Ekonomi negara-negara tetangga terus berlari dengan kecepatan tinggi. Thailand antara lain semakin menempatkan diri sebagai basis produksi otomotif Jepang dengan tujuan pemasaran untuk kawasan. Singapura semakin berkibar dengan keberadaan dana-dana investasi milik negara yang mengincar berbagai aset di negara lain.
Menambah daftar itu adalah Malaysia yang juga makin banyak berkibar di negara lain dengan investasi lewat merger dan akusisi, termasuk terhadap sejumlah perusahaan di Indonesia. Bahkan Vietnam, yang baru melakukan program pencanangan pembangunan ekonomi pada dekade 1990-an, kini semakin banyak kedatangan investasi asing, yakni 20 miliar dollar AS sepanjang tahun 2007.
Ini belum lagi menyebut China dan India yang sudah menyedot perhatian investor dunia dalam beberapa tahun terakhir. Dalam data aliran investasi dunia sepanjang 2007, yang dipublikasikan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Rabu (9/1), China kedatangan investasi sebesar 67,3 miliar dollar AS.
Pelayanan yang ramah, dan prosedur perizinan investasi yang relatif lebih mudah telah membuat negara-negara tetangga semakin kedatangan investasi asing dengan volume yang terus meningkat. Tahun 2007 adalah periode di mana untuk pertama kali ASEAN kemasukan arus investasi, yang melampaui puncak arus kedatangan investasi yang pernah terjadi tahun 1997 lalu.
Keberadaan prasarana pendukung investasi, yang terus dikembangkan di negara tetangga juga turut membuat perekonomian mereka makin melaju dengan tingkat pertumbuhan di atas 5 persen per tahun, bahkan mencapai angka 8 persen di Vietnam.
Ekonomi Indonesia juga tumbuh dengan angka sekitar 5 persen per tahun. Namun kualitas pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan relatif tidak berkualitas karena pertumbuhan itu lebih didorong sektor konsumsi. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan adalah pertumbuhan yang didorong investasi dan ekspor.
Indonesia tidak mengalami terobosan besar soal kedatangan investasi asing. Demikian pula ekspor non-migas tak mengalami perubahan besar sejak dekade 1990-an. Berbagai upaya dilakukan, termasuk dengan menggelar konferensi investasi. Berbagai deregulasi dan insentif pun terus diluncurkan namun tak kunjung berhasil mendatangkan investasi asing.
Dengan demikian praktis ekonomi Indonesia tumbuh hanya ditopang sektor konsumsi, swasta yang pada umumnya hanya terjadi di kota-kota besar terutama di Jabodetabek.
Lagi, pertumbuhan setinggi 5 persen tidak memadai untuk menyerap angkatan kerja yang masuk ke pasaran dan tak memadai untuk mengangkat kaum miskin dari garis kemiskinan.
Untuk itu Indonesia memerlukan basis perekonomian yang lebih luas, yang tidak semata-mata didorong sektor konsumsi. Diperlukan ekonomi yang tumbuh berkat dorongan ekspor, berkat dorongan investasi dan berkat dorongan konsumsi pemerintah.
Namun tidak ada terobosan besar untuk mendorong gairah di ekspor non-migas, konsumsi pemerintah dan investasi. Sebagaimana diutarakan ekonom dari Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, persoalan kualitas prasarana menjadi hambatan bagi asing memasuki Indonesia.
Untuk merangsang ekspor nonmigas, Indonesia kini makin mendapatkan persaingan keras dari Vietnam, dan China yang menyedot investasi yang memproduksi barang-barang manufaktur.
Sebenarnya, walaupun Indonesia masih gagal mendatangkan investasi asing, dan gagal mendorong ekspor nonmigas, negara ini nesia punya kesempatan besar mendorong pertumbuhan ekonomi, yakni dengan pemanfaatan kekayaan sektor pertambangan, terutama minyak dan gas. Walau tidak berhasil kedatangan investasi asing, Indonesia punya sektor migas yang terbukti berhasil mengangkat status sosial ekonomi di Bolivia, Venezuela dan Rusia.
Namun sektor migas adalah sektor yang tidak didalami secara saksama. Penguasaan asing dan swasta di sektor tambang migas tak ubahnya seperti sektor yang untouchable. Bahkan seperti dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, Indonesia mengkonsumsi energi yang lebih banyak ketimbang produksi energi itu sendiri.
Lalu dikatakan pula, selama ini Indonesia mengalami kelambatan investasi dalam eksplorasi migas. Akibatnya yang terjadi adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di saat harga minyak internasional sedang meningkat.
Jadilah Indonesia berkutat pada masalah-masalah klasik, seperti kenaikan harga BBM, yang memiskinkan rakyat, tanpa bisa diimbangi dengan kenaikan pendapatan karena ekonomi yang tumbuh lambat dan tidak punya basis produksi yang lebih luas.
Beranikah kita mengaudit secara nasional, apa sebenarnya yang terjadi dalam penguasaan sektor migas? Benarkah produksi minyak lebih rendah ketimbang konsumsi? Kemana hasil dari sektor pertambangan lain seperti emas dan lainnya, yang juga kini sedang mengalami booming?
Mantan Ketua MPR Amien Rais sudah berkali-kali menyuarakan pentingnya sektor migas ini didalami secara saksama sehingga bisa menjadi salah satu sumber kekuatan ekonomi. Dengan menguasai produksi migas, pemerintah akan memiliki sumber keuangan yang akan bisa menjadi pendorong besar pembangunan ekonomi seperti pada dekade 1970-an.
Isu ini tenggelam begitu saja dan semua pihak lebih cenderung menelan keterangan pemerintah. Alhasil, ekonomi Indonesia bertumbuh namun tidak cukup siginifikan.
Berbicara soal ekonomi Indonesia, akan selalu berkutat pada isu klasik yang membosankan, selama kita tidak berhasil melakukan terobosan, termasuk di bidang pembangunan infrastruktur, di mana negara lain sedang berpacu.
Tentu, kekayaan migas dan pertambangan lainnya juga tak akan pernah bisa menjadi stimulus pembangunan ekonomi, selama kita tidak berani melakukan overhaul seperti yang sudah terjadi di Bolivia, Venezuela dan Rusia. Akhir kata, ekonomi Indonesia masih tetap menantikan terobosan yang tidak kunjung datang. (Simon Saragih)
No comments:
Post a Comment