Agus Sudibyo
Terkait isu korupsi, citra bangsa Indonesia kian terpuruk di mata dunia internasional.
Tak lama berselang setelah MA memenangkan gugatan "Rp 1 triliun" mantan presiden Soeharto kepada majalah Time, nama Soeharto justru nangkring pada ranking teratas daftar mantan pemimpin negara yang paling banyak menggarong aset- aset negara, sebagaimana dilansir StAR Initiative World Bank dan UNODC 2007. Keprihatinan makin dalam saat indeks persepsi korupsi yang diumumkan Transparency International menempatkan Indonesia di urutan 143 dari 180 negara.
Dalam konteks inilah, rencana DPR mengesahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sedikit melegakan. Jika semua berjalan lancar, UU yang berusaha menjamin perwujudan hak publik untuk mengetahui proses-proses penyelenggaraan pemerintahan sebagai realisasi dari hak politik warga negara itu akan disahkan pertengahan Oktober 2007. UU KIP memberitahukan kepada dunia bahwa ada yang membanggakan dari upaya Indonesia mengatasi masalah korupsi dan transparansi. Indonesia menjadi negara terdepan di Asia dalam pelembagaan freedom of information, sejajar sejajar dengan Jepang, Thailand, dan India.
Kontroversi BUMN
Namun, bagaimana isi dari UU KIP sendiri? Pengalaman menunjukkan, banyak UU dengan semangat awal sangat demokratis, tetapi isinya justru kontraproduktif bagi prinsip demokrasi. Beberapa UU juga telah menjamin hak publik atas informasi (termasuk UU Pers No 40/1999), tetapi implementasinya tak berjalan efektif karena lalai dalam merumuskan penegakan hukum atas hak-hak tersebut dan kewajiban negara dalam mewujudkannya.
Di sinilah kita harus mengkritisi perdebatan yang muncul dalam legislasi RUU KIP. Salah satu masalah yang sangat alot diperdebatkan DPR dan pemerintah adalah masuk-tidaknya BUMN dalam gugus badan publik sebagaimana diatur dalam UU KIP. Proses pembahasan RUU KIP berbelit-belit karena pemerintah bersikeras mengeluarkan BUMN dari gugus badan publik dengan alasan BUMN berada dalam rezim bisnis dan keterbukaan informasi akan membunuh daya saing BUMN.
RUU KIP merumuskan badan publik berdasarkan pada prinsip mandatori dan aliran dana publik. Lingkup badan publik di sini dirumuskan sebagai: (1) lembaga yang pendirian, fungsi, dan kedudukannya diatur melalui perundang-undangan, termasuk lembaga nonpemerintah yang mendapatkan kontrak kerja atau pengalihan fungsi dari pemerintah, serta (2) semua lembaga yang mengelola dana publik (APBN/APBD/Nonbudgeter) baik seluruhnya maupun sebagian.
Berdasarkan 2 prinsip ini, BUMN jelas termasuk badan publik yang harus tunduk pada rezim keterbukaan informasi. Sejauh UU BUMN mendefinisikan BUMN sebagai badan usaha milik negara yang mengelola aset-aset negara, BUMN pasti bukan murni entitas bisnis. Kedudukan dan fungsi BUMN diatur dalam UU, pimpinannya juga dipilih melalui mekanisme politik.
Pemerintah semestinya juga mempertimbangkan fakta buruknya kinerja BUMN. Korupsi di BUMN menjadi keniscayaan dari waktu ke waktu. BUMN hampir selalu menjadi sumber pemerasan para pejabat dan kepentingan politik. Masyarakat juga tak pernah tahu mengapa pelayanan publik BUMN sangat buruk dan mengapa mayoritas BUMN terus merugi, sedangkan kerugian ini dibebankan kepada anggaran negara.
Dengan UU No 7/2006, Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Anti Corruption. Dalam UNCAC ini, subyek pemberantasan korupsi telah diperluas hingga ke sektor swasta. Dari perspektif ini, bukan BUMN yang harus dikeluarkan dari rezim keterbukaan informasi, tetapi sektor swasta yang harus dimasukkan ke dalam rezim keterbukaan informasi. Dengan prinsip mandatori dan aliran dana publik tadi, RUU KIP membuka kemungkinan ini lebar-lebar.
Rezim kerahasiaan
Jika concern pemerintah adalah daya saing BUMN, bisa dipecahkan dengan menambahkan pasal "pengecualian untuk melindungi daya saing BUMN". Pengecualian informasi isu semua badan publik, bukan hanya isu BUMN. Persoalan menjadi pelik karena yang dituntut pemerintah bukan pengecualian informasi tentang BUMN, tetapi pengecualian BUMN sebagai lembaga.
Mengapa pemerintah ngotot menolak perumusan BUMN sebagai badan publik? Mengapa pemerintah sama sekali tidak mempertimbangkan mudarat jika BUMN tetap dibiarkan tertutup? Jangan-jangan partikularitas kepentingan berbicara di sini! Keterbukaan informasi menimbulkan konsekuensi serius bagi akuntabilitas BUMN. Sementara ketertutupan informasi memungkinkan semua penyelewengan berjalan tanpa hambatan: transaksi-transaksi di luar pembukuan terkait dengan dana taktis dan operasional direksi, pengeluaran-pengeluaran fiktif, mark up anggaran dan pengadaan barang-jasa, kewajiban-kewajiban finansial yang tidak jelas, pemusnahan dokumen pembukuan, mark down penjualan aset/saham dalam proses divestasi, dan lain-lain.
Praktik-praktik inilah yang telah melumpuhkan signifikansi BUMN sebagai penyangga ketahanan ekonomi nasional dan pelaksana layanan publik pada sektor vital. Namun, praktik ini pula yang memfasilitasi banyak pihak memperkaya diri dan mengeruk keuntungan maksimal dari proses penyelenggaraan pemerintahan yang tertutup dan penuh kerahasiaan.
Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan SET Jakarta