Monday, August 13, 2007

Gejolak Finansial

A Prasetyantoko

Sejak krisis hebat, terutama sejak 10 tahun terakhir, kehidupan kita lebih banyak ditentukan dinamika sektor finansial ketimbang sektor riil.

Hegemoni sektor finansial kian merasuk ekonomi kita. Fluktuasi ekonomi tak lagi ditentukan oleh kegiatan produksi riil, tetapi oleh gejolak sektor finansial. Rasanya, ekonomi telah bermetamorfosis menjadi entitas semu, akibat proses "finansiarisasi".

Hari-hari ini kita disibukkan oleh melorotnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah yang menembus level terendah dalam setahun ini.

Keguncangan pasar finansial (saham, obligasi, dan valuta asing) dalam negeri merupakan dampak krisis di bursa saham AS yang disebabkan krisis kredit perumahan dengan kualitas rendah (subprime mortgage).

Penyebab

Sudah banyak analisis teknikal menjelaskan mengapa pasar finansial kita rontok, sekaligus prediksi ke depan. Namun, kita masih miskin analisis yang mendasar, misalnya, mengapa terjadi finansiarisasi ekonomi.

Tulisan Martin PH Panggabean dan Ade Prima RB (Kompas, 31/7/2007 ) menjelaskan dengan baik betapa produk saham dan valuta asing yang diperdagangkan di bursa kita dihargai terlalu mahal (overvalued). Maka, logis jika terjadi penyesuaian. Kali ini, penyesuaian dipicu perilaku investor di bursa saham AS.

Ada dua hal menarik dari analisis itu. Pertama, jurang kian lebar antara "nilai fundamental" dan "nilai pasar". Kedua, gejolak pasar selalu dipicu dua enigma, sentimen pasar (psikologis) dan faktor likuiditas (modal).

Tentang mengapa pasar di negara berkembang lebih menarik, sudah menjadi masalah klasik. Robert E Lucas, pemenang Nobel Ekonomi 1995, mengajukan tesis "paradoks kapital": kapital beranak pinak di negara berkembang, tetapi akan segera mengalir kembali ke negara maju.

Di negara berkembang upah buruh lebih murah sehingga keuntungan membiakkan modal lebih besar. Namun, karena kepastian hukum rendah, modal akan segera kembali ke negara maju, begitu menghasilkan keuntungan. Dalam sistem hegemoni finansial, perpindahan modal makin cepat terjadi sehingga volatilitas gejolak makin tinggi.

Lalu, kapan sektor finansial menjadi dominan? Hingga sebelum krisis finansial di AS tahun 1929, ekonomi global sudah mengarah ke ekonomi liberal. Namun, krisis 1929 (malaise) telah mengubah pendulum ekonomi menuju "kompromi Keynesian". Artinya, pada masa itu dalil yang diakui paling ampuh memecahkan masalah ekonomi adalah menggunakan berbagai intervensi negara.

Titik balik kembali terjadi saat negara-negara mengalami krisis, dipicu krisis minyak pada 1970-1980-an. Saat itu ekonomi bergerak ke arah ekonomi "neo-liberal". Di era inilah pasar finansial berkembang, eksistensinya mendominasi dinamika ekonomi seperti sekarang.

Tentang dominasi sistem finansial dalam ekonomi dunia, sudah banyak kekhawatiran muncul. Jika hampir semua ekonom sepaham soal liberalisasi perdagangan, isu liberalisasi finansial sebagai bagian hegemoni finansial global terus menjadi perdebatan sengit hingga kini.

Paul O’Neill, treasury secretary AS di bawah Bush senior, menilai para spekulan di bursa saham justru akan merugikan dinamika ekonomi. Joseph Stiglitz dikenal sikapnya yang kritis terhadap liberalisasi finansial di negara berkembang.

Bahkan Jagdish Bhagwati, pembela globalisasi, tampak ragu memberi legitimasi pada liberalisasi finansial. Begitu pula George Soros, yang jelas mendapat keuntungan dari sistem finansial liberal.

Intervensi

Sering dikatakan, berbagai krisis dan gejolak telah mengundang negara untuk merumuskan kembali intervensinya pada dinamika ekonomi. Intervensi seperti apa yang dibutuhkan untuk mengendalikan gejolak finansial global dewasa ini? Lagi-lagi, analisis teknikal sudah banyak disajikan. Katakan saja, guna mengurangi risiko pelarian modal ke luar negeri, Bank Indonesia diharapkan tetap mempertahankan suku bunga 8,25 persen.

Selebihnya, apa yang bisa dilakukan? Tampaknya, kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena hanya korban dari konstelasi hegemoni finansial global. Mungkin benar, sebagai bangsa, hegemoni finansial global merupakan realita, bukan pilihan. Apalagi bagi penganut paham yang menganggap mekanisme pasar sebagai satu-satunya cara terbaik memecahkan segala macam masalah.

Meski demikian, sebenarnya, kita bisa "menghidupkan" berbagai bentuk intervensi, bukan dalam pengertian memberi kesempatan bagi pemburu rente, tetapi sebagai bagian dari cara membangun sistem agar disiplin pasar bisa ditegakkan.

Dalam konteks gejolak finansial global ini, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, menerapkan prinsip intervensi sebagai instrumen ex ante (sebelum kejadian), bukan ex post (setelah). Mengenai bentuk konkretnya, kita masih butuh diskusi lebih mendalam. Kedua, menguatkan kerja sama regional untuk bersama-sama "melawan" tekanan global.

A Prasetyantoko Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta; Sedang Menyelesaikan Program Doktoral di ENS-Lsh, Perancis

No comments: