Jumat, 18 Januari 08
Dalam penelitian atau penyidikan masalah BLBI oleh Kejaksaan Agung yang menjadi prioritas adalah kasus BCA dan BDNI. Terutama kasus BCA, publikasi oleh media massa cukup intensif. Mungkin karena itu, para anggota DPR dalam interpelasinya nanti juga akan menyorot kasus BCA. Maka dalam serial artikel tentang BLBI, kasus BCA saya tulis secara khusus dalam satu artikel.
Rush dan BLBI
Dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 BCA terkena rush. Untuk meredam rush BCA menerima BLBI yang jumlah seluruhnya Rp. 32 trilyun.
Jumlah tersebut diberikan secara bertahap dengan jumlah Rp. 8 trilyun, Rp. 13,28 trilyun dan Rp. 10,71 trilyun, atau seluruhnya Rp. 31,99 trilyun (dibulatkan menjadi Rp. 32 trilyun)
Dari jumlah ini yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang pokok sebesar Rp. 8 trilyun dan pembayaran bunga sebesar Rp. 8,3 trilyun yang tingkat bunganya ketika itu sebesar 70 % per tahun.
Pemerintah menganggap hanya pembayaran cicilan utang pokoknya saja sebesar Rp. 8 trilyun yang mengurangi utangnya. Pembayaran bunga, walaupun sebesar Rp. 8,3 trilyun dengan tingkat bunga yang 70 % setahun ketika itu tidak dianggap oleh pemerintah sebagai mengurangi utang BLBI-nya keluarga Salim. Karena itu, jumlah sisa utang BLBI oleh pemerintah dianggap sebesar Rp. 23,99 trilyun. Jumlah ini dianggap ekivalen dengan 92,8 % dari nilai saham-saham BCA. Maka kepemilikan BCA sebesar ini disita oleh pemerintah sebagai pelunasan utang BLBI oleh keluarga Salim. Dengan disitanya 92,8 % saham-saham BCA dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah, utang BLBI keluarga Salim lunas. Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang BLBI. Utang keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun adalah utang urusan lain lagi, bukan utang BLBI. Penggunaan istilah “BLBI” sebagai istilah generik untuk segala permasalahan sangat keliru.
Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp. 52,7 trilyun
Sekarang penjelasan tentang utangnya keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun. Ceriteranya sebagai berikut.
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, sebagai pemilik BCA keluarga Salim mengambil kredit dari BCA senilai Rp. 52,7 trilyun.
Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh Pemerintah, utangnya keluarga Salim tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah. Jadi Pemerintah menagihnya kepada keluarga Salim.
Keluarga Salim tidak memiliki uang tunai. Maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp. 100 milyar dan 108 perusahaan.
Yang menentukan bahwa penyelesaian atau settlement seperti ini bagus dan absah adalah pemerintah sendiri. Yang menentukan bahwa nilai 108 perusahaan memang sebesar Rp. 51,9 trilyun adalah pemerintah sendiri. Dalam penentuan ini, pemerintah menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers. Kita membaca di media massa sangat terkemuka berbagai uraian dari para akhli Danareksa dan Bahana yang dianggap sangat-sangat pandai dan mesti betulnya. Lehman Brothers bahkan menyatakan secara tertulis bahwa nilainya 108 perusahaan tersebut terlampau kecil, dengan selisih angka sebesar Rp. 204 milyar.
Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran utang oleh Salim sebesar Rp. 100 milyar tunai ditambah dengan 108 perusahaan nilainya Rp. 53,204 trilyun, atau kelebihan Rp. 204 milyar dibandingkan dengan utangnya. Namun pendapat Lehman Brothers tentang yang kelebihan Rp. 204 milyar ini tidak dianggap atau tidak digubris oleh pemerintah.
Selisih Penilaian
Penilaian dari 108 perusahaan yang semula Rp. 52,8 trilyun oleh Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers kemudian dinilai oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) dengan titik tolak penjualan “paksa” tidak lebih lambat dari tanggal tertentu. PWC tiba pada angka Rp. 20 trilyun saja. Titik tolak dan asumsi ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF.
Dalam prakteknya keseluruhan 108 perusahaan ternyata memang hanya laku dijual dengan nilai sekitar Rp. 20 trilyun saja.
Mengapa bisa terjadi selisih penilaian oleh Bahana, Danareksa, Lehman Brothers di satu pihak dan oleh Price Water House Coopers di lain pihak dijelaskan dalam sub judul tersendiri.
Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL)
Karena sudah dianggap lunas, maka kepada SG diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) atau Release and Discharge (R&D). Presiden Megawati S. berani memberikannya karena sudah dilandasi oleh UU no. 25 tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR no. VIII/MPR/2000. Ketika digugat oleh Lembaga Bantuan Hukum, Mahkamah Agung mengalahkan penggugat. Maka lengkap dan kuatlah payung hukumnya Presiden Megawati.
Masalah Besar Karena Telat Mikir (TELMI)
Apa masalah besar yang sekarang ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) ? Beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan tertinggi negara telat mikir (telmi). Setelah dahulunya ikut menggebu-gebu menyetujui dan membela penyelesaian seperti yang digambarkan di atas, sekarang marah, karena dampak ketidak adilannya luar biasa besarnya. Wong asset yang dinilai Rp. 52,6 trilyun ketika dijual kok hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun, sehingga keuangan negara dirugikan sebesar sekitar Rp. 32,7 trilyun.
Yang lucu, sebelum dijual PWC sudah ditugasi oleh Pemerintah untuk menilainya kembali dengan TOR yang berbeda. Jatuhnya sekitar Rp. 20 trilyun. Toh ini yang dijadikan acuan menjual, dan akhirnya memang hanya laku sekitar Rp. 20 trilyun.
Jadi pemerintah menerima nilai asset sebesar Rp. 52,8 trilyun sebagai pelunasan utang keluarga Salim, tetapi pemerintah juga yang bangga bisa menjualnya dengan nilai Rp. 20 trilyun. Bangganya karena bisa memperoleh recovery rate sekitar 34 %, sedangkan dari obligor lainnya rata-rata hanya memperoleh 15 % yang dianggap sangat normal oleh para teknokrat penguasa ekonominya Presiden Megawati.
Di Mana Letak Permasalahannya ?
Bahana, Dana Reksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi “Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal (normalised economic and political scenarios). Jadi mereka disuruh menilai 108 perusahaan itu sebagai going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.
Price Waterhouse Coopers (PWC) ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : “harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu”, dengan “transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan” (willing but not anxious). Jadi PWC ditugasi menilai 108 perusahaan itu dengan titik tolak dan asumsi liquidation value dalam lingkungan ekonomi makro yang para investornya ogah-ogahan melakukan investasi atau membeli 108 asset keluarga Salim.
Jadi ketika menerima 108 perusahaan sebagai pelunasan utang, pemerintah yang menilainya sebagai going concern. Tetapi ketika menjual, pemerintah sendiri juga yang menilainya dengan titik tolak dan asumsi liquidation value.
Menilai perusahaan memang sulit, merupakan sub disiplin ilmu tersendiri yang tidak dipahami oleh para teknokrat dan professor yang berteori bahwa kodok melompat-lompat dalam air, sedangkan kodok selalu berenang begitu menyentuh air.
Nilai perusahaan bisa didasarkan atas replacement value, discounted cash flow value, net present value, historical value, liquidation value dan entah apa lagi. Hasil dari berbagai metoda penilaian ini juga berbeda-beda.
Begitu nilai PWC keluar, kecuali satu orang, seluruh anggota kabinet Gotong Royong, KKSK ( Komite Kebijakan Sektor Keuangan ) dan BPPN setuju dijual dengan nilainya PWC. Menko Dorodjatun K yang ketika itu didukung penuh oleh Menteri Keuangan Boediono dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi berujar dengan keras dan tegas bahwa negara manapun di dunia yang terkena krisis memang harus menanggung kerugian besar. Biasanya harus rugi sekitar 85 % dari nilai asset yang dipakai untuk membayar, atau uang yang kembali rata-rata 15 % (yang disebut recovery rate). Maka ada yang menganggap Salim Group “pahlawan” karena recovery rate-nya sekitar 34 %.
Berani Melawan IMF ?
Bukankah IMF yang memerintahkan bahwa asset SG harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli berapa lakunya ? Dan batas waktu ini diumumkan kepada dunia. Apa berani, wong kalau berani tidak patuh pada IMF Indonesia diancam diisolasi oleh masyarakat dunia ?
Ya tidak berani, tapi kan bisa cerdik. Maka ada seorang menteri anggota KKSK yang mati-matian mengatakan bahwa dijual tidak melampaui batas waktu tertentu boleh, tetapi dengan tender terbuka, dan pemerintah menentukan harga minimum yang dirahasiakan. Harga ini dibuka bersama-sama dengan semua penawar BCA. Kalau harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, oleh pemerintah penjualan dibatalkan, ditunggu 6 bulan. Setelah itu penjualan diulangi lagi dengan prosedur yang sama. IMF-nya setuju. Tapi semua anggota Kabinet Gotong Royong (kecuali satu orang) termasuk Presiden dan Wakil Presidennya ketika itu setuju dengan penjualan model IMF yang obral tanpa harga minimum. Ketika itu SBY, JK dan Boediono para Menteri dalam Kabinet Gotong Royong yang juga ikut mendukung semua kebijakan tersebut yang sekarang diramaikan oleh DPR. DPR sebelum ini juga mendukung sampai menghasilkan UU nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas dan MPR-nya juga ikut-ikutan mendukung semangatnya dengan TAP MPR nomor VIII/MPR/2000.
Sudah begitu, Hubert Neiss, orang sangat penting dalam hubungan IMF dan Pemerintah Indonesia pensiun dari IMF. Langsung saja menjadi penasihat Deutsche Bank di Singapura. Dan langsung saja disewa oleh Farralon sebagai pelobi untuk memenangkan pembelian 51 % BCA dengan harga Rp. 5 trilyun, sedangkan BCA punya tagihan kepada Pemerintah berupa Obligasi Rekap. sebesar Rp. 60 trilyun.
Penjaja Mangga Di Pinggir Jalan
Penjualan BCA bisa diibaratkan penjaja mangga di pinggir jalan. Ada orang yang bernama Djadjang memasang papan yang berbunyi : “Mangga ini harus terjual habis tidak lewat dari jam 17.00 tanpa peduli dengan harga berapa lakunya.” Penjaja mangga marah, papannya dihancurkan dan Djadjang dipukuli.
Ketika menjual BCA, IMF memasang papan nama yang berbunyi “BCA harus dijual tidak lebih lambat dari tanggal tertentu tanpa peduli dengan harga berapa saja.” Apa yang terjadi ? Hubert Neiss menjadi pelobi (yang dianggap tidak ada conflict of ineterst) dan para Menteri Kabinet Gotong Royong memasang lampu sorot ke arah papan, dan papan pengumumannya dihiasi dengan huruf-huruf yang mencolok dan kontras,”
Karuan saja lakunya hanya Rp. Rp. 5 trilyun untuk 51 % atau dinilai hanya sekitar Rp. 10 trilyun untuk 100 %, tapi di dalamnya ada tagihan kepada Pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun, dan BCA ketika dijual sudah punya laba ditahan sebesar Rp. 4 trilyun.
KERUGIAN MAHA BESAR AKIBAT KEBODOHAN DAN MENTAL BUDAK MAHA BESAR YANG LUPUT DARI PERHATIAN
Tadi telah diuraikan bahwa BCA menjadi milik pemerintah sebagai pembayaran utang BLBI oleh keluarga Salim. Artinya, pemerintah telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 23,99 trilyun untuk membeli 92,8 % saham-saham BCA. Setelah itu, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus “disehatkan” dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp. 60 trilyun. Dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp. 4 trilyun. Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 trilyun (dibulatkan Rp. 88 trilyun).
Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp. 10 trilyun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp. 78 trilyun. Angka ini jauh lebih besar dari kerugian sebesar Rp. 33 trilyun sebagai selisih nilai 108 perusahaan yang diserahkan oleh keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya dengan nilai realisasinya.
Yang sangat aneh, tidak ada yang berbicara tentang kerugian yang sangat konyol ini. Karena membudak pada IMF atau karena bodoh ?
Oleh Kwik Kian Gie
No comments:
Post a Comment