Wednesday, August 8, 2007

Tanggung Jawab Sosial Korporasi


Paul Rahmat

Melalui UU Perseroan Terbatas, dunia usaha wajib mencadangkan sebagian keuntungan untuk program sosial dan lingkungan (corporate social responsibility atau CSR).

Atas kebijakan itu, asosiasi pebisnis Indonesia, seperti IBL dan Kadin, menyatakan keberatan karena CSR bersifat sukarela, dan tidak seharusnya menjadi "tanggung jawab yang mewajibkan" (obligatory responsibility) bagi korporasi (Jakarta Post, 17 Juli).

Paradigma baru

CSR merupakan sebuah paradigma baru atau gerakan "Gelombang Hijau" (Green Wave), menempatkan pembangunan sosial dan lingkungan sebagai strategi utama bisnis guna mendapat profit dan benefit. (Daniel C Esty dan Andrew S Winston, Green to Gold, 2006).

Sejumlah perusahaan cerdas (smart companies) bisa menggunakan lensa sosial dan lingkungan untuk meningkatkan daya inovatif, menciptakan standar etik dan mendorong keunggulan kompetitif. Sejumlah perusahaan multinasional, seperti British Petroleum (BP), Toyota, GE, dan IKEA, sedang menjalankan pendekatan keunggulan ekologis (eco-advantage) dan meraih sukses bisnis yang besar.

Setengah hati

Global compact yang diprakarsai mantan Sekjen PBB Kofi Anan memang bersifat sukarela. Inisiatif ini bukan mekanisme hukum yang memaksa dan menilai perilaku atau praksis korporasi, tetapi lebih merupakan kesadaran dan aksi kolektif masyarakat global untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan transparansi perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial, terkait isu HAM, standar kerja, konservasi lingkungan, dan pemberantasan korupsi.

Banyak pengalaman menunjukkan, program CSR yang bersifat sukarela tidak berjalan baik, bahkan gagal. Hannah Griffhs mengklaim, banyak perusahaan yang mengabaikan program CSR. Di Inggris, misalnya, dari 350 perusahaan besar yang tergabung dalam the Financial Times Stock Exchange’s (FTSE’s), hanya 79 perusahaan yang membuat laporan tentang dampak sosial dan lingkungan dari praktik bisnisnya. Juga, dari 61.000 perusahaan transnasional (TNCs) dan 900.000 perusahaan yang berafiliasi dengan TNCs, hanya 2.000 (3,2 persen) mempunyai laporan tentang dampak sosial dan lingkungan (H Griffhs, Human and Enviromental Rights: The Need for Corporate Accountability, 2005).

Gambaran ini menunjukkan, sebagian besar perusahaan nasional dan TNCs masih setengah hati, bahkan gagal menjalankan program CSR-nya secara sukarela. Pendekatan voluntaristik atas program CSR tidak efektif.

Akuntabilitas korporasi

Agar bisa berjalan, CSR perlu diperkuat dengan peraturan yang mendorong perusahaan bisnis untuk serius menjalankannya. Kewajiban korporasi melaksanakan CSR merupakan bentuk public accountability secara legal ataupun etik. Perusahaan yang mempunyai standar berbisnis tinggi akan menyambut dan mendukung regulasi itu. Pada sisi lain regulasi itu akan lebih mendorong korporasi mencapai standar berbisnis ke level lebih tinggi.

Praksis berbisnis, yang benar (do the right thing) berdasarkan keunggulan kompetitif, telah menjadi mind-set komunitas internasional. Komisi Transportasi Uni Eropa (UE), misalnya, melarang warga UE untuk memakai maskapai penerbangan RI karena tidak memenuhi standar penerbangan yang mereka tetapkan. Begitu pula, UE melarang konsumen Eropa membeli produk makanan AS berlabel GM.

Perusahaan nasional dan transnasional yang beroperasi di Indonesia tidak bisa mengelak dari tanggung jawab sosial dan lingkungannya karena itu telah menjadi gerakan, mind-set, komitmen, dan standar komunitas internasional.

Memang, negeri ini masih memerlukan banyak investor untuk meningkatkan perekonomian di tengah krisis yang masih berlanjut. Namun, yang diperlukan ialah investor-investor dan korporasi yang menjalankan kegiatan bisnis mereka secara benar berdasarkan keunggulan kompetitif, inovatif, ramah lingkungan sosial dan alam.

Praktik bisnis seperti itu tidak hanya mendatangkan keuntungan sepihak bagi perusahaan dan shareholder mereka, tetapi membawa benefit lebih besar bagi semua stakeholder, termasuk berbagai komunitas lokal yang mengalami dampak sosial, ekonomi, kultur, dan lingkungan secara langsung dari kebijakan dan praksis bisnis korporasi.

Paul Rahmat Magang di VIVAT Internasional, New York

No comments: