Minggu, 27 Januari 08
PENERBITAN SURAT UTANG PEMERINTAH SEJUMLAH RP. 430 TRILYUN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BUNGA SEBESAR RP. 600 TRILYUN
Bank-bank yang tidak ditutup dinilai oleh IMF. Yang kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya antara minus 25 % atau lebih baik harus dinaikkan sampai menjadi 8 % sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss.
Caranya ialah menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk menaikkan Ekuiti, maka sebagai penggantinya diterbitkan Surat Utang yang diinjeksikan kepada bank-bank tersebut sampai CAR-nya mencapai 8%.
Jumlah keseluruhan Rp. 430 trilyun. Surat utang yang khusus diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank sampai memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF ini disebut Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR).
Sebagaimana layaknya surat utang, OR juga mengandung kewajiban pembayaran bunga. Bunga yang dibayarkan kepada bank-bank yang memiliki OR ini juga dimaksud untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang menderita kerugian.
Jadi OR mempunyai dua fungsi. Yang pertama yalah meningkatkan kecukupan modal atau solvency. Yang kedua untuk memperoleh pendapatan bunga, agar bank tidak menderita kerugian. Segera saja timbul pertanyaan, apakah OR yang dimaksud untuk meningkatkan kecukupan modal sampai 8 % sesuai dengan formula yang ditetapkan oleh BIS dengan sendirinya akan memberikan pendapatan bunga, sehingga rugi/laba bank impas? Tidak rugi dan tidak untung? Jelas tidak. Masalah ini akan saya bahas tersendiri.
OR MEMBANGKRUTKAN KEUANGAN NEGARA
Kalau setiap lembar dari OR dibayar tepat pada waktunya oleh pemerintah, kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp. 600 trilyun. Maka pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran utang OR yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang melekat pada OR tersebut. Bagaimana kalau pada tanggal jatuh temponya OR ternyata tidak dapat dibayar karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang? Pembayarannya akan ditunda dengan menerbitkan surat utang baru untuk membayar OR yang sudah jatuh tempo. Bagaimana gambarannya?
3 staf sekretariat dari BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Dan Damayanti di tahun 2002 mengembangkan sebuah skenario dalam tiga buah tulisan. Yang pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi BPPN berjudul “Analisa Ekonomi”. Yang ketiga dilarang terbit. Namun mereka mengirimkannya kepada saya selaku Kepala Bappenas dengan nama pengirim “Kami yang peduli kepada bangsa ini”. Saya gandakan dan bagikan kepada para anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa yang ditulis oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian dipecat?
Seperti dikatakan tadi, dengan jumlah kewajiban pembayaran yang demikian besarnya, juga besar kemungkinannya bahwa pemerintah tidak akan mempunyai cukup uang untuk membayarnya tepat pada tanggal jatuh temponya. Atas dasar ini, ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam buah skenario tentang sampai berapa besar membengkaknya kewajiban pemerintah membayar cicilan utang pokok beserta bunganya.
Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah sebesar Rp. 1.030 trilyun, yaitu Rp. 430 trilyun utang pokok dan Rp. 600 trilyun bunga.
Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 trilyun.
Menteri Keuangan ketika itu, Boediono telah mencapai kata sepakat dengan DPR tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan reprofiling tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar dengan Rp. 860 milyar per tahun selama 8 tahun.
Bagaimana hasilnya sampai sekarang sama sekali tidak jelas. Yang kita baca ialah diterbitkannya surat utang negara terus menerus. Posisi utang negara, terutama yang berkaitan dengan OR tidak pernah diumumkan dengan jelas.
Seperti kita ketahui, yang sangat memberatkan keuangan negara sehingga boleh dikatakan sudah bangkrut ialah porsi pembayaran cicilan utang pokok dan bunga yang rata-rata 25 % dari APBN.
JALAN PIKIRAN YANG KONYOL DALAM MENGEJAR SOLVENCY DAN RENTABILITAS SEKALIGUS
Seperti telah ditulis tadi, apakah penerbitan OR dengan jumlah yang dimaksud untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR sampai 8 % dengan sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank sampai jumlah yang tidak berlebihan atau kekurangan ?
Ternyata tidak. Secara teoritis dan logis saja bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sama. Kalaupun pernah sama, itu sebuah kebetulan yang luar biasa.
Penyuntikan bank dengan OR dimaksud untuk memperbaiki kecukupan modal dengan surat utang. Maka jumlah dari keseluruhan surat utangnya yang bernama OR ditentukan sebesar angka yang membuat CAR 8 %. Tingkat suku bunga yang berlaku buat OR ditentukan yang sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini lantas mesti menghasilkan pendapatan bunga yang impas dengan kerugian bank supaya bank tidak merugi atau istilahnya IMF ketika itu, bank tidak “bleeding” lagi?
Saya membuat analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang menerima OR paling banyak. Setelah tanggal tersebut analisis sangat sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR mengkaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya dicampur aduk dengan pendapatan-pendapatan lainnya, sehingga tidak bisa diperoleh angka yang khusus merupakan pendapatan bunga dari OR.
Analisis dalam bentuk Tabel adalah sebagai berikut.
(per 31 Desember 2002)
(1) | (2) | (3) | (4) | (5) |
No | Bank | Laba(Rugi) Bersih (dalam jutaan) | Bunga O.R (dalam jutaan) | Laba(Rugi) Tanpa Bunga O.R (dalam jutaan) |
1 | Bank Mandiri | 5.809.970 | 21.434.822 | (15.624.852) |
2 | Bank Negara Indonesia | 2.510.653 | 7.537.490 | (5.026.837) |
3 | Bank Rakyat Indonesia | 1.469.670 | 3.735.770 | (2.266.100) |
4 | Bank Tabungan Negara | 303.043 | 1.844.796 | (1.541.753) |
5 | Bank Internasional Indonesia | 131.876 | 2.207.806 | (2.075.930) |
6 | Bank Danamon | 989.284 | 3.331.297 | (2.342.013) |
7 | Bank Permata | (847.855) | 1.106.363 | (1.954.218) |
8 | Bank Niaga | 76.593 | 1.134.047 | (1.057.454) |
9 | Bank Lippo | 192.564 | 739.755 | (547.191) |
10 | Bank Central Asia | 3.400.066 | 8.591.568 | (5.191.502) |
Jumlah | 14.035.864 | 51.663.714 | (37.627.850) |
Kita lihat bahwa dari sepuluh bank yang menerima OR sampai kecukupan modalnya memenuhi syarat ternyata pendapatan bunga yang diperoleh kelebihan banyak kalau sekedar hanya dimaksud untuk menutup kerugian supaya impas, atau supaya bank berhenti bleeding.
Kita lihat Bank Mandiri dari Tabel ini. Perolehan pendapatan bunga dari OR yang disuntikkan sebesar Rp. 21,435 trilyun. Kerugiannya Rp. 15,625 trilyun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar Rp. 5,810 trilyun, karena disubsidi sebesar Rp. 21,435 trilyun dalam bentuk bunga OR.
Sekarang kita perhatikan BCA (no. 10 dalam Tabel). BCA merugi Rp. 5,192 trilyun. Tetapi injeksi OR sebesar Rp. 60 trilyun membuahkan pendapatan bunga sebesar Rp. 8,592 trilyun, sehingga akhirnya membukukan laba sebesar Rp. 3,4 trilyun. Bank ini akhirnya dijual dengan nilai sebesar Rp. 10 trilyun saja. Tentang ini saya bahas tersendiri.
KEKONYOLAN FORMULA MENGHITUNG KECUKUPAN MODAL DAN AKIBATNYA
Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Komponen dari ATMR bermacam-macam, dan karena itu, resikonya juga bermacam-macam. Caranya BIS menentukan resiko buat Indonesia sangat aneh.
Semua asset berupa pemberian kredit kepada perusahaan resikonya dianggap 100 % tanpa peduli seberapapun bonafidnya perusahaan yang memperoleh kredit.
Akibatnya, semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk CAR-nya. Penjelasannya sebagai berikut.
Andaikan pada satu waktu tertentu ATMR sebesar Rp. 1,25 trilyun dan modal ekuitinya Rp. 100 milyar. Kalau dihitung, CAR-nya 8 %, yaitu Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 1,25 trilyun dikali 100 %. Setelah ini, ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan tabungan sebesar Rp. 5 trilyun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk kredit kepada perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak bertambah, tetapi ATMR ketambahan Rp. 5 trilyun, sehingga perhitungan CAR menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun, yaitu ATMR lama sebesar Rp. 1,25 trilyun ditambah dengan pemberian kredit baru sebesar Rp. 5 trilyun. CAR-nya menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun dikali 100 % atau 1,6 %. Memang ini kondisi ceteris paribus, sedangkan kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal ekuiti yang dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi membutuhkan waktu, terjadi time lag, sedangkan penarikan deposito dan tabungan berjalan terus yang harus sesegera mungkin disalurkan ke sektor produktif, bukannya dibelikan SBI atau apa saja yang dijamin oleh pemerintah kalau mau dikatakan sehat.
Maka bank-bank tidak mau memberi kredit, maunya membeli SBI, karena SBI dan sejenisnya dianggap resikonya nol, sehingga tidak menurunkan CAR. Herankah kalau Loan to Deposit Ratio (LDR) setelah sekian lamanya tetap saja rendah? Dan herankah kalau di masa mendatang keuangan negara akan tetap saja sangat-sangat berat?
Sudah konyol seperti ini, Bank Indonesia yang independen merasa perlu terus menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga yang menarik. Kecuali memberikan pendapatan kepada bank-bank yang mempunyai likuiditas tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar bunga SBI. Berapa seluruhnya juga sangat sulit ditelusuri, karena BI tidak pernah pro aktif memberikan angka-angkanya secara transparan.
Yang memberatkan APBN kita itu perbankan yang prinsip-prinsip pengelolaannya didasarkan atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan BIS, bukan naiknya harga minyak dunia ! Jadi subsidi terbesar diberikan kepada perbankan. Pertama BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket quarantee, penentuan CAR yang asetnya beresiko nol kalau ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk apa saja. Kenaikan harga minyak dunia tidak berdampak sama sekali pada pengeluaran pemerintah. Yang benar kalau diperdebatkan apakah harga BBM di Indonesia tidak terlalu murah ? Ini sangat berlainan dengan mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak dunia, semakin besar pengeluaran tunai pemerintah! Pengeluaran pemerintah tidak ada, sebaliknya, tengok APBN. Semua pos migas kalau digabung menunjukkan angka surplus. Inilah nasibnya bangsa yang tidak merdeka lagi dalam berpikir !
LAGI-LAGI PIKIRAN YANG BENAR DAN BAIK TIDAK DIGUBRIS
Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR beserta bunganya yang boleh dikatakan membangkrutkan keuangan negara entah sampai kapan.
Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat sekuat tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena kuatnya pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof. Bambang Sudibyo selaku Menteri Keuangannya Gus Dur dan saya sendiri selaku Menko EKUIN-nya.
Kami berdua telah sepakat bahwa OR ditarik kembali oleh pemerintah tanpa membuat banknya bangkrut sebelum dijual kepada swasta atau diprivatisasi, yang juga merupakan persyaratan IMF.
OR adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Atau pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya utang dari kantong kiri kemeja satu orang kepada kantong kanan dari kemeja yang sama. Maka urusannya hanya bagaimana tekniknya. Teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan keuangan negara.
Cara mengeluarkannya yang pertama kali disepakati antara Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo dan KKG secara diam-diam adalah mengganti OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya.
Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan modal ekuitinya.
Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan berdasarkan idealisme mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi menarik OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran ini dimuat di Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Setelah itu dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para ahli ini terdiri dari Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para anggotanya adalah : Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat.
Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri sampai sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25 % dari APBN entah sampai kapan. Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak dan habis-habisan.
Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak diugbris sebagai cara untuk menarik kembali OR adalah sama dengan Capital Maintenance Note yang berasal dari pikirannya Paul Volcker yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa BLBI antara BI dan Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan mental inlander yang hanya bisa menerima pikiran orang berkulit putih?
BANK-BANK DIJUAL DENGAN OR DI DALAMNYA
Akhirnya tanpa ada selembarpun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing yang membelinya dengan harga murah.
OR-nya segera dijual kepada publik, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa berutang.
Contoh yang paling spetakuler adalah penjualan BCA dengan nilai Rp. 10 trilyun. Pembelinya memiliki BCA yang mempunyai tagihan dalam bentuk OR kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun.
Sekarang setelah telat mikir sekitar 7 tahun, seperti halnya dengan perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan BCA, yang sangat bisa dihindari
Oleh Kwik Kian Gie
No comments:
Post a Comment