Surwandono
Dosen Fisipol UMY dan Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM
Fenomena kemiskinan di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Berbagai rezim telah mempergunakan isu ini untuk mendapatkan legitimasi politiknya. Orde baru mempergunakan isu gerakan pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan. Namun sampai rezim orde baru harus berakhir, kemiskinan tetap saja merajalela. Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan anggota kabinet yang baru saja menerima kuliah dari Muhammad Yunus (pendiri Greemen Bank), justru tidak menunjukan greget pengentasan kemiskinan.
Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,8 persen , rezim SBY-JK hanya berani mematok pengurangan kemiskinan sebesar 15persen hingga 16 persen, dari asumsi tingkat kemiskinan per Maret 2007 sebesar 16,7 persen. Sebuah indikasi bahwa rezim SBY-JK tidak lagi memiliki sense pro-poor. Jangan-jangan pula, terdapat penetrasi dan intervensi kembali dari kekuatan rezim ekonomi internasional dalam menentukan arah pembangunan setahun ke depan.
Model top down
Fenomena kemiskinan telah menjadi perhatian yang sangat serius di tingkat pemerintah. Rezim orde baru telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk pengentasan kemiskinan, baik paket Bangdes, Subsidi, dan Kredit Mikro seperti Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Usaha Terpadu (KUT) sampai dengan program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Bahkan mantan presiden Soeharto mengeluarkan Deklarasi Jimbaran untuk memaksa para konglomerat supaya memberikan bantuan bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Sedangkan rezim reformasi telah mengeluarkan berbagai kebijakan kredit lunak dan subsidi kepada keluarga miskin untuk mengatasi masalah tersebut. Bahkan, akhir-akhir ini, sebagai implikasi harga bahan bakar minyak (BBM) yang melambung tinggi, pemerintah mengeluarkan paket Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bukan hanya itu, rezim SBY bahkan membuat tiga kementerian yang bertugas langsung untuk mengentaskan kemiskinan, yakni kementerian sosial, kesejahteraan rakyat, dan daerah tertinggal.
Namun logika dan paradigma pengentasan kemiskinan masih berbasis top-down. Pemerintah cenderung mengeluarkan paket kebijakan yang seringkali tidak dimengerti arah dan kegunaannya bagi masyarakat miskin. Bahkan banyak orang yang sebenarnya tidak miskin, 'mengaku' miskin agar mendapatkan segepok fasilitas keluarga miskin, seperti beras murah dan pelayanan kesehatan gratis.
Biasanya, praktik seperti itu berlangsung karena pendataan penduduk yang semestinya menjadi sasar program ini berlangsung tidak baik. Orang yang sebenarnya miskin malah tidak terdata. Sehingga tuduhan bahwa terjadi penyimpangan subsidi kepada keluarga miskin, sangat nyaring terdengar. Contoh yang paling lugas adalah bangkrutnya Askekin akibat dana kesehatan bagi orang miskin disalahgunakan oleh berbagai kalangan.
Bukan hanya itu, ada kecenderungan paket-paket kredit murah yang ditawarkan pemerintah tidak berjalan dengan maksimal. Paket kredit tersebut belum mampu menstimuli masyarakat miskin untuk menggerakan niat dan kemampuan supaya bisa lebih berdaya. Berbagai alasan muncul, dari ketidakjelasan mekanisme pengambilan kredit, kekhawatiran akan kegagalan usaha, sampai prosedur birokrasi yang rumit.
Bahkan paket charity dari Deklarasi Jimbaran yang pernah diluncurkan oleh mantan presiden Soeharto adalah bentuk trickle down effects (efek tetesan ke bawah) sebagai bagian tak tepisahkan dari stretegi pertumbuhan, tidak banyak ditindaklanjuti oleh rezim SBY-JK. Ada kecenderungan political will pemerintah untuk mendesak kepada perusahaan melakukan corporate social responsibility (CSR) tidaklah begitu tampak dan serius.
Tidak terdapatnya kebijakan yang komprehensif tentang CSR membuat banyak perusahaan menjadi menahan diri. Artinya, paket pengentasan kemiskinan sebagai implikasi pengambilan strategi pertumbuhan ekonomi tidak benar-benar dilakukan secara sadar. Bisa dikatakan, program CSR itu hanya semacam retorika yang tidak dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Berbagai fenomena pengentasan kemiskinan ini menyiratkan terjadinya praktik oligharkisme. Yakni pemerintah senantiasa memposisikan diri sebagai pihak yang paling tahu tentang cara pengentasan kemiskinan dan menempatkan masyarakat miskin sebagai objek semata, powerless, dan tidak memiliki konsep mengenai upaya pengentasan kemiskinan terhadap dirinya.
Langkah seperti ini setidaknya dijadikan sebagai cara untuk menutupi ketimpangan pengelolaan strategi pembangunan yang cenderung memiskinkan sekelompok tertentu. Ketimpangan yang tidak menyehatkan ini sebagai implikasi pemilihan stategi pertumbuhan ekonomi secara masif dan tidak mengimbanginya dengan strategi redistribusi pendapatan yang proporsional.
Justru oligharkisme kebijakan pengentasan kemiskinan inilah yang terus akan menciptakan komunitas masyarakat miskin palsu, guna mendapatkan asistensi pemerintah dengan merampas hak masyarakat miskin itu sendiri. Belum adanya data kemiskinan terpadu lintas lembaga yang valid, jelas membuat celah yang lebih lebar bagi bertambahnya para orang miskin palsu ini secara signifikan. Seberapapun paket kredit atau subsidi yang diberikan pemerintah, jika tidak disertai dengan paradigma pengentasan kemiskinan dan data yang akurat, hanyalah akan menghasilkan kesia-siaan dan bahkan semakin memarginalkan orang miskin.
Paradigma baru
Di penghujung masa jabatannya, rezim SBY-JK sudah selayaknya menformat ulang ataupun memberikan penjelasan ulang terhadap pidato kenegaraannya. Penjelasan ini diperlukan agar tidak terjadi politisasi yang berlebihan terhadap pidato SBY tentang fenomena pengurangan kemiskinan. Namun yang lebih substantif lagi adalah paradigma pengentasan kemiskinan sudah selayaknya menempatkan orang miskin sebagai bagian atau elemen yang paling signifikan untuk dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan pengentasan kemiskinan.
Meskipun orang miskin adalah orang yang papa dan hopeless (tak punya harapan) namun bukan berarti mereka tak punya ide cerdas yang sangat mungkin bisa mengurai benang kusut kemiskinan yang sedang melilitya. Politik oligharkisme dalam pengentasan kemiskinan harus mulai digerus dari pemerintah itu sendiri yang selama ini menjalankan praktik tersebut.
Setidaknya ide cerdas Muhammad Yunus yang membuat bank bagi kaum miskin, Grameen Bank, bisa dipergunakan untuk menggerus oligarkhisme tersebut. Ide Yunus membuktikan bahwa kaum miskin adalah masyarakat yang masih memiliki setumpuk ide dan harga diri, dan mampu bangkit dari keterpurukan dari sistem yang selama ini menjeratnya.
Pemerintah tidak cukup berlipstik pro-poor, hanya dengan mengundang Yunus untuk memberikan kuliah dan nasihat tentang strategi pengentasan kemiskinan. Yang sekarang diperlukan oleh masyarakat miskin adalah implementasi kebijakan yang sinergis. Jangan jadikan pengentasan kemiskinan ini sebagai sebuah 'proyek' yang justru menguntungkan pelaksana proyek.
Segenap elemen bangsa, baik pemerintah, lembaga filantropi yang semakin marak, perusahaan dengan CSR-nya, lembaga keuangan, organisasi sosial-keagamaan-politik, lembaga pendidikan, dan komunitas masyarakat miskin harus bertanggung jawab untuk menjawab proses pengentasan kemiskinan secara sinergik. Tradisi oligharkhisme sedapat mungkin harus dipangkas, sehingga lembaga penyalur dana pengentasan tidak lagi menjadi 'dewa' yang menentukan secara sepihak paket dan kebijakan pengentasan kaum papa.
Keberanian lembaga penyalur dana untuk sharing secara terbuka kepada kaum papa akan membangkitkan perasan egaliter bagi si penerima paket bantuan. Tidak ada yang lebih mulia antara yang memberi dan menerima. Semuanya adalah mulia jika mereka mempergunakan dana pengentasan kemiskinan secara amanah dan transparan.
Ikhtisar
- Program-program resmi pemerintah untuk mengetaskan kemiskinan telah dijalankan sejak orde baru berkuasa.
- Sayangnya, program pengentasan kemiskinan itu tidak didukung tanggung jawab besar dan data yang valid tentang orang-orang miskin.
- Kondisi tersebut membuat program pengentasan kemiskinan yang berjalan selama ini tidak tepat sasaran.
- Saat ini pemerintah harus mulai melibatkan orang miskin secara langsung untuk mengatasi problem kemiskinan di Indonesia.
No comments:
Post a Comment