Meuthia Ganie-Rochman
Kalangan bisnis telah menyuarakan penolakan dimasukkannya pasal tentang tanggung jawab sosial perusahaan dalam undang-undang PT yang baru.
Kritik yang muncul, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) adalah konsep di mana perusahaan, sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan. Kegiatan itu ada di luar kewajiban perusahaan yang umum dan sudah ditetapkan dalam hukum formal, seperti ketertiban usaha, pajak atas keuntungan, dan standar lingkungan.
Mereka berpendapat, jika diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru kepada perusahaan. Apalagi jika keharusan itu ditetapkan di Indonesia yang dikenal hukumnya tidak pasti dan pejabat publiknya korup.
Kalangan bisnis meramalkan jika CSR diwajibkan, para investor akan semakin enggan melakukan bisnis di Indonesia.
CSR bisa diatur?
Seberapa jauh CSR dapat diatur atau tidak? Sebenarnya tidak ada jawaban hitam-putih tentang hal ini. Sejarah CSR sendiri menunjukkan hal ini. Beberapa peraturan yang diberlakukan di negara lain, seperti standar lingkungan dan hubungan perburuhan, sebagian merupakan gagasan yang semula dijalankan sebagai CSR. Dengan aneka pertimbangan obyektif dan desakan lain, kemudian gagasan diregulasi.
Namun, adalah salah mengatur CSR dengan menganggapnya sebagai satu konsep. Bahkan di negara-negara maju di Eropa, CSR adalah konsep yang terus berkembang, baik pendekatan, elemen, maupun penerapannya. Negara-negara ini dan badan-badan internasional tak satu pun yang mewajibkan CSR. Mewajibkan CSR adalah tindakan ceroboh.
Dinilai ceroboh karena CSR sebenarnya merupakan proses interaksi sosial antara perusahaan dan masyarakatnya. Ini adalah proses interaksi tentang gagasan kewajiban perusahaan. Perusahaan melakukan CSR bisa karena tuntutan komunitas atau karena pertimbangannya sendiri. Bidangnya pun amat banyak dan ada pada kondisi berbeda-beda. Oleh karena itu, mengatur CSR adalah memaksakan sesuatu yang tidak jelas apa dan bagaimana masing-masing memiliki kondisi institusional, organisasional, dan materialnya.
Terbuka dan akuntabel
Pengaturan elemennya secara prinsip, mungkin. Namun, prosesnya harus memenuhi pembuatan peraturan yang terbuka dan akuntabel.
Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum. Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha, kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana.
Semua proses ini tidak mudah. Itu sebabnya di negara-negara Eropa yang secara institusional jauh lebih matang daripada Indonesia, proses regulasi yang menyangkut kewajiban perusahaan berjalan lama dan hati-hati. European Union sebagai kumpulan negara yang paling menaruh perhatian terhadap CSR, tahun 2003 menyatakan, CSR bukan sesuatu yang akan diatur.
Persoalan kedua, seberapa jauh CSR berdampak positif bagi masyarakat, amat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial.
Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten.
Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain. Peran terakhir ini amat diperlukan, terutama di daerah. Semacam perubahan orientasi dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah juga diperlukan.
Dengan demikian, sungguh banyak peran yang lebih tepat bagi pemerintah daripada mengambil tindakan mengambil uang dari pelaku usaha. Tindakan ini mungkin populer, tetapi akibatnya bisa amat merugikan.
Meuthia Ganie-Rochman Sosiolog dari Universitas Indonesia
No comments:
Post a Comment