Risiko Tinggi, Berbagi Lewat Sindikasi
Memulihkan fungsi intermediasi perbankan memang bukan perkara gampang. Meski suku bunga terus turun dan berbagai paket kebijakan kian mendukung, duit masyarakat yang belum tersalurkan masih segunung. Apa problemnya?
------------
Mengembalikan fungsi intermediasi memang menjadi problem pelik perbankan di Indonesia. Meski punya likuiditas melimpah, perbankan seakan masih ragu menyalurkan dananya. Ya, sejak didera krisis finansial medio 1997, perbankan memang terkesan trauma. Bank lebih senang menanamkan dananya dalam instrumen yang aman. Seperti Surat Utang Negara (SUN), atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Lihat saja, dana nganggur di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus membubung. Hingga April 2007, dana di SBI mencapai Rp 202 triliun. Investor asing mengambil porsi kurang lebih USD 3,96 miliar (sekitar Rp 35,64 triliun). Sisanya adalah dana bank umum dan bank daerah.
Kontan, hal itu membuat petinggi negeri ini geregetan. Maklum, saat dunia usaha membutuhkan duit untuk meningkatkan aktivitas perekonomian, perbankan justru ongkang-ongkang menempatkan dananya di instrumen yang aman. Wapres Jusuf Kalla bahkan menyebut perbankan yang mencari keuntungan di SBI sebagai perampok uang negara.
Bagaimana tidak. Dengan bunga SBI 8 persen, perbankan sudah mendapat spread 3-4 persen dengan asumsi bunga tabungan dan deposito rata-rata 4-5 persen. Tanpa kerja keras, perbankan sudah mendapat untung yang berlimpah dan "bebas risiko".
Ketua Perbanas Sigit Pramono mengatakan, perbankan sebenarnya tak menginginkan dana di SBI menggelembung. Yang justru terjadi adalah kesenjangan antara ekspansi kredit dengan derasnya dana masyarakat yang masuk. Akibat kelebihan likuiditas tersebut, perbankan membutuhkan wadah. "Daripada nganggur, akhirnya ditempatkan di SBI. Jika sektor riil mulai bergerak, jumlah dana di SBI akan berkurang bertahap," katanya.
Senada dengan Sigit, Komisaris Independen Bank Bukopin Sutrisno Iwantono mengemukakan, kebijakan perbankan itu tidak bisa sepenuhnya disalahkan. "Sebab, risiko di sektor riil masih tinggi. Itu seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk meyakinkan kalangan perbankan," ujarnya.
Diakui atau tidak, pernyataan kedua petinggi bank tersebut ada benarnya. Itu terlihat dari tingginya un-disbursed loan (kredit tak terserap) yang dirilis sejumlah bank. Data BI per Maret 2007 menunjukkan undisbursed loan mencapai 20 persen dari total penyaluran kredit atau setara Rp 165 triliun. Sebagian besar adalah kredit modal kerja. Angka itu menunjukkan bahwa pengucuran kredit bukan masalah mau atau tidak mau, tapi lebih karena tidak bisa.
Kalangan pengusaha sebenarnya sadar betul bahwa kondisi sektor masih perlu banyak perbaikan. Sekjen Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengemukakan problem yang belum diselesaikan pemerintah terutama menyangkut reformasi birokrasi. "Masalah itu menjadi hambatan bagi pengusaha ketika bunga kredit sudah turun," katanya.
Menurut Djimanto, perbaikan layanan birokrasi sangat penting. Sebab, hal itu merupakan lokomotif yang mendorong sendi-sendi kehidupan masyarakat. Selain reformasi birokrasi, beberapa problem utama harus diselesaikan pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian. Di antaranya, menyangkut regulasi ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) yang belum diselesaikan.
Kemudian, harmonisasi peraturan pusat dan provinsi daerah, serta konsep perizinan investasi one stop service yang sempat digagas BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Ketua Umum Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Sandiaga S. Uno menilai kalangan perbankan harus menyesuaikan produk-produk kreditnya, sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
"Khusus untuk pengusaha kecil menengah yang kesulitan agunan, perbankan bisa melakukan terobosan dengan menggandeng pihak ketiga sebagai penjamin. Model skim kredit yang inovatif juga harus dikembangkan," ungkapnya.
Direktur Eksekutif LPM (Lembaga Pusat Manajemen) FE-UI Chatib Basri menilai pemerintah bisa memperbaiki risiko sektor riil dengan memperbaiki iklim investasi. Langkah konkret lain yang bisa dilakukan Bank Indonesia adalah mengefektifkan kredit biro. "Itu seperti penerbit kartu kredit yang memiliki daftar bagi mereka yang tidak membayar. Kredit biro bisa dijadikan rekomendasi bagi kalangan perbankan karena disitu terdapat track record pengusaha yang mendapatkan kredit," tegasnya.
Menghadapi beragam persoalan tersebut, bukan berarti perbankan tinggal diam. Berbagai langkah sebenarnya diupayakan. Bank BUMN misalnya, giat mengucurkan kredit sektor infrastruktur seperti Bank Mandiri, BNI dan BRI. Strategi lainnya dilakukan bank swasta dengan fokus menggarap segmen-segmen penting. Di antaranya, BII yang menargetkan pertumbuhan kredit 25 persen tahun ini. Angka itu di atas target kredit rata-rata perbankan nasional yang ditetapkan 18 persen.
Direktur BII Sukatmo Padmosusastro menyatakan, pihaknya telah menetapkan 13 kota yang dijadikan sentra-sentra UKM. Dengan demikian, diharapkan alokasi kredit yang disalurkan ke sektor UKM semakin meningkat. Di sisi proses dan layanan berbagai langkah juga dilakukan. Di antaranya dengan mempercepat proses persetujuan kredit. "Untuk kredit di bawah Rp 5 miliar, prosedurnya di bawah lima hari," kata Sukatmo.
Selain itu, BII juga membidik beberapa sektor utama. Antara lain perdagangan, ritel, transportasi, serta properti. "Upaya BI menciptakan environtment dengan terus mengoreksi BI Rate menjadi faktor pendukung perbankan untuk memacu penyaluran kreditnya," jelasnya.
Solusi lain yang dinilai efektif mendongkrak penyaluran kredit adalah mengucurkan kredit berskala besar. "Untuk meningkatkan LDR (loan to deposit ratio) secara cepat, bisa dengan membiayai proyek infrastruktur pemerintah dengan mekanisme sindikasi untuk membagi risiko," ujar ekonom Indef Aviliani.
Problemnya, tidak banyak perusahaan skala besar baru yang tumbuh. Banyak perusahaan yang utilitasnya tidak optimal karena ada kesenjangan antara kapasitas terpasang dengan terpakai. "Itu harus diantisipasi oleh pemerintah dengan memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal bagi perusahaan-perusahaan besar," bebernya.
Sektor-sektor usaha yang banyak diminati, antara lain agrobisnis, telekomunikasi, jalan tol, serta migas. Sedangkan yang kerap dikatakan sunset industry adalah sektor tekstil, garmen, dan properti. "Contohnya untuk sektor tekstil dan produk tekstil. Kendala yang dihadapi industri harus dicarikan solusi oleh pemerintah," lanjutnya.
Tindak lanjut kalangan perbankan itu diamini wakil rakyat. Anggota DPR Komisi XI Ade Komaruddin mengakui mulai terjadi pergeseran di kalangan perbankan untuk ikut memikirkan pembangunan. "Kalau dana-dana masyarakat yang disimpan di bank hanya ditempatkan di SBI, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi sangat kecil. Itu justru membebani BI dengan beban moneter yang cukup tinggi," ungkapnya. (iwan ungsi)
No comments:
Post a Comment