Jakarta, Kompas - Penurunan bobot risiko dalam perhitungan aktiva tertimbang menurut risiko dan keharusan penyaluran kredit produktif dalam suatu porsi tertentu, dinilai akan menurunkan suku bunga kredit kecil secara drastis.
Ekonom BRI Djoko Retnadi akhir pekan lalu di Jakarta menjelaskan, dua kebijakan yang baru saja dirilis BI tersebut akan mendorong perbankan berlomba-lomba menyalurkan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Deputi Pembiayaan Kemenkop dan UMK Agus Muharam mengatakan aturan BI tersebut diharapkan dapat mencegah kebuntuan pengucuran kredit mikro dan kecil bagi pengusaha baru. Selama ini bank cenderung hanya mau menyalurkan kredit ke nasabah lama sehingga menghambat munculnya wirausaha baru.
Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo sangat mendukung kebijakan BI yang sangat berpihak pada UMKM tersebut.
Djoko menjelaskan, dengan penurunan bobot risiko kredit dari 75 persen saat ini menjadi 30 persen, perbankan jelas memiliki keleluasaan menyalurkan kredit yang tergolong sebagai kredit usaha rakyat (KUR) atau kredit di bawah Rp 500 juta. Ini merupakan kredit mikro dan kecil yang bersifat produktif, bukan konsumtif.
ATMR merupakan nilai eksposur kredit dikalikan bobot risiko. ATMR digunakan dalam perhitungan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR).
Contoh, bank dengan modal Rp 100 miliar diperkenankan memiliki ATMR maksimal Rp 1,25 triliun agar CAR tetap 8 persen.
Hal ini dengan asumsi tidak ada risiko-risiko lain. Jika bobot risiko untuk setiap kreditnya sebesar 100 persen, total kredit yang bisa disalurkan sama seperti jumlah ATMR, yaitu Rp 1,25 triliun.
Akan tetapi, jika bobot risiko dari seluruh kreditnya hanya 50 persen, bank tersebut bisa menyalurkan kredit dua kali lipat dari semula, yaitu Rp 2,5 triliun.
Artinya, bank memiliki kemampuan menyalurkan kredit lebih banyak tanpa harus menambah modal. Dampaknya, bank memiliki ruang gerak yang relatif besar untuk memacu kredit mikro dan kecil.
”Jika volume yang disalurkan meningkat, maka suku bunga kredit bisa diturunkan,” kata Djoko.
Selama ini, suku bunga kredit kecil dan mikro masih relatif tinggi berkisar 16 - 24 persen per tahun. Suku bunga kredit yang tinggi sedikit banyak telah membuat calon debitor enggan mengajukan pinjaman. Banyak debitor kecil khawatir tidak bisa membayar cicilan kredit.
Menurut Djoko penurunan bobot risiko kredit mikro dan kecil sangat layak. Sebab, risiko kredit usaha mikro dan kecil sebenarnya sangat kecil.
Selain itu, kredit mikro dan kecil umumnya memiliki kolateral atau jaminan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih dari cukup. "Pengusaha mikro dan kecil biasanya mengagunkan rumah yang nilainya jauh lebih besardaripada utangnya," katanya.
Jika terjadi kredit macet, bank tidak akan merugi karena dengan mudah bisa menjual agunan itu.
Porsi produktif
Hal lain yang juga bakal mendorong kredit UMKM ialah keharusan untuk menyalurkan kredit produktif dalam porsi tertentu. BI belum menentukan berapa besar porsinya.
Aturan ini membuat bank tidak lagi bisa seenaknya menyalurkan kredit UMKM yang bersifat konsumtif. Sebab untuk menjaga rasio, secara bersamaan bank juga harus menyalurkan kredit UMKM produktif.
Saat ini dari total kredit UMKM sebesar Rp 478,74 triliun, sekitar 50,1 persen bersifat konsumtif. Kredit konsumtif umumnya tidak menciptakan nilai tambah atau tidak mendorong penyerapan tenaga kerja. (FAJ/OSA)
No comments:
Post a Comment