Sunday, January 6, 2008

Ketahanan Pangan


Jangan Terperosok ke Lubang yang Sama

Hujan yang mengguyur seluruh wilayah Indonesia beberapa pekan ini mengakibatkan bencana di mana-mana. Puluhan ribu hektar tanaman padi terendam dan rusak. Masih belum sirna bencana banjir dari hadapan mata, La Nina diperkirakan bakal mengancam produksi beras nasional.

Itu artinya, selesai menghadapi musim hujan dengan sifat basah karena intensitasnya sangat tinggi sampai Maret 2008, petani kembali dihadapkan pada kondisi pelik, yakni kekeringan.

Masalah utama produksi beras bukan sekadar persoalan basah dan kering, atau banjir dan kekeringan. Lebih dari itu adalah ketahanan pangan bangsa ini.

Luas tanaman padi yang kebanjiran sampai akhir Desember 2007 sudah mencapai 83,8 persen atau seluas 56.034 hektar dibandingkan total luas tanaman padi yang kekeringan pada musim tanam 2006/2007 seluas 66.900 hektar. Sementara dibandingkan luas banjir rata-rata lima tahunan seluas 69.300 hektar sudah mencapai 80,9 persen.

Padahal luas lahan yang kebanjiran sekarang baru dihitung sampai Desember 2007. Dan musim hujan dengan curah hujan yang tinggi diperkirakan berlangsung sampai Maret 2008. Setidaknya tiga bulan lagi terjadi tambahan luasan lahan pertanian yang kebanjiran di tengah musim hujan yang lebih hebat.

Perhitungan ini belum mempertimbangkan pelbagai bencana yang diduga akan terjadi sepanjang musim hujan 2008, misalnya longsor atau bencana lain yang bisa menghambat distribusi produk pertanian.

Sebagai catatan, tahun 2006 produksi gabah kering giling atau GKG hanya 54,66 juta ton. Ini menyebabkan para pemburu rente berspekulasi meski Departemen Pertanian (Deptan) saat itu optimistis produksi beras nasional mampu memenuhi kebutuhan nasional. Bulog pun tak siap karena cadangan beras di gudang hanya 300.000 ton.

Optimistis

Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono juga optimistis. Meski berbagai persoalan melanda produksi beras nasional, ia optimistis, produksi beras nasional tahun ini meningkat lima persen setelah tahun 2007 meningkat 4,7 persen. Angka ramalan III Badan Pusat Statistik, produksi GKG 2007 mencapai 57,05 juta ton.

Perhitungan Mentan sederhana. Dengan luas tanam padi selama musim tanam 12,5 juta hektar, kegagalan produksi sampai 100.000 hektar masih dipandang kecil, karena baru akan menurunkan produksi kurang dari 0,8 persen.

Apabila target peningkatan produksi pemerintah sebesar lima persen tercapai, dikurangi kegagalan akibat bencana banjir 0,8 persen masih terjadi peningkatan 4,2 persen. Dengan menghitung produksi GKG 2007 sebanyak 57,05 juta ton, setidaknya akan ada tambahan produksi GKG sebanyak 2,39 juta ton.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP) Djoko Said Damarjati menjelaskan, pemerintah saat ini tengah menjalankan gerakan penanganan pascapanen dan pemasaran hasil pertanian.

Apabila gerakan itu mampu menghemat potensi kehilangan hasil hingga 2,5 persen dari total potensi kehilangan hasil sepanjang panen sebesar 20,4 persen, akan ada tambahan produksi GKG sebanyak 1,4 juta ton.

Dengan begitu, perkiraan total tambahan produksi GKG tahun 2008 sebanyak 3,79 juta ton atau setara 2,46 juta ton beras. Dengan asumsi rendemen 65 persen.

Masalah baru akan muncul manakala target peningkatan produksi beras lima persen tidak tercapai. Namun, jangan keburu gelisah.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian Sutarto Alimoeso, beberapa waktu lalu, mengatakan, realisasi bantuan benih varietas unggul bersubsidi tahun 2007 baru 30 persen. Setidaknya itu sudah meningkatkan produksi sebesar 4,7 persen, dengan tanpa mengecilkan peranan perbaikan irigasi, penyuluhan, peningkatan harga pembelian pemerintah atau HPP, pemupukan yang tepat, dan bantuan tenaga penyuluh pertanian.

Oleh karena itu, dengan mengalokasikan sisa bantuan benih unggul ke petani sebanyak 60 persen atau senilai Rp 360 miliar, peningkatan produksi beras bukan sesuatu yang mustahil.

Stabilitas

Terlepas dari optimisme Deptan terhadap produksi beras nasional, Bulog sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam stabilisasi harga dan ketahanan pangan tidak mau pasrah begitu saja. Apalagi bila mengingat optimisme Deptan tahun 2006 yang ternyata sempat mengguncangkan ketahanan pangan bangsa.

Lantas, apa yang harus dilakukan Bulog? Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla telah memutuskan tahun 2008 tidak akan mengimpor beras lagi. Kebutuhan pangan warga Indonesia, khususnya beras, harus bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Anggaran yang digelontorkan pemerintah tidak sedikit. Untuk bantuan benih padi Rp 600 miliar, subsidi pupuk Rp 6,7 triliun, belum untuk tenaga penyuluhan serta perbaikan dan pembangunan saluran irigasi.

Pernyataan politis pemerintah ini tentu bukan basa-basi. Apalagi tahun 2008 dekat dengan pemilu. Pemerintah tentu tidak akan menarik ucapannya karena bisa membuat kepercayaan publik menurun, dan ini tidak menguntungkan posisi politik duet SBY-JK.

Pilihan "bijak" yang bisa dilakukan kemungkinan menimpakan kesalahan pada Deptan yang dinilai tak mampu menjalankan tugas. Ini adalah tantangan bagi Mentan.

Bulog sebagai ujung tombak stabilisasi harga dan ketahanan pangan tidak bisa hanya berpangku tangan. Karena itu, Bulog harus jeli mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak ekonomi, sosial, dan politik akibat lonjakan harga beras nanti.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar mengatakan, menghadapi 2008, Bulog tetap melakukan berbagai langkah antisipasi. Selain meningkatkan pembelian beras dalam negeri sebanyak 2 juta ton, Bulog juga akan menjalankan strategi lain.

Misalnya, dengan memanfaatkan sisa komitmen impor 2007 sebanyak 200.000 ton juga bisa menjalin kerja sama dengan negara tetangga.

Bila perlu Bulog "bertarung" dengan pedagang untuk membeli gabah petani. Bulog harus mengedepankan fungsi pengolahan beras sendiri agar gabah petani dalam kondisi apa pun dapat diserap. Jangan sampai bangsa ini terperosok ke lubang yang sama.(HERMAS E PRABOWO)

No comments: