Itulah kesimpulan kita dari polemik tak langsung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah hari-hari belakangan ini.
Polemik itu tentang tersimpannya anggaran pemerintah daerah di bank pembangunan daerah dan kemudian diparkir lagi dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Meski latar belakang dan alasannya memang kompleksnya, ujungnya bermuara pada kurangnya realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hari Kamis 23 Agustus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara di depan sidang Dewan Perwakilan Daerah. Presiden di antaranya menyinggung soal tersimpannya anggaran daerah sampai Rp 90 triliun di bank-bank. Hal itu dinilai Presiden sebagai ironi karena seharusnya dana itu digunakan untuk mendorong pembangunan di daerah-daerah. Sekarang, dengan disimpannya dana tersebut dalam bentuk SBI, negara harus membayar lagi bunganya yang tidak kecil.
Pada kesempatan itu Kepala Negara juga mengingatkan perihal maraknya pemekaran daerah.
Dua teguran itu sangat kena. Pemekaran daerah baru memberi kesan seperti wabah dan bernuansa ikut-ikutan tanpa pertimbangan menyeluruh yang bijak sehingga ada kesan Indonesia sebagai negara yang sekadar dikapling-kapling. Jika dibiarkan berlarut, jangan-jangan hal itu berdampak negatif terhadap kekokohan negara.
Kita harus cerdas, bijak, dan menangkap jati diri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi tidak sama dengan pengaplingan. Terhadap masukan Presiden, beberapa hari kemudian daerah menanggapinya, di antaranya dari Ketua Umum Badan Kerja Sama Kabupaten Seluruh Indonesia Azikin Solthan. Beberapa sebab merupakan latar belakang keadaan itu, misalnya pemda tidak mudah memperoleh persetujuan DPRD. Juga maraknya ketakutan pejabat daerah untuk bertindak sebagai penanggung jawab proyek. Pejabat lain berargumen dana yang disimpan di bank cepat bisa dicairkan manakala diperlukan.
Terlepas dari hadirnya kontra argumen, kita berpendapat persoalan yang dilontarkan Presiden perlu mendapatkan perhatian kita. Latar belakang permasalahan, kita maklum sebutlah masa peralihan dari sentralisme ke otonomi daerah. Namun, janganlah hal itu kita jadikan dalih untuk membenarkan hal yang tak wajar dan menghambat tujuan otonomi itu. Tujuannya jelas ialah semakin memacu pembangunan di daerah, mendekatkan pemerintah dengan rakyat dan semakin mempercepat kesejahteraan rakyat. Tujuan politiknya, agar dalam otonomi itu, NKRI justru semakin kokoh karena semakin nyata "pengayomannya".
Secara umum masuk akal sekadar membuat "yang baru" itu menarik dan mudah. Memberi makna dan isi yang nyata lebih memerlukan kerja keras dan realisasi konkret. Politik sebagai wacana amat kita pahami dan kita gemari. Politik yang sekaligus realisasi dan pengabdian belum sepenuhnya kita sadari, apalagi kita laksanakan. Dapat dimengerti memang desentralisasi disertai permasalahan. Justru di situ letak tantangan kita. Permasalahan bukan sekadar diwacanakan, tetapi diselesaikan. Memang juga kita perlukan kecerdasan yang bijak. Kebijakan yang ujiannya terletak pada realisasi. Rakyat semakin maju dan makmur.
***
Berilah Kesempatan kepada Maliki
Sangat wajar dan masuk akal kalau Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki tersinggung oleh pernyataan sejumlah pemimpin negara Barat.
Ia dituding sebagai sumber ketidakstabilan Irak dan dianggap tak mampu mengatasi konflik sektarian. Kalau mau jujur, sumber kekacauan Irak saat ini adalah AS dan negara-negara koalisinya yang bersama-sama menginvasi Irak dan menyingkirkan Saddam Hussein.
Washington berharap dengan tumbangnya Saddam Hussein akan dapat dibangun sebuah negara demokratis di Irak dan dari sana akan meluas ke seluruh kawasan. Irak ibarat "dian menyala yang diletakkan di atas bukit" dan bias sinarnya menerangi seluruh kawasan.
Akan tetapi, hampir lima tahun setelah Saddam dijatuhkan, Irak tidak seperti yang diharapkan AS dan negara-negara pendukung invasinya. Irak justru lebih buruk dalam segala segi. Apa yang disebut "perang saudara" sulit sekali untuk ditutup-tutupi.
Apakah itu semata-mata kesalahan para pemimpin Irak, semisal Nouri al-Maliki? Bukan! Persoalan bermula dari invasi militer AS, karena itu AS pun sudah sewajarnya harus bertanggung jawab.
Bertanggung jawab tidak berarti lantas memaksakan kehendaknya. Irak adalah negara merdeka dan berdaulat. Karena itu, sikap-sikap atau pernyataan yang bernada merendahkan Irak, atau menganggap Irak tak berdaya tanpa campur tangan negara-negara Barat, tidak membantu dalam usaha memulihkan keadaan.
Yang bisa menyelesaikan masalah Irak adalah rakyat Irak sendiri; bukan Washington, Paris, bukan pula London, tetapi Baghdad! Nasib Irak di tangan rakyat Irak.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya kalau semua pihak memberikan kesempatan atau mendukung upaya-upaya yang dilakukan pemerintahan Maliki untuk membangun rekonsiliasi nasional, bukan justru sebaliknya.
Maliki dan para pemimpin Irak tentu sama sekali tidak mengharapkan bahwa situasi dan kondisi Irak menjadi semakin buruk atau bahkan hancur. Mereka berharap "perang saudara" segera dapat diatasi, dan segera tumbuh sikap saling percaya di antara sesama warga negara serta terbangun toleransi.
Membangun rekonsiliasi nasional adalah tugas pertama dan utama yang harus dijalankan semua komponen masyarakat Irak saat ini. Rekonsiliasi nasional hanya bisa berjalan apabila ada saling percaya di antara sesama warga negara dan adanya toleransi, serta mendapat dukungan masyarakat internasional.
No comments:
Post a Comment