DPR mencapai kesepakatan bulat (aklamasi) untuk meng-interpelasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal Bantuan Likwkditas Bank Indonesia (BLBI).
Yang sangat aneh, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada SBY juga harus disepakati secara aklamasi. Apa mungkin pertanyaan-pertanyaan yang serius tentang masalah yang demikian ruwetnya merupakan kesepakatan bulat oleh seluruh fraksi, sedangkan banyak di antaranya fraksi pendukung SBY ?
Pertanyaan yang dapat diajukan seputar BLBI ada tiga macam.
Yang pertama tentang duduk persoalan atau keseluruhan hal ikhwal BLBI dan rentetan kebijakan sebagai akibat dari pengucuran BLBI secara besar-besaran.
Yang kedua, mengapa kebijakan-kebijakan yang begitu bodoh, begitu konyol, begitu tidak masuk akal serta begitu merugikan keuangan negara dalam skala raksasa bisa diberlakukan oleh para teknokrat yang begitu tinggi pendidikannya ?
Yang ketiga, apakah kesalahan-kesalahan fatal lainnya bisa terjadi di kemudian hari kalau orang-orang yang ikut mengambil keputusan atau ikut menyetujui serta mendukung pengambilan kebijakan yang sangat bodoh dan praktis telah membangkrutkan keuangan negara itu, sekarang duduk dalam pemerintahan ?
Marilah kita bahas seluruh permasalahannya dan kita perdebatkan sebelumnya, supaya interpelasi lebih terarah.
KRONOLOGI MALAPETAKA YANG DIMULAI DENGAN PAKTO
Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus Mooy memberlakukan Kebijakan Paket Oktober 1988 yang terkenal dengan nama Paket Oktober atau PAKTO. Isinya meliberalisasi dunia perbankan secara total dan spektakuler. Dengan modal disetor sebesar Rp.10 milyar orang boleh mendirikan bank umum.
Serta merta sekitar 200 bank baru lahir. Mayoritas pendiri adalah konglomerat yang menjadinya konglomerat melalui tipu muslihat seperti yang digambarkan oleh serial artikel saya dengan judul “Saya Bermimpi Jadi Konglomerat”.
Mereka tidak mengerti fungsi pokok perbankan sebagai lembaga intermediasi yang mengkonversi tabungan menjadi investasi yang produktif. Mereka juga tidak mengerti bahwa persyaratan pokok bekerjanya bank yalah prudence. Tetapi mereka pandai dalam bidang marketing.
Maka bank yang baru berdiri sangat berhasil dalam meyakinkan para penabung agar tidak menyimpan tabungannya di bawah bantal, tetapi disimpan di bank-bank mereka. Semua teknik marketing dipakai untuk menarik uang masyarakat. Mereka berhasil dengan gemilang.
Dengan modal disetor Rp. 10 milyar mereka dapat menghimpun dana trilyunan rupiah. Mereka terkejut. Mereka tidak paham sama sekali bahwa dana itu milik masyarakat. Mereka tidak paham bahwa laba bank terdiri dari spread yang tipis, resiko kredit macet besar, sehingga dibutuhkan mental kehati-hatian serta etika yang khusus.
Mereka mata gelap. Uang dipakai seenaknya sendiri untuk memberi kredit kepada dirinya sendiri secara besar-besaran yang dipakai untuk membentuk konglomerat.
Maka kreditnya banyak yang macet di tangannya sendiri. Tetapi karena bank miliknya, maka dengan mudah laporan keuangan dapat direkayasa sampai terlihat bagus dan sehat.
Tahun 1997 Indonesia terkena krisis moneter yang parah. Maka Indonesia menggunakan haknya sebagai anggota minta bantuan dari IMF. Tidak terduga sebelumnya bahwa IMF lebih merusak dan menghancur leburkan keuangan negara.
PENUTUPAN BANK, RUSH DAN PENGHENTIANNYA DENGAN BLBI
IMF tidak berpikir panjang. Ketika mengetahui bahwa bank-bank sangat kropos karena disalah gunakan oleh pemiliknya sendiri, 16 bank yang paling parah ditutup mendadak. Pemilik uang yang mempercayakannya pada bank-bank yang ditutup itu tentu terkejut dan marah, karena laporan keuangan bank yang diiklankan sangat sehat.
Dua hari kemudian berturut-turut bank-bank lain yang tidak ditutup di-rush. IMF beserta menteri-menteri kroninya panik. Rush harus dihentikan dengan biaya berapa saja.
Dalam beberapa hari likwiditas yang dikeluarkan oleh BI untuk menghentikan rush sebesar Rp. 144 trlyun. Menurut BPK lebih dari 95,78% dari uang ini tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Setelah rush berhenti, penelitian meyakinkan bahwa pemilik bank tidak mungkin mengembalikan BLBI, karena dana milik masyarakat yang ditarik kembali dengan rush diinvestasikan pada perusahaan-perusahaan.
PELUNASAN BLBI DENGAN MENYERAHKAN KEPEMILIKAN BANK KEPADA PEMERINTAH
Maka BLBI dikonversi menjadi saham-saham. Serta merta Pemerintah mempunyai hampir 200 bank. Sebagai contoh, saldo utang BLBI oleh BCA kepada pemerintah sebesar Rp. 32 trilyun. BCA telah melakukan pembayaran cicilan sebesar Rp. 8 trilyun, sehingga sisanya Rp. 24 trilyun, yang tidak mampu dibayar oleh pemegang sahamnya BCA atau keluarga Salim. Pelunasan utang BLBI dibayar dengan 93 % saham-sahamnya BCA. Maka pemerintah memiliki 93 % BCA. (Pembayaran bunga juga telah dilakukan dengan tingkat suku bunga 70 % yang berlaku ketika itu sebesar Rp. 8,3 trilyun, tetapi jumlah ini tidak mengurangi jumlah pokok yang terutang).
Dengan demikian utang keluarga Salim dalam bentuk BLBI sudah dibayar lunas dengan kehilangan 97 % dari kepemilikannya di BCA. Jadi BLBI sudah selesai sampai di sini.
Kerugian negara dalam skala raksasa yang kemudian menjadi keresahan bukan BLBI, tetapi urusan lain lagi yang akan diuraikan selanjutnya.
PARA PEMEGANG SAHAM BANK YANG SUDAH MENJADI MILIK PEMERINTAH SEBAGAI PELUNASAN BLBI MASIH MEMPUNYAI UTANG DALAM JUMLAH YANG LEBIH BESAR, YANG PENYELESAIANNYA MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah mempunyai piutang dalam jumlah besar kepada perusahaan-perusahaan yang dimiliki mantan pemilik bank.
Seperti telah diuraikan tadi, selama berpuluh tahun, para pemilik bank memberi kredit kepada dirinya sendiri dalam jumlah sangat besar yang dipakainya untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
Ketika bank menjadi milik pemerintah karena dipakai sebagai pembayaran utang BLBI, dengan sendirinya bank qq. pemerintah qq. BPPN mempunyai tagihan kepada mantan pemilik bank tersebut.
Mantan pemilik bank tidak mempunyai uang tunai untuk membayarnya. Pemerintah minta supaya dibayar dengan perusahaan-perusahaan atau asset apa saja.
Pemilik bank mengambil kredit dari banknya sendiri dalam bentuk tunai, tetapi dibiarkan membayar dengan perusahaan-perusahaan dan asset apa saja, bahkan hanya tandatangannya saja.
Inilah yang menjadi awal malapetaka, karena menilai perusahaan bukan hal yang mudah dan eksak. Sangat tergantung dari berbagai macam asumsi dan sangat tergantung dari kondisi ekonomi pada umumnya yang berubah-ubah dalam perjalanan waktu, terutama karena kondisinya sedang dalam krisis.
Jadi biang keladi dari dirugikannya keuangan negara dalam jumlah yang luar biasa besarnya yalah kebijakan yang membiarkan utang tunai dibayar dengan asset. Penilaian asset sangat relatif sifatnya, dan realisasi nilai sangat tergantung dari waktu, situasi dan kondisi. Dalam menjual asset pemerintah justru memberlakukan yang salah semua, yaitu dijual paksa pada waktu yang salah, dalam kondisi dan situasi ekonomi yang sedang sangat terpuruk, tetapi dinilai dengan asumsi kondisi ekonomi sangat bagus. Bagaimana mungkin para teknokrat yang begitu tinggi pendidikannya bisa mengambil kebijakan yang begitu naifnya ? Karena mereka kroni yang membabi-buta nurut pada IMF, atau karena mereka tidak mengerti sama sekali kondisi nyata dan praktek dunia usaha ?
Kebetulan saya mengetahui bahwa Presiden ketika itu, Prof. BJ Habibie pernah ngotot bahwa utang uang harus dibayar dengan uang, tidak boleh dengan asset. Para konglomerat yang dikawal oleh menteri-menteri mengatakan bahwa nilai asset yang akan diserahkan sebagai pembayaran utang lebih besar dari jumlah utangnya. Presiden Habibie ketika itu menjawab : “Good for you, ambillah untungnya, Pemerintah mengurus negara, bukan mengurus ratusan perusahaan. Kalau tidak mampu membayar sekarang boleh diberikan tenggang waktu 3 tahun”. Tetapi entah bagaimana proses selanjutnya, akhirnya pemerintah toh menerima pembayaran dengan asset.
Dan setelah asset dijual yang menghasilkan rata-rata hanya sekitar 15 % saja dari nilai yang diterima oleh pemerintah, pemerintah sendiri mempropagandakan bahwa recovery rate yang sekitar 15 % adalah sangat wajar di negara manapun di dunia yang terkena krisis. Teori ini tidak dapat dipahami dengan akal sehat, karena penjualan asset bisa ditunda sampai kondisi perekonomian membaik. Semua asset yang dijual dengan harga begitu murahnya sehingga recovery rate-nya hanya 15 % saja, sekarang harganya berlipat-lipat ganda.
MSAA, MRNIA DAN PKPS-APU
Perjanjian antara pemerintah dengan para mantan pemilik bank beragam, karena kondisi keuangan mereka juga beragam. Ada tiga pola, yaitu :
Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) bagi debitur/obligor yang mempunyai cukup perusahaan untuk membayar utang-utangnya.
Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) untuk mereka yang nilai perusahaannya tidak cukup untuk membayar utangnya, dan kekurangannya harus dijamin pembayarannya dengan jaminan pribadi.
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham – Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU). Perjanjian ini dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktek perbankan yang tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian ini tidak melalui penyerahan asset.
Tidak mungkin membahas problematiknya satu per satu karena menyangkut demikian banyaknya orang. Setiap orang mempunyai model penyelesaian tertentu yang khas. Tingkat kemauan baik dan itikad kerja samanya juga sangat berbeda. Dari yang langsung membayar tunai seluruh utangnya sampai yang langsung kabur ke luar negeri dan sampai sekarang menjadi buron.
Berbagai macam Obligor (yang punya utang kepada pemerintah berhubung dengan banknya yang mengalami kesulitan) dengan berbagai macam model upaya penyelesaian oleh BPPN adalah sebagai berikut : 5 dengan MSAA, 4 dengan MRNIA, 30 dengan PKPS-APU, 30 Obligor yang tidak menandatangani PKPS-APU yang pada umumnya kasusnya dilimpahkan kepada aparat penegak hukum atau sedang dalam proses penyidikan, dan 5 dengan penyelesaian pembayaran tunai.
KERUGIAN NEGARA DALAM JUMLAH SANGAT BESAR
Ada dua macam kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar, yaitu :
1. Perusahaan atau kekayaan lain yang diserahkan oleh Obligor kepada pemerintah sebagai pembayaran utang mereka, hasil penjualannya jauh lebih kecil dari nilai utangnya. Selisihnya adalah kerugian negara yang setiap tahunnya mempengaruhi APBN. Fokus perhatian masyarakat hanya pada yang ini saja, yaitu mengapa pemerintah menerima asset sebagai pelunasan utang, tetapi pemerintah sendiri juga yang menjual dengan harga yang jauh lebih kecil dari nilai utangnya. Kejaksaan Agung baru sempat mendalami dua kasus besar, yaitu BCA dan BDNI. Kerugian negara memang besar, tetapi ada yang lebih besar lagi dan luput dari perhatian, yaitu :
2. Kerugian negara dalam bentuk Surat Utang Negara untuk merekapitalisasi bank-bank atau yang dikenal dengan Obligasi Rekap yang disingkat OR.
PENUTUP
Masalah BLBI sangat banyak komponen dan aspeknya. Tulisan ini merupakan yang pertama yang akan disusul dengan tulisan-tulisan lainnya yang merupakan serial. Rangkumannya sebagai berikut.
Asal muasalnya adalah liberalisasi total dan spektakuler dunia perbankan dengan Paket Oktober 1988 atau PAKTO yang langsung saja disalah gunakan oleh para konglomerat hitam.
Ketika terkena krisis, kerusakan bank yang dirong-rong oleh pemiliknya sendiri terkuak. IMF memberi nasihat-nasihat yang ngawur dan merusak. 16 bank ditutup, semua bank lainnya di-rush yang dipadamkan dengan BLBI.
BLBI telah dibayar lunas dengan menyerahkan kepemilikan banknya kepada pemerintah. Ada yang banknya sudah ludes, sehingga utangnya dijadikan satu dengan utang dari masalah lainnya, seperti kasus BDNI.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah ternyata mempunyai tagihan dalam jumlah besar kepada para mantan pemiliknya, karena berpuluh tahun lamanya dirong-rong dengan memberikan kredit kepada dirinya sendiri. Utangnya ini dibayar dengan asset yang ketika dijual menghasilkan uang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari jumlah utangnya. Jumlah kerugian ini lebih besar dari BLBI.
Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah tetapi rusak berat itu atas perintah IMF harus patuh pada ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang formulanya ditentukan oleh Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Bazel, Swiss. Caranya dengan direkapitalisasi dengan injeksi Surat Utang Negara (SUN) yang dikenal dengan istilah Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap atau “OR” saja. Jumlahnya lebih besar lagi dibandingkan dengan semua kerugian yang sudah dijelaskan.
Data teknis beserta contoh-contoh kasusnya akan dibahas dalam artikel-artikel selanjutnya yang merupakan satu serial dengan gambaran lengkap dari malapetaka keuangan yang dimulai dengan pengucuran BLBI beserta rentetan kebijakan-kebijakan yang sangat konyol.
___________
Kwik Kian Gie
Monday, January 14, 2008
BLBI (1)
Interpelasi BLBI Kepada SBY Salah Alamat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment