Oleh : Fidel Hardjo
Staf Televisi TBN Asia, Tinggal di Manila
Di tengah meroketnya gelembung ekonomi Cina di abad XXI, kini negeri Tirai Bambu ini didera oleh global warning, yang lebih populer dikenal sebagai skandal Made in China (MIC). Sejatinya, skandal MIC adalah letupan reaktif komunitas global untuk menarik, membasmi, atau lebih tepat dikatakan menghentikan sirkulasi produk MIC dari pasar global. Setidaknya, berdasarkan test fit for purpose standard di beberapa negara ditemukan produk MIC terkontaminasi zat kimia yang membahayakan.
Skenario terselubung AS
Skandal MIC diduga tidak terlepas dari skenario terselebung AS untuk membendung sirkulasi produk MIC secara global (Ted C Fishman, China, Inc, How The Rise of The Next Superpower Challenges America and The World, 2005). Keajaiban ekonomi Cina menghampiri siapa saja dengan banyak cara dan dari segala arah. Sekali produk MIC diterima maka agak sulit untuk ditolak, demikian kataTed C Fishman dalam bukunya. Kehadiran produk MIC yang relatif murah di pasar global tidak sedikit membuat produk lokal terancam. Inilah kekhwatiran AS.
Upaya AS membendung produk MIC sebenarnya sudah berlangsung lama. AS biasa mengusung propaganda skandal keracunan produk MIC. Alasan ini 'membungkus rapi' agenda tersembunyi AS untuk meyingkirkan produk MIC. Sehingga, apa yang muncul di permukaan adalah penolakan atas produk MIC yang terkontaminasi racun dan high risk.
Maka, tahun 2001, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS memaparkan data numerik korban produk MIC. Ada sebanyak 76 juta kasus yang membuat 325 orang masuk rumah sakit, 5.000 orang meningal dunia, 4.000 binatang piaraan mati yang teridentifikasi positif berkorelasi erat dengan substandar produk MIC (CNN,18/5/2007).
Sayangnya, hasil survei itu, tak cukup memancing reaksi komunitas global. Reaksi global mulai muncul secara simultan tahun 2006/2007. Lembaga Food and Drugs Admistration (FDA) AS melaporkan secara resmi skandal MIC yang mengandung high risk yaitu obat sirup batuk (100 orang mati), sayuran (3 orang mati dan 200 menderita sakit), pet food (ribuan binatang tewas), pasta gigi (94 orang mati dan 297 sedang diinvestivigasi), (CRS Report for US Congress,10/7/2007).
Data resmi ini ternyata menghentak kesadaran para pemuja (biasanya orang miskin) produk MIC di seluruh dunia. Kini, skandal MIC telah membakar kepanikan dan ketakutan masyarakat global. Sehingga, apa yang kita saksikan akhir-akhir ini, munculnya reaksi negara Amerika Latin, Uni Eropa, bahkan Asia menarik dan melarang peredaran beberapa jenis produk MIC. Eskalasi aksi pemboikotan global atas produk MIC tentu memberi 'titik kenyamanan' khusus bagi produk ekspor AS. Itu berarti, prediksi Ted C Fishman yang mengatakan Abad XXI adalah abadnya orang Cina perlu dipikir dua kali lipat. Sebab, boleh jadi abad ini kembali jatuh ke tangan AS sebagai panglima tunggal pasar ekonomi sejak Abad XX.
Salahkah jika Indonesia juga melarang dan membasmi produk MIC? Tentu tidak salah. Indonesia punya hak absolut menolak produk MIC yang membahayakan warganya. Menurut BPOM, produk impor MIC yang sudah pasti mengandung formalin yakni permen White Rabbit, Kiamboy, Classic, dan Blackcurrant. Hanya, sikap penolakan mesti didasari verifikasi akurat dan pendekatan soft power dengan Cina, sehingga tidak terkesan emosional. Jika upaya ini dikedepankan, maka perang dagang yang hampir terbakar akhir-akhir ini bisa dihindari.
Contohnya, sebagai aksi pembalasan (walaupun versi Cina, penolakan itu bukan aksi pembalasan) selama tahun 2007 lembaga GAQSIQ Cina telah menyita dan membasmi 121 jenis produk Indonesia. Produk impor Indonesia juga tercemar oleh racun dan patogen seperti merkuri, chromium, antibakteri nitrofual.
Pada titik inilah momentum perang dagang sulit dihindarkan. Tentunya, AS mencuri keuntungan di tengah kondisi seperti ini. Produk AS masuk dalam kotak save. Bagi kedua negara, kerugian besar akan ada di depan mata. Padahal, selama ini kedua negara menikmati benefit perdagangan bilateral. Data BPS awal 2007 menunjukkan kapasitas impor produk MIC di Indonesia senilai 3,62 miliar dolar AS. Sementara, produk impor Indonesia di Cina selama semester II tahun 2007 telah melampaui 20 miliar dolar AS. Betapa sayang, kalau aksi-reaksi kita lebih fokus pada perang dagang dan aksi tuding-menuding.
Membangun etika
Pertama, kita perlu sikap kritis. Kekritisan itu semestinya bermuatan nilai transformatif. Artinya, kita harus berani mengatakan no untuk produk impor MIC yang berpotensi destruktif dan sebaliknya. Kedua negara juga perlu bersikap saling terbuka atas upaya fit-for-purpose standar kualitas produk ekspor. Upaya ini perlu dikaji dan diverifikasi secara kooperatif-objektif transparan (Prinsip Safeguard GATT 94/WTO). Dengan demikian, kita menghindari sikap prejudice dan justifikasi dekonstruktif global atas image produk ekspor kedua negara.
Kedua, Cina-Indonesia perlu saling belajar. Bagaimana membangun etika dagang baru transnasional: murah, sehat, dan respek HAM. Kita perlu belajar dari Cina yaitu bagaimana menghasilkan produk murah. Terutama, ketika orang miskin tidak merasakan benefit pasar karena harga sembako sering melambung tinggi, upah kerja minim, produk impor/ekspor unsafety, melek edukasi, ekologi, dan hiegenitasi berkepanjangan. Tapi, hendaknya produk murah tidak mengabaikan aspek kesehatan, standar upah kerja minimum, dan respek HAM. Ketiga, perlu peran proaktif dan fair lembaga perdagangan regional (AFTA/APEC) maupun Internasional (WTO) untuk mengontrol dan mengawasi sistem free trade yang berpotensi destruktif tanpa bersikap tebang pilih.
No comments:
Post a Comment