Wednesday, January 30, 2008

Pandai-pandailah Membaca Sinyal


Rabu, 30 januari 2008 | 02:24 WIB

Hermas E Prabowo

Sebelum krisis pangan benar-benar mengimbas Indonesia, negara besar dunia seperti Amerika Serikat, China, dan Brasil telah memberikan ”sinyal” sejak dua tahun lalu. Ketiga negara produsen pangan terbesar di dunia itu pada tahun 2005 telah mengubah struktur konsumen komoditas pangan secara besar-besaran.

Patut dicatat, Amerika Serikat merupakan produsen kedelai utama di dunia. Sekitar 50 persen dari produksi kedelai dunia berasal dari sana.

Selain produsen kedelai utama, AS juga produsen jagung utama. Saking besarnya lahan tanaman jagung di AS, area tanamnya terbentang selebar 1.100 kilometer dari utara ke selatan dan 2.100 km dari timur ke barat.

Produksi jagung AS tahun 2005 mencapai 282 juta ton dengan luas panen 30,1 juta hektar. Dibandingkan dengan produksi pada 50 tahun lalu yang hanya 73 juta ton, produksi jagung AS naik 390 persen.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Hermanto Siregar mengatakan, Brasil merupakan produsen utama gula berbasis tebu. Negara ini memiliki lahan yang sangat luas dan produksi gula Brasil terkenal efisien serta ekonomis.

China juga tidak ketinggalan. China memiliki produksi jagung yang besar sekaligus sebagai konsumen utama jagung dunia antara lain untuk unggas. Ini masuk akal mengingat China berpenduduk sekitar 1,3 miliar jiwa.

Menurut Hermanto, sejak tahun 2005, tiga negara besar ini mengubah struktur konsumsi komoditas pangan berbasis biji-bijian. Ini dipicu kenaikan harga minyak mentah dunia yang kala itu mencapai 60 dollar AS per barrel.

Tiga negara besar itu pun mulai membuat kebijakan strategis soal pengembangan bahan bakar nabati berbasis komoditas biji-bijian seperti jagung. AS, misalnya, pada tahun 2014 menargetkan produksi jagung menjadi 396 juta ton atau naik 40,4 persen dari tahun 2005 yang hanya 282 juta ton.

Produksi jagung besar itu tidak lain untuk memenuhi kebutuhan pengalihan konsumsi energi berbahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar nabati (BBN) dalam bentuk etanol yang berbasis jagung.

Sebagai konsekuensi dari pencapaian target produksi itu, Pemerintah AS pun memberikan berbagai insentif yang mendorong petani menanam jagung ketimbang kedelai.

Akibatnya, produksi kedelai AS tahun lalu turun sekitar 16 juta ton. Begitu pula produksi kedelai dunia turun sekitar 14 juta ton menjadi 221,6 juta ton.

Senada dengan AS, China juga terus meningkatkan produksi jagung mereka untuk keperluan BBN. Produksi kedelai China dalam tahun yang sama juga turun 1,7 juta ton dan hanya sebesar 14,3 juta ton.

Berbeda dengan AS dan China, Brasil lebih mengutamakan pasokan tebu untuk pengembangan etanol. Tebu untuk memproduksi gula dikurangi. Melihat perubahan struktur konsumsi komoditas pangan AS, Brasil, dan China, negara-negara lain di dunia juga melakukan berbagai langkah antisipasi.

Argentina, India, Pakistan, Rusia, Serbia, Ukraina, dan Vietnam mengurangi ekspor gandum atau beras mereka. Bagaimana dengan Indonesia?

Produksi turun

Ketika negara-negara dunia sibuk mempersiapkan pengembangan energi alternatif dan mengamankan produk pangan berbasis biji-bijian mereka, Indonesia terjebak dalam kebijakan energi semata.

Kenaikan harga minyak mentah dunia saat itu direspons pemerintah dengan melakukan kampanye besar-besaran untuk menaikkan harga premium dan solar. Perubahan struktur konsumsi komoditas pangan di dunia, lepas dari ”kawalan”.

Pemerintah gagal menangkap makna di balik kenaikan harga minyak mentah dunia bagi ketahanan pangan bangsa ini. Pemerintah juga cenderung lalai melakukan antisipasi.

Ekonom pertanian, Rina Oktaviani, menjelaskan, pemerintah memang mencanangkan gerakan revitalisasi pertanian, tetapi realisasinya jauh dari yang diharapkan.

Berbagai strategi untuk mendongkrak produksi jagung, kedelai, dan beras juga tidak dilakukan.

Tahun 2007, pemerintah memang menargetkan penggunaan 8,15 juta hektar lahan untuk petani dan usaha agrobisnis. Namun apa yang terjadi, penyusutan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan terus dilakukan.

Tiap tahun sekitar 120.000 ha lahan pertanian beralih fungsi, sementara kemampuan pemerintah untuk melakukan perluasan area pertanian hanya 30.000 ha.

Rencana perluasan area tahun 2008 seluas 40.000 ha juga belum ada hasilnya. Selain kebijakan itu, ujar Rina, realisasi kebijakan lain, seperti pembangunan jaringan drainase dan irigasi, belum benar-benar dilakukan.

Infrastruktur pertanian seluas 1,5 juta hektar yang dibangun selama 20 tahun terakhir juga belum pernah direhabilitasi dan diperluas pembangunannya.

Padahal, saat ini Indonesia berdiri sejajar dengan negara lain seperti Filipina, Banglades, Iran, Irak, Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan sebagai net importir beras.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan produksi beras, apalagi ada kesempatan emas di pasar dunia. Perdagangan beras dunia cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam periode 2001/2002 sampai 2005/2006, misalnya, rata-rata jumlah beras yang diperdagangkan di pasar dunia sebanyak 29,8 juta ton atau sekitar 7 persen dari total produksi beras di dunia. Bandingkan dengan 1994 di mana beras yang diperdagangkan hanya 15 juta ton.

Di tengah perdagangan beras yang terus naik, eksportir beras seperti Vietnam, Thailand, dan India masih tetap mempertahankan kebijakan pembatasan ekspor manakala produksi tidak menguntungkan.

Subsidi petani

Melihat rentannya pasar beras dunia, berbagai negara eksportir menyubsidi petani mereka dengan berbagai cara seperti jaminan harga, subsidi input, dan asuransi pertanian.

Di antara yang terpenting adalah menutup pasar dengan berbagai cara, tetapi sejalan dengan kebijakan perdagangan multilateral.

Uni Eropa, misalnya, memproteksi lebih dari 3 juta ton padi dan menutup pasar untuk melindungi industri padi mereka. Uni Eropa menerapkan kebijakan tarif kuota dan periode waktu impor serta tarif eskalasi untuk beras.

Ada tiga kelompok tarif. Untuk volume impor kurang dari 186.013 ton, tarif yang ditetapkan 30 euro per ton, antara 186.013 dan 251.665 tarif sebesar 42,5 euro per ton, sedangkan impor lebih dari 251.665 ton ditetapkan 65 euro per ton. Periode impor juga dibatasi antara Maret dan Agustus.

AS juga berlaku serupa. Tiap tahun AS mengekspor 3-4 juta ton beras dari total produksi mereka sekitar 7 juta ton.

Pada musim panen 2006, misalnya, petani AS menerima subsidi langsung sebesar 79,7 dollar AS per ton. Berbagai subsidi yang diterima petani AS antara lain countercyclical payment, harga minimum, dan kredit pemasaran.

AS juga memantau benar kondisi pangan dunia. Buktinya, pada tahun 2007 ketika Australia dilanda kekeringan, negara seperti AS, Kanada, dan Uni Eropa amat berhati-hati dalam meningkatkan ekspor komoditas pangan berbasis biji-bijian.

Apa yang terjadi dengan geliat pertanian, khususnya komoditas berbasis biji-bijian di dunia, tidak demikian halnya di Indonesia. Produksi beras, jagung, dan kedelai tahun 2006 justru tidak ada kenaikan. Produksi kedelai dan jagung bahkan merosot.

Reaksi pemerintah atas kecenderungan bakal melonjaknya harga pangan dunia baru muncul sekitar Juni 2007 ketika Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) meniupkan kabar bakal terjadi peningkatan harga komoditas pangan dunia. Namun dengan enam bulan itu, apa yang bisa dilakukan?

Rentang waktu enam bulan yang berembus sejak Juni 2007 melintasi musim kemarau yang berlangsung April-September 2007 nyaris tidak banyak yang bisa dilakukan bangsa ini. Akhirnya serba kedodoran.

No comments: