BUDIARTO DANUJAYA
Para saudagar kita kebanyakan masih hidup dalam alam pemikiran kapitalisme pertengahan abad lalu. Investasi publik bukan persoalan bagi mereka.
Tidak heran saat bicara tanggung jawab sosial perusahaan, mereka pura-pura gandrung mekanisme pasar sejati, mereka menyergah "tak lazim", "ekstra pajak", "pemerintah mengalihkan tanggung jawab", dan "kerikil dalam iklim investasi" (Kompas, 21/7 dan 22/7). Jelas jejak-jejak frasa masyhur Milton Friedman bahwa "tanggung jawab sosial bisnis adalah meningkatkan labanya" (M Friedman, 1986).
Kalau sudah perkara "bahaya" untuk iklim investasi, pemerintah tentu gentar dan akan mundur teratur. Inilah nasib rancangan pewajiban corporate social responsibility (CSR) pada Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru saja disetujui DPR untuk disahkan.
Dari wajib menjadi semisukarela, dari bagian laba bersih menjadi komponen biaya, bahkan diusulkan agar dikompensasi potongan pajak. Dengan kata lain, maunya dari kewajiban korporasi relatif menjadi kewajiban negara.
Ironisnya, kecenderungan ini diutarakan belum satu dasawarsa setelah krisis moneter melanda kita, ketika para konglomerat merengek-rengek minta tolong pemerintah untuk mengatasi krisis finansial mereka lewat kucuran dana BLBI.
Meminta pertolongan pemerintah sebagai perwujudan simbolik kuasa publik untuk mengambil alih tanggung jawab yang terbukti meninggalkan kerugian ratusan triliun rupiah pada kepemilikan publik.
Demitologisasi keterwakilan publik
Milton Friedman memang pernah berkata, penghamburan dana untuk proyek komunitas yang tak punya manfaat kehumasan untuk meningkatkan bisnis tak ubahya pencurian dari para pemegang saham. Namun, paradigma berpikir semacam itu sudah kadaluwarsa.
Dalam perkara CSR, kini orang berbicara mengenai tanggung jawab para pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan bukan sekadar para pemegang saham (stockholders).
Dalam hal ini, para pihak yang berkepentingan dari sebuah perusahaan adalah "semua yang dipengaruhi serta punya hak dan ekspektasi yang sah sehubungan dengan kegiatan perusahaan, termasuk pegawai, konsumen, penyuplai, masyarakat sekitar, bahkan masyarakat lebih luas" (RC Solomon, 1993).
Legitimasi perluasan tuntutan tanggung jawab sosial ini akan menjadi lebih mudah dipahami jika kita melakukan perubahan paradigmatis dalam meninjau kembali komponen "publik" dalam sebuah status kepemilikan. Misalnya, dalam perkara usaha yang menyangkut "kepemilikan" negara, seperti pada pengusahaan sumber daya alam, terlebih lagi yang bersifat tak tergantikan seperti pada pertambangan. Keterwakilan kepemilikan publik pada aset alami itu seakan selesai dengan kesepakatan legal berupa izin dari pemerintah.
Padahal, mitos kepemilikan legal itu mengabaikan jarak konstitutif antara pemerintah sebagai kuasa simbolik kepemilikan publik dan rakyat sebagai entitas pengemban sejati kepemilikan publik tersebut.
Kiranya demitologisasi legalitas formal keterwakilan publik inilah logika di balik seruan mantan Ketua MPR Amien Rais agar Indonesia mengikuti jejak kesuksesan Bolivia menuntut perundingan ulang kontrak-kontrak karya pertambangan energi.
Asas krusialnya, kalau dalam kesepakatan itu pemerintah betapapun legal terbukti tak adil, dalam arti merugikan masyarakat luas, atas nama rakyat sebagai entitas kepemilikan publik sejati selalu terbuka kemungkinan menuntut perundingan kembali agar kesepakatan yang lebih adil tercapai.
Disinvestasi publik
Yang mengkhawatirkan jika keengganan memenuhi CSR itu merupakan bagian kronisnya gejala lingkaran setan disinvestasi publik. Defisit investasi publik tak tertanggulangi karena pemerintah kekurangan anggaran, sementara kaum kaya tak berminat membantu meningkatkan kualitas hidup sesama warga yang tercecer, baik lewat peningkatan pajak maupun program tanggung jawab sosial semacam CSR karena sirnanya rasa kesenasiban (M Sandel, 1996).
Disinvestasi publik menghancurkan rasa kesesamaan karena musnahnya kesempatan berbagi identifikasi. Enggan dengan ruang publik yang buruk akibat minus dana, kaum kaya membangun sendiri ruang aktivitas yang eksklusif, mulai klub kesehatan, olahraga, dan wisata terbatas pemegang kartu anggota, sekolah, sampai perumahan mewah berpenjagaan ketat.
Ruang publik lalu semakin diabaikan karena hanya menjadi ajang kegiatan kaum miskin, yang kerap sekaligus berarti kurang penuntut karena lemahnya kesadaran akan hak.
Disparitas kekayaan yang tajam dan tak terkendali melelehkan perekat sosial yang fundamental bagi demokrasi. Masalahnya, semakin kecil kesempatan masyarakat dari segenap kelas sosial dan latar belakang bisa bertemu dan saling belajar, semakin kecil pula kesempatan untuk membangun pemahaman akan kesenasiban sebagai komunitas serta kesesamaan dalam identitas kewarganegaraan.
Jelas, bukan saja pewajiban CSR itu sah, tetapi kompromi berlebihannya juga menghilangkan kesempatan penting dalam upaya merangsang investasi publik. Ini merupakan bagian penting kewajiban negara, baik demi penyelenggaraan keadilan distributif bagi segenap warganya, maupun dalam merawat perekat kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.
Dampak insentif atau disinsentif bagi pelaku usaha sekadar merupakan aspek pragmatis sebuah kebijakan, sementara memenuhi rasa keadilan segenap pihak yang berkepentingan merupakan aspek konstitutif kehadiran setiap kebijakan. Kegagalan memenuhinya bisa merangsang perwujudan tuntutan yang lebih memusingkan, baik dalam tuntutan legal komunitas pada penyertaan kepemilikan seperti pada kasus semen Padang, maupun dalam wujud lebih eksplosif seperti pembangkangan komunitas dengan kekerasan seperti di Freeport, Tembagapura.
Jelas, rasa terabaikan bahkan dizalimi pada perkara keadilan dalam keterwakilan publik semacam ini bukan khas Bolivia. Dalam pengertian inilah CSR seharusnya dilihat sebagai kesempatan, bukan beban.
No comments:
Post a Comment