Friday, August 10, 2007

Pemerintahan di Asia Makin Menjauhi Petani

Pemberantasan Kemiskinan Makin Sulit

MANILA, Kamis - Perjuangan untuk melepas 600 juta warga Asia dari belenggu kemiskinan makin sulit. Pemerintahan di Asia makin menjauh dan makin tidak bermurah hati kepada petani. Asia mengalami tahapan modernisasi yang membuat sejumlah warga makin sibuk luar biasa (hectic). Namun, sebagian rakyat tetap hidup di bawah garis kemiskinan.

Pada tahun 2015, Asia akan menjadi kawasan yang memiliki 42 persen dari total produk domestik bruto (PDB) global. Namun, Asia juga akan tetap menjadi lokasi bagi mayoritas penduduk miskin sedunia dan kebanyakan tinggal di pedesaan.

Demikian diutarakan International Food Policy Research Institute (IFPRI) di Manila, Kamis (9/8). "Kini di Asia makin sulit memberantas kemiskinan," kata Direktur Jenderal IFPRI Joachim von Braun. Dia mengatakan, pemerintahan di Asia makin kurang bermurah hati kepada petani.

Lawrence Greenwood, Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ ADB), mengatakan, jutaan warga Asia telah lepas dari kemiskinan absolut seiring dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. "Namun, kita melihat peningkatan kesenjangan antara warga pedesaan dan perkotaan," katanya.

Wapres ADB itu mengatakan, meningkatkan kemampuan para petani untuk bisa beradaptasi dan berhasil di era globalisasi menjadi salah satu hal terpenting untuk dipikirkan. Masalahnya, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim juga akan makin menggusur warga dari pertanian.

Pernah jadi pendorong

Keijiro Otsuka dari National Graduate Institute for Policy Studies (Jepang) mengatakan, dekade 1970-an merupakan salah satu era keemasan bagi petani. Peningkatan produksi padi dan gandum akibat terobosan teknologi pertanian, diiringi peningkatan pengeluaran negara untuk pendidikan di pedesaan, telah berhasil mendorong kemajuan di pedesaan.

"Meski terjadi penurunan luas lahan karena pertumbuhan penduduk, warga pedesaan bisa lepas dari kemiskinan dengan diversifikasi tanaman dari padi ke nonpadi, peternakan, dan mendapatkan tambahan pendapatan dari sektor di luar pertanian," kata Otsuka. Ia mengatakan itu dengan menelaah data dari pengeluaran warga pedesaan di Filipina, Thailand, Banglades, dan India.

"Pertumbuhan ekonomi pun terjadi dan era itu merupakan yang paling bersejarah dalam konteks kebijakan yang berpihak kepada petani. Hal itu berhasil menurunkan jumlah warga miskin, yang berlangsung selama empat dekade," kata Peter Timmer, seorang pakar asal AS dari Center for Global Development.

Kebijakan yang berpihak kepada petani di era itu telah melahirkan kegiatan ekonomi baru, seperti transportasi, perdagangan, jasa-jasa, dan usaha kerajinan. Juga bermunculan usaha skala menengah dan kecil. Kegiatan ini menyumbangkan sebesar 51 persen dari total pendapatan warga pedesaan.

Bahkan, pangsa sektor pertanian terhadap PDB di Asia Timur turun dari 32 persen pada 1975 menjadi 13 persen pada 2005. IFPRI menunjukkan, pada 1990 ada satu miliar penduduk Asia yang hidup di bawah garis kemiskinan dan sekarang ini menjadi 614 juta.

Nah, ke depan, pengurangan jumlah penduduk miskin di pedesaan itu agak mengkhawatirkan. Asia tidak lagi memiliki kebijakan propedesaan seperti dekade 1970-an.

Penekanan baru

Penekanan kembali pembangunan pada warga pedesaan kini diperlukan. "Pendekatan baru untuk mendorong pertanian dan pedesaan, program sosial, kini dibutuhkan untuk mengangkat mereka yang tertinggal," kata Von Braun.

Von Braun mengatakan, penyerapan tenaga kerja di pedesaan adalah kunci utama mengurangi kemiskinan. Hal itu bisa dicapai lewat inovasi teknologi dan perbaikan kelembagaan.

Misalnya, dibutuhkan teknologi pertanian yang baru untuk menghasilkan sayuran dan buah-buahan yang lebih berkualitas. Dibutuhkan teknologi baru untuk perbaikan produksi di pedesaan, termasuk penciptaan bahan bakar dari bahan baku yang berasal dari sektor pertanian. Jika hal itu terwujud, aktivitas di pedesaan akan meningkat dan melahirkan aktivitas nonpertanian di pedesaan. (AFP/AP/MON)

No comments: