Wednesday, January 30, 2008

Harga Minyak Bisa 70 Dollar AS

Kamis, 24 januari 2008 | 02:33 WIB

Jakarta, Kompas - Pasar minyak dunia kembali di ambang ketidakpastian. Apabila ekonomi Amerika Serikat benar-benar mengalami resesi, permintaan minyak akan turun drastis yang mengakibatkan adanya kelebihan pasokan di pasar. Harga minyak diprediksi bisa terus turun sampai ke kisaran 70 dollar AS per barrel.

Gubernur Organisasi Negara- negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk Indonesia Maizar Rahman mengemukakan hal itu, Rabu (23/1) di Jakarta. ”Harga yang fundamental itu sekitar 70 dollar AS per barrel. Ini batas terbawah harga minyak yang diperkirakan OPEC,” kata Maizar.

Hanya dalam waktu dua hari harga minyak dunia melorot dari kisaran 90 dollar AS sampai ke angka 85 dollar AS per barrel bersamaan dengan rontoknya bursa global Selasa kemarin. Angka itu merupakan rekor terendah setelah komoditas emas hitam tersebut mencetak rekor tertinggi 100 dollar AS per barrel pada 3 Januari 2008.

Sampai kemarin upaya pemotongan suku bunga Bank Sentral AS belum meyakinkan bursa minyak. Di bursa Singapura, setelah sempat naik sampai ke angka 89 dollar AS per barrel, harga minyak kembali menunjukkan kecenderungan penurunan. Harga minyak jenis Brent turun 45 sen ke angka 88 dollar AS per barrel.

Maizar mengatakan, jatuhnya harga minyak menunjukkan selama ini fluktuasi harga lebih disebabkan ulah spekulan, bukan masalah pasokan dan permintaan. Menurut dia, penurunan harga minyak yang terjadi saat ini lebih disebabkan kekhawatiran akan adanya resesi lebih besar. Resesi akan mengakibatkan berkurangnya permintaan minyak sehingga terjadi kelebihan suplai dan harga cenderung turun.

”Investor yang tanam bunganya di minyak akan jual minyaknya karena minyak sudah mirip stok bursa. Kalau ini terjadi, akan mendorong penurunan harga lebih jauh lagi,” jelas Maizar.

Ia memperkirakan penurunan baru berhenti kalau harga sudah benar-benar hanya dipengaruhi faktor fundamental, yaitu suplai dan permintaan. Apabila ini yang terjadi, OPEC akan melakukan tindakan mengontrol suplai dengan memotong produksi.

OPEC menyuplai sekitar 34 juta barrel minyak per hari dari total produksi dunia yang mencapai 84 juta barrel. Amerika Serikat dengan kebutuhan minyak mencapai 20 juta barrel per hari menjadi konsumen utama selain India dan China.

Maizar mengemukakan, permintaan minyak bergantung pada kegiatan ekonomi AS. Apabila pemotongan suku bunga oleh The Fed memperbaiki kondisi perekonomian, berarti permintaan minyak bertambah dan harga akan bertahan tinggi.

”Kita lihat saja dampaknya apabila pasar reaksi positif perusahaan naik lagi, berarti ada optimisme perekonomian membaik dan itu artinya ada penambahan permintaan,” ujarnya.

Terkait dengan harga minyak, Maizar memperkirakan para anggota OPEC belum akan menaikkan produksi dalam pertemuan di Vienna, Austria, 1 Februari.

”Kebiasaan OPEC kalau yakin permintaan meningkat, akan naikkan produksi. Namun, sekarang OPEC belum bisa bereaksi cepat. Mereka masih harus melihat perkembangan 1-2 bulan lagi. Awal Maret akan ada pertemuan lagi di Vienna,” jelasnya.

Analisis lembaga keuangan Goldman Sachs lebih optimistis memprediksi kondisi pasar. Meskipun harga minyak kemungkinan akan terus melorot di bawah 80 dollar AS, antisipasi akan stabilnya permintaan dapat menahan para spekulan dari menjual seluruh stok minyak yang mereka miliki.

Wakil Ketua Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Suharso Monoarfa menilai perubahan asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008 perlu dilakukan segera. ”Rencananya minggu depan kami akan mengundang Menteri Keuangan untuk membahas soal ini,” ujarnya.

Menurut Suharso, asumsi penting yang perlu segera diubah adalah angka bagian minyak yang bisa dijual (lifting) dan asumsi harga minyak. Dengan realisasi lifting hanya 910.000 barrel pada tahun 2007, patokan 1,034 juta barrel tahun ini dinilai terlalu optimis. Selain itu, ia mengusulkan dana bagi hasil minyak dan gas dipatok pada satu angka tetap. Dengan demikian, ketika harga minyak naik, pemerintah daerah tidak mendapat kelebihan dari kenaikan. (Reuters/AP/DOT)

No comments: