat murah.

Membangun pangan sesungguhnya adalah memperkuat identitas sebuah bangsa di dunia yang semakin menyatu ini.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila

No comments: