Wednesday, August 15, 2007

Kesempatan Hapus "Dosa Besar"

Jakarta, Kompas - Salah satu dosa terbesar pemerintah di dalam pembangunan Indonesia sejak tahun 1967 adalah menjadikan rakyat relatif sebagai stempel dan dijadikan sebagai pemanis di balik program-program ekonomi. Indonesia sibuk menjual dirinya kepada investasi asing dengan menawarkan upah buruh murah yang tidak menyejahterakan warga kebanyakan.

Pemerintah mengandalkan keberadaan sumber daya alam dan energi yang hanya menguntungkan investor asing serta pebisnis lokal yang masuk di dalam inner circle. "Seharusnya distribusi hasil kekayaan energi lebih disebar dan tidak berkutat kepada segelintir orang saja," kata Akio Kawato, profesor dari Sekolah Bisnis dari Universitas Waseda.

Jadilah Indonesia sebagai negara kaya, tetapi kebanyakan warganya dibelenggu kemiskinan. Muncul pula pengusaha manja berkat proteksi, pengusaha perusak perekonomian dengan kredit macet, dan pengusaha dengan praktik bisnis yang suka menginjak kaki pesaing. Basis perekonomian pun tak berkembang secara berarti.

Ekonomi Indonesia memang tumbuh yang diperlihatkan dengan indikator ekonomi makro. Akan tetapi, di dalamnya ada posisi rakyat sangat rentan, ditandai dengan kemiskinan serta ketidakmampuan mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan. Intinya, pembangunan ekonomi Indonesia sejak 1967 tak kunjung mampu memakmurkan mayoritas, tetapi hanya segelintir warga.

Kini muncul sebuah kesempatan, atau sebuah potensi untuk menghapus dosa besar pemerintah, dengan ditandatanganinya Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) RI-Jepang pada kunjungan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe di Jakarta, 19-21 Agustus.

Salah satu misi utama kunjungan PM Abe adalah peningkatan hubungan ekonomi lewat EPA. Bisa dikatakan, ini adalah sebuah kesempatan menghapus dosa besar dengan mengubah paradigma pembangunan pola lama jika benar-benar dimanfaatkan.

Bermanfaatkah EPA itu untuk RI? Tidak ada keraguan soal itu. Menurut Departemen Luar Negeri (Deplu) Jepang, hasil studi bersama RI-Jepang menunjukkan EPA akan meningkatkan basis aktivitas ekonomi kedua negara, lebih-lebih Indonesia. Hal itu juga dinyatakan Akio Isomata, Direktur Divisi Kedua Asia Tenggara, Deplu Jepang.

Kadin Jepang (Nippon Keidanren) juga tak ragu menyimpulkan manfaat positif EPA.

Ekonom tersohor Jepang dari Universitas Waseda, Tokyo, Profesor Shujiro Urata, juga mengatakan, "Setidaknya di dalam jangka panjang EPA akan menguntungkan."

Profesor Urata kebetulan sudah relatif hafal keadaan ekonomi Indonesia dengan segala kekurangannya karena pernah melakukan riset di Indonesia, atas permintaan Presiden Abdurrahman Wahid dengan biaya Japan International Cooperation Agency (JICA).

EPA antara Jepang dan Singapura serta antara Jepang dan Meksiko terbukti telah meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi kedua negara ini dengan Jepang.

Hubungan komplementer

Jangan membayangkan EPA ini akan membuat RI-Jepang dalam posisi yang mirip seperti bertinju satu lawan satu. Ini adalah hal yang mustahil dengan Jepang yang sudah berbicara soal teknologi masa depan, sementara Indonesia masih tersengal-sengal akibat akar krisis multidimensi yang masih membelenggu.

Tidak satu pun pakar di Jepang mengharapkan posisi seperti itu, tetapi memperkuat hubungan komplementer yang sebenarnya sudah terjadi sejak lama. (MON)

No comments: