Thursday, August 23, 2007

Alirkan Likuiditas ke Sektor Riil

M Fajar marta

Likuiditas yang melimpah ibarat pedang bermata dua bagi perekonomian. Jika likuiditas tersebut dapat digunakan secara optimal untuk membiayai sektor usaha, maka hasilnya positif bagi perekonomian. Sebaliknya, jika likuiditas tersebut tidak bisa mengalir lancar ke sektor-sektor produktif, akan berbahaya.

Situasi yang berbahaya itulah yang kini mendera Indonesia. Macetnya aliran likuiditas ke sektor riil membuat bank sentral sejak tahun lalu harus melakukan kontraksi dengan menyerap lebih banyak likuiditas di pasar.

Hasilnya, penempatan dana pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus meningkat. Per 16 Agustus 2007, angkanya sudah mencapai Rp 282,47 triliun.

Jika situasi tak berubah, dalam arti laju pertumbuhan likuiditas lebih cepat dibandingkan penyerapan dana oleh sektor usaha, maka posisi SBI akan terus meningkat dan ancaman gelembung sektor keuangan makin dekat.

Likuiditas diperkirakan masih tetap tumbuh meskipun dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya akibat gejolak keuangan global.

Pertumbuhan likuiditas, menurut Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin, didorong oleh bunga yang muncul dari Surat Utang Negara (SUN) dan SBI yang totalnya Rp 75 triliun per tahun.

Di sisi lain, pertumbuhan kredit masih belum seperti yang diharapkan. Selama periode Januari-Mei 2007, kredit perbankan nasional hanya bertumbuh sekitar Rp 32,58 triliun, masih sangat jauh dibandingkan target tahun ini sebesar Rp 185 triliun.

Melonjak tajam

Pertumbuhan kredit bulan Juni 2007 yang melonjak tajam mencapai Rp 38,5 triliun sebenarnya menimbulkan optimisme bahwa penyaluran pinjaman mulai terakselerasi.

Namun, harapan tersebut kandas karena pertumbuhan kredit bulan Juli 2007 diperkirakan kembali merosot, hanya sekitar Rp 10,5 triliun.

Melihat keadaan lima bulan ke depan, sulit mengharapkan kredit bisa tumbuh sekitar Rp 20 triliun per bulan agar target akhir tahun bisa tercapai.

Proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol yang sebenarnya bisa mendongkrak pertumbuhan kredit masih banyak menghadapi kendala, salah satunya pembebasan lahan.

Kinerja sektor riil secara umum juga belum meningkat karena masih terkendala berbagai masalah klasik, seperti terlambatnya pencairan dana untuk pembangunan proyek di daerah dan ekonomi biaya tinggi.

Di sisi lain, terjadi tren pengalihan sumber dana dari bank ke pasar modal dengan cara menerbitkan surat utang (obligasi) atau rights issue.

"Pada awal 2007, terlihat sejumlah nasabah bank-bank besar melunasi kreditnya. Nasabah tersebut kemudian mencari dana melalui cara lain, yaitu dengan menerbitkan obligasi korporasi. Ini harus menjadi perhatian bank karena berarti bank punya saingan yang semakin berat," kata Gubernur BI Burhanuddin Abdullah beberapa waktu lalu.

Tak mau ajukan kredit

Pengamat dan praktisi perbankan Ryan Kiryanto mengatakan, tren meningkatnya pencarian dana melalui pasar modal salah satunya disebabkan oleh rigiditas suku bunga kredit.

Artinya, pada saat suku bunga acuan (BI Rate) dan suku bunga dana telah turun signifikan, suku bunga kredit hanya turun sedikit. Tingginya suku bunga kredit tentu membuat perusahaan yang akan meminjam enggan mengajukan kredit karena suku bunganya tinggi.

Sementara biaya dana yang dikeluarkan perusahaan saat menerbitkan obligasi juga relatif lebih murah. Bunga obligasi dengan tenor 10 tahun saat ini misalnya, sekitar 12 persen per tahun. Bandingkan dengan bunga kredit investasi atau modal kerja sekitar 13 persen per tahun.

Kalangan perbankan dan BI selaku otoritas moneter tentu tak ingin kredit terus terpuruk di tengah likuiditas yang melimpah. Karena itulah BI berencana menetapkan, dana yang dikeluarkan bank untuk membeli obligasi korporasi dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kredit.

Karena dianggap sebagai kredit, otomatis kepemilikan obligasi korporasi diperhitungkan dalam penentuan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR).

Dimasukkannya kepemilikan obligasi ke dalam perhitungan LDR diharapkan akan mendorong bank melempar likuiditasnya ke sektor produktif ketimbang menyimpan di SBI.

Maklum, LDR merupakan salah satu indikator yang kerap dipakai BI untuk menilai kinerja bank. Salah satunya dalam penentuan giro wajib minimum (GWM) atau dana minimum yang wajib disimpan bank di BI.

Semakin besar LDR, GWM akan semakin kecil. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia, total obligasi korporasi per Maret 2007 sebesar Rp 63,32 triliun.

Wakil Presdir Bank International Indonesia (BII) Sukatmo Padmosukarso mendukung langkah BI menggolongkan obligasi korporasi sebagai bentuk kredit. Dengan demikian, LDR dengan sendirinya akan meningkat.

"Tapi harus diwaspadai agar peringkat obligasi itu benar-benar mencerminkan tingkat risiko perusahaan penerbit," ujar Sukatmo. Jangan sampai debitor yang kreditnya bermasalah bisa melakukan refinancing dengan menerbitkan obligasi yang ternyata peringkatnya bagus.

Kepala Biro riset InfoBank Eko B Supriyanto menilai, kebijakan BI memasukkan obligasi korporasi dalam perhitungan LDR merupakan jalan pintas akibat ketidakberdayaan bank dalam menyalurkan kredit secara langsung ke perusahaan.

Ini juga merupakan upaya BI untuk mengurangi beban dalam menanggung biaya bunga SBI. Yang pasti, kebijakan BI tersebut akan mendongkrak LDR. Per Juni 2007, LDR tercatat 63,57 persen, sementara per Mei 2007 sebesar 63,09.

No comments: