Wednesday, August 8, 2007

Krisis dan Berbagai Bentuk Aliran Uang


Hadi Soesastro

Bulan Juli lalu adalah ulang tahun kesepuluh krisis finansial Asia. Berbagai aspek mengenai hal ini telah didiskusikan di sejumlah negara di Asia. Secara garis besar, semuanya itu bisa diringkas menjadi beberapa pertanyaan mendasar.

Pertama, apa yang telah dipelajari dari pengalaman krisis finansial lalu? Kedua, apakah Asia saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya, khususnya dalam menghadapi kemungkinan krisis finansial berikutnya? Ketiga, apa saja faktor potensial yang dapat memicu gejolak finansial di Asia?

Ketiga pertanyaan ini sangat menarik untuk dibahas. Ide dasar dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah keingintahuan akan kemungkinan kembalinya krisis Asia dengan skala dan cakupan yang serupa dengan sepuluh tahun lalu. Sayangnya, hingga saat ini masih belum ada jawaban yang jelas. Reformasi keuangan sudah dilakukan. Prinsip kehati-hatian (prudential regulations) pun sudah diperketat. Bahkan, beberapa inisiatif pada level regional sudah disepakati oleh beberapa negara guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya gejolak finansial. Salah satunya adalah Chiang Mai Initiative yang bertujuan untuk menggabungkan sumber daya keuangan agar dapat menghalangi, menghadapi, atau mengatasi sebuah krisis finansial.

Ada beberapa argumen yang mengatakan bahwa Asia tidak memetik pelajaran yang tepat dari krisis yang lalu karena negara-negara Asia masih tetap rentan terhadap berbagai gejolak eksternal. Meskipun demikian, gejolak yang potensial dihadapi sekarang ini berbeda sifatnya dengan yang terjadi 10 tahun lalu.

Pembayaran dunia

Ada argumen yang mengatakan bahwa sumber dari gejolak ini adalah ketimpangan dalam sistem pembayaran dunia (global imbalances), yang ditandai dengan terus meningkatnya cadangan devisa di kawasan Asia Timur guna "membiayai" peningkatan konsumsi yang berlebihan (over-consumption) di Amerika Serikat. Ketimpangan ini, jika dibiarkan terus-menerus berlangsung, tentunya tidak sehat, tetapi sampai saat ini belum ada solusi bersama yang diambil untuk menangani masalah ini.

Kekhawatiran lain adalah mengenai besarnya aliran modal yang masuk ke pasar-pasar baru (emerging markets) di Asia Timur. Pada dasarnya dunia saat ini sedang kelebihan likuiditas. Pada tahun 2006, aliran modal swasta ke pasar-pasar baru telah mencapai jumlah terbesar sepanjang masa, yaitu 550 miliar dollar AS. Tahun ini diperkirakan akan berjumlah lebih dari itu.

Aliran modal raksasa ini dapat mengganggu nilai tukar dan manajemen ekonomi dalam negeri. Hal ini bisa kita pelajari dari krisis finansial Asia yang lalu. Kini, sepuluh tahun setelah krisis, Asia kembali menjadi tujuan yang menarik bagi investasi modal, baik modal jangka pendek maupun jangka panjang, dalam bentuk investasi langsung, portofolio, ataupun investasi modal kerja.

Desember lalu, Thailand berusaha membatasi aliran modal raksasa yang masuk ke perekonomiannya, tetapi upaya ini menemui kegagalan. Pada tingkat regional, diskusi mengenai persoalan ini sudah dibahas dalam forum ASEAN dan ASEAN Plus Three, termasuk cara menstabilkan nilai tukar. Akan tetapi, hingga kini belum ada tindakan konkret yang dilakukan.

Pada tingkat global, reformasi sistem keuangan semestinya memiliki elemen-elemen berikut: (a) rumusan tentang cara untuk mengontrol arus modal; (b) pemantauan yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan pengelola aset; (c) lender of the last resort yang dapat diandalkan pada masa krisis; serta (d) pembentukan sebuah cadangan devisa dunia yang dapat mendanai pertumbuhan perdagangan global.

Forum-forum seperti Menteri-menteri Keuangan G7 dan G20 memang sudah membahas hal-hal tersebut, tetapi tidak lebih dari diskusi. Mereka juga sudah memberikan perhatian pada meningkatnya peran hedge funds, tetapi belum dapat bersepakat mengenai perlu tidaknya hedge fund ini diatur dan bagaimana cara mengaturnya. Saat ini setiap negara terpaksa secara sendiri menghadapi volatilitas dari uang panas (hot money), yaitu aliran modal jangka pendek, yang bertujuan mencari keuntungan jangka pendek.

Permasalahan ini sudah mendesak dan perlu segera ditangani, seperti terlihat dari mulai terbentuknya bubble di kawasan Asia Timur akibat meningkatnya harga aset dan ekuitas (dengan persentase peningkatan yang mencapai dua digit). Menjamurnya hedge funds yang melakukan pinjaman secara besar-besaran untuk diinvestasikan guna memaksimalkan keuntungan mereka telah menjadikan kondisi pasar begitu kompleks.

Banyak investor yang meminjam secara murah dalam mata uang yen untuk diinvestasikan di pasar yang memberi hasil lebih tinggi (yen-carry trade). Tingkat suku bunga yang sudah lama cenderung rendah mulai menyebabkan terbentuknya bubble di pasar modal, pasar real estat, pasar komoditas, dan ekuitas privat.

Di Indonesia, bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani sendiri telah menyampaikan peringatan tentang hal ini. Tiap-tiap negara mestinya tidak dibiarkan sendiri saja dalam menghadapi tantangan semacam ini.

Namun, perlu diingat bahwa inisiatif regional hanya mampu menyelesaikan sebagian dari masalah ini. Yang sebenarnya diperlukan adalah sebuah inisiatif global. Akan tetapi, upaya ini membutuhkan kemauan politik pihak-pihak tertentu dan membutuhkan waktu untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu, agenda utama bagi negara seperti Indonesia adalah meningkatkan kehati-hatian dan membangun institusi serta instrumen yang efektif guna menghadapi tantangan ini.

Sebenarnya preposisinya sudah jelas. Indonesia akan terus-menerus menerima aliran modal masuk karena tidak mungkin menutup diri. Oleh karena itu, diperlukan cara untuk meminimalkan risiko melalui pemahaman yang baik mengenai berbagai jenis aliran uang, modal, dan investasi.

Untuk itu, dibutuhkan sebuah lembaga yang secara khusus bertugas mengumpulkan berbagai informasi penting dan berfungsi sebagai pusat informasi dan sosialisasi (clearing house) mengenai jenis-jenis aliran uang beserta pelakunya. Bank Indonesia mungkin merupakan lembaga yang cocok untuk memberikan pelayanan ini, tetapi untuk itu lembaga ini harus benar-benar diberi kebebasan penuh dalam melakukan operasinya.

Permulaan

Sebagai permulaan, mari kita amati tantangan dari hedge funds yang operasinya hingga kini tidak banyak dimengerti publik. Semenjak keterlibatan mereka dalam pasar finansial dunia, hedge funds saat ini telah mencatatkan diri sebagai bagian terpenting dalam berbagai pasar finansial di dunia (baik dalam bentuk ekuitas maupun derivatif), dengan jumlah yang sudah meningkat menjadi sekitar 9.000 lembaga dan mengelola aset yang diperkirakan nilainya mencapai 1,4 triliun dollar AS.

Akan tetapi, peran mereka sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah aset yang mereka kelola karena kekuatan leverage yang mereka miliki.

Gubernur Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) Jean-Claude Trichet mengakui bahwa dia sendiri tidak sepenuhnya mengerti aktivitas para hedge funds itu. Di satu sisi terdapat pandangan yang optimistis mengenai pentingnya peran hedge funds sebagai sumber inovasi sektor finansial dan dalam memperdalam serta meningkatkan likuiditas pasar finansial. Selain itu, mereka mampu memberi tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mutual funds tradisional.

Akan tetapi, di lain pihak terdapat beberapa masalah yang merupakan sumber kekhawatiran. Hedge funds berpotensi untuk turut meningkatkan apa yang disebut risiko sistematis (systemic risk) dan mempertajam volatilitas finansial. Kekhawatiran juga muncul akan adanya kolusi dan manipulasi pasar serta kurangnya transparansi dan perlindungan bagi investor di hedge funds.

Menurut Financial Stability Report tahun 1999, aktivitas hedge fund telah turut memengaruhi volatilitas beberapa pasar Asia di masa krisis, termasuk di antaranya Hongkong dan Malaysia. Mengenai isu systemic risk, Presiden Federal Reserve Bank of New York mengatakan bahwa kekhawatiran utama adalah terpusatnya risiko pada sekelompok inti lembaga-lembaga yang skalanya besar. Selain itu, kekhawatiran lain adalah mengenai perlindungan terhadap investor kecil yang kini banyak diinvestasikan ke dalam hedge funds melalui dana pensiun mereka. Di waktu lalu, investasi pada hedge funds hanya bisa dilakukan oleh investor-investor kaya. Sebagaimana dilaporkan, leveraging yang terjadi pada rantai kredit bisa mencapai 100 kali, yang berarti bahwa dengan investasi riil awal sebesar 10 juta dollar AS saja dapat diciptakan investasi sebesar 1 miliar dollar AS.

Hedge funds dalam skala besar, yang merupakan "industri investasi alternatif", kini makin terlembaga dan mendekati pola manajemen aset pada umumnya, seperti reksa dana dan dana pensiun. Akan tetapi, reksa dana dikenakan aturan main, sedangkan hedge funds sama sekali tidak diatur.

Saat ini G7 cenderung untuk tidak meregulasi hedge funds secara langsung, dan mengandalkan pada disiplin pasar untuk bekerja. Disiplin itu diharapkan terlaksana melalui manajemen risiko oleh rekan bisnis hedge funds tersebut, yaitu para broker (yang telah diatur oleh undang-undang). Peningkatan transparansi dan keterbukaan di pihak hedge funds juga telah lama dikumandangkan. Diperkirakan ada sebesar 26 triliun dollar AS dalam bentuk derivatif kredit yang dikeluarkan dan diperdagangkan oleh para hedge funds. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk dapat mengerti aktivitas serta perkembangan instrumen mereka yang semakin kompleks (derivatif, struktur produk-produk keuangan).

Bagaimana cara Indonesia menjaga dirinya dari para pelaku di sektor finansial ini? Informasi yang baik harus tersedia bagi semua pihak dan dibutuhkan tindakan yang terkoordinasi antara para pelaku (swasta dan pemerintah). Kita ambil contoh kasus sebuah perusahaan di Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), yang mungkin telah menjadi korban dari aktivitas hedge funds tertentu yang dikenal sebagai "vulture fund" atau investor "pemakan bangkai". Pada saat sebagian besar negara telah berhasil menangani krisis finansial 10 tahun yang lalu, APP masih mengalami kesulitan untuk merampungkan restrukturisasi perusahaan pascakrisis akibat ulah sejumlah pemegang saham minoritas.

Kasus restrukturisasi

Telah banyak tulisan yang membahas kasus restrukturisasi perusahaan terbesar yang terjadi di Indonesia. APP yang melakukan ekspansi perusahaan secara besar-besaran terkena dampak krisis keuangan yang memaksa mereka membayar utang sebesar 13 miliar dollar AS di bulan Maret 2001. Kasus ini merupakan salah satu default terbesar dalam sejarah emerging markets. Akan tetapi, APP melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut dan melalui suatu kesepakatan bersama dan pada tahun 2005, sebuah Master Restructuring Agreement (MRA) telah disetujui oleh seluruh anak perusahaan APP dan 93 persen dari para kreditornya.

Akan tetapi, sebuah kelompok minoritas yang dipimpin oleh Oaktree Capital Corp (Chicago) dan Gramercy Advisers (Connecticut) meminta pengembalian hingga 150 persen dari harga pasar, padahal mereka hanya membelinya pada level 10 hingga 20 persen dari harga pasar. Mereka membawa kasus ini untuk dilitigasi, termasuk ke pengadilan Amerika Serikat dan Singapura, tetapi klaim mereka selalu ditolak.

Meski demikian, seperti yang dijelaskan dalam Financial Times (18/2/2007), para vulture funds selalu gigih mempertahankan taktik mereka. Vulture funds membeli utang dengan harga diskon (discounted), kemudian menolak berpartisipasi dalam restrukturisasi di mana nilai dari utang diturunkan (written down) untuk kemudian menuntut pengembalian yang lebih besar.

Dalam buku karangan Hillary Rosenberg, yang berjudul The Vulture Investors (New York: John Wiley & Sons Inc, 2000), vulture investors dikenal sebagai pihak yang menunda reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan demi kepentingan mereka sendiri. Mereka berusaha memperoleh keuntungan lebih dengan menciptakan kericuhan dalam perusahaan-perusahaan yang mereka ambil alih.

Perusahaan dan kreditor lainnya akan melawan mereka sekaligus berusaha berdamai hingga akhirnya membayar sebesar premium pasar hanya untuk menyingkirkan mereka. Pembayaran itu disebut greenmail. Gramercy telah digambarkan oleh media internasional sebagai salah satu vulture fund karena tingkah laku mereka di Ekuador beberapa tahun lalu dan kekacauan yang mereka buat di Argentina yang mengalami masalah kegagalan pembayaran utang publik di tahun 2001.

Vulture funds tidak hanya terlibat dengan utang-utang swasta, tetapi juga dengan utang pemerintah. Banyak kasus belakangan ini dialami oleh berbagai negara, termasuk di antaranya Peru, Kongo, Belize, dan Zambia. Kesemuanya merupakan kasus yang menarik dan melibatkan berbagai vulture fund, seperti Donegal International dan Elliot Associates.

Setiap kasus, meski berbeda, tetap memperlihatkan pola yang mirip. Donegal International menuntut Zambia di London atas utang yang mereka beli seharga kurang dari 4 juta dollar AS untuk pembayaran sebesar 55 juta dollar AS. Hakim akhirnya memutuskan bahwa Zambia wajib membayar sebesar 15,5 juta dollar AS. Hal ini memicu kemarahan dan sejumlah LSM internasional meminta Gordon Brown, Perdana Menteri Inggris yang baru, untuk segera mengubah hukum yang berlaku di Inggris agar kasus Zambia ini tidak terulang lagi di pengadilan Inggris. Isu moralitas pun telah dibawa ke permukaan.

Di lain pihak, Peru juga mengalami kasus yang serupa. Pengadilan di Brussel memenangkan kasus yang dituntut Elliot Associates, untuk pembayaran sebesar 58 juta dollar AS atas utang yang mereka beli seharga 11 juta dollar AS. Peru tidak melakukan banding, tetapi memilih untuk membayar utang tersebut agar dapat segera meminjam lagi dari pasar modal internasional. Akan tetapi, sejak kasus ini, hukum di Belgia telah diubah guna mencegah terjadinya pengulangan pemutusan kasus seperti itu. Selanjutnya, hukum New York juga telah diubah pada tahun 2003 dengan memasukkan "klausul tindakan kolektif" pada surat utang yang memungkinkan kreditor mayoritas menolak upaya penghambatan restrukturisasi oleh kreditor minoritas, seperti yang sedang dilakukan terhadap APP.

Oakland Capital

Business Week (10/9/2001) berpendapat bahwa vulture funds, seperti Oakland Capital, akan selalu menemukan celah untuk melakukan aktivitas mereka. Sebagaimana diusulkan sebelumnya, suatu lembaga khusus di Indonesia harus dapat dibentuk untuk mengamati investor-investor serupa ini.

Pada dasarnya, Indonesia ingin menerima mereka dengan tangan terbuka, tetapi diperlukan informasi mengenai berbagai jenis aliran modal dan uang serta pelakunya. Oakland Capital, misalnya, mereka tidak pernah mau menginvestasikan ke dalam lebih dari 5 persen dana perusahaan agar terhindar dari kewajiban dalam investasi, tetapi ingin memperoleh keuntungan yang maksimum. Mereka sering kali hanya menjadi spoiler, pengganggu. Ada kemungkinan—karena kegagalan Oakland Capital dan Gramercy di beberapa pengadilan dalam hal tuntutan mereka terhadap APP—kini terdapat upaya-upaya untuk mempersulit APP melalui tuduhan dumping di pasar Amerika Serikat. Pemerintah dan berbagai pihak serta lembaga di Indonesia harus memiliki pandangan yang jelas dalam menghadapi berbagai jenis investor ini. Ini adalah hal yang sangat penting yang seharusnya kita pelajari dari pengalaman krisis lalu. Sering kali kita menargetkan investor yang salah.

Ambil contoh kasus Temasek dari Singapura. Mereka adalah investor yang kredibel yang mengerti tentang kepentingan untuk membangun hubungan jangka panjang dengan negara tentangganya. Mereka berinvestasi ke negara tetangga dengan maksud untuk ikut berkontribusi pada pembangunan negara-negara tersebut. Akan tetapi, tetap saja publik salah memahaminya. Temasek, pemilik dua perusahaan yang terpisah, STT dan SingTel, yang berinvestasi di industri telekomunikasi Indonesia, telah dituduh melakukan kolusi dan berbagai hal lain yang sama sekali tidak ada dasarnya.

Kasus ini menunjukkan kemiskinan informasi kita dan dapat berakibat semakin memperburuk citra Indonesia sebagai tujuan investasi. Lebih dari itu, hal ini semakin mengaburkan pandangan kita mengenai jenis-jenis aliran modal dan investor antara yang kita butuhkan dan ingin kita ajak untuk bekerja sama dengan yang sebaiknya tidak kita undang masuk.

Hadi Soesastro Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta

No comments: