fuad bawazir
RUU Perseroan Terbatas (PT) yang disetujui DPR Jumat 20 Juli 2007 menyisakan ganjalan corporate social responsibility (CSR) khususnya bagi pengusaha. CSR yang dimuat dalam pasal 74 RUU PT itu mengatur perseroan yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan biaya yang dianggarkan tahunan, terlepas apakah perseroan itu untung atau rugi.
Pengaturan lebih jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana CSR itu harus direncanakan, dianggarkan dan dilaksanakan serta siapa yang mengawasi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Setelah gagal mencegah masuknya CSR ke dalam RUU Perseroan, kini kecemasan pengusaha tergantung kearifan PP. Thus, pemerintah perlu berhati-hati dan mature dalam membuat PP tentang CSR karena memang banyak hal yang perlu diantisipasi dan diperhatikan.
Dengan adanya CSR ini, pengusaha selain harus menjadi wajib pajak, pengusaha sumber daya alam juga menjadi wajib CSR. Bukan tak mungkin lahirnya CSR di Indonesia sebagai kompensasi menutupi kegagalan penyelenggara negara yang konon didominasi birokrat dan politisi korup dalam menjaga lingkungan, dengan seolah-olah menyalahkan karena ketiadaan CSR dalam undang-undang. Pengusaha juga mengkhawatirkan ketentuan CSR itu akan semakin menambah high cost economy, menjauhkan investor, membuka ruang baru untuk KKN dan pemerasan, atau dijadikan tempat melempar tanggung jawab pemerintah atau mencari kambing hitam atas kerusakan lingkungan. Pengusaha sudah membayangkan kesulitan (atau trauma?) dengan Pemda atau LSM yang mengatasnamakan masyarakat yang akan menuntut bola liar dana CSR dan sebagainya.
Banyak juga yang berpendapat bahwa urusan sosial dan lingkungan sebenarnya sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetapi belum sungguh-sungguh dan jujur dikawal pelaksanaannya. Mestinya dilaksanakan saja dulu ketentuan-ketentuan wajib yang sudah ada dalam hal lingkungan, daripada membuat ketentuan baru yang serba tidak jelas dan kabur definisi atau pengertiannya sehingga mau tidak mau DPR menyerahkan blanko kosong kepada pemerintah untuk menuangkan rincian tentang CSR ke dalam PP. Kekhawatiran juga muncul karena hal yang sepenting CSR ini awalnya tidak ada dalam draft RUU PT yang dikirim pemerintah ke DPR, sehingga tidak benar-benar dipersiapkan dengan seksama dan tanpa pembahasan atau public hearing dengan pengusaha sumber daya alam. Konon CSR muncul dari spontanitas para politisi di Senayan sehingga ada gurauan CSR adalah Cuma Slogan & Rekayasa. Lagi pula karena CSR ini dimuat di RUU PT, bagaimana kalau yang bergerak dibidang usaha sumber daya alam ini bukan badan hukum perseroan tapi koperasi, firma atau perorangan?
RUU PT semestinya lebih menekankan pada reformasi proses pendirian dan pendaftaran perseroan yang di Indonesia sudah amat tertinggal, serta untuk memaksa reformasi di Departemen Hukum dan HAM yang dikenal sebagai Departemen yang pelayanannya masih jauh dari semangat perubahan. Dibanyak negara lain proses pendirian dan pengesahan perseroan hanya memakan waktu bilangan jam dan maksimal 1-3 hari. Sementara proses yang sama di Indonesia masih seperti di abad pertengahan, repot dengan segala dodong petong-nya sampai Berita Negara. “Kemajuan” yang diperkenalkan oleh Departemen Hukum dan HAM baru jalur cepat dan jalur lambat dalam pelayanan pendaftaran PT dan pembuatan paspor, tergantung gizi-nya. Semoga pendaftaran perseroan secara elektronis yang dimuat dalam RUU PT ini dapat segera diwujudkan tanpa biaya mahal atau hiruk-pikuk KKN yang akan menarik lebih banyak lagi petinggi Departemen ini ke meja hijau. Selamat rekayasa.***
RUU Perseroan Terbatas (PT) yang disetujui DPR Jumat 20 Juli 2007 menyisakan ganjalan corporate social responsibility (CSR) khususnya bagi pengusaha. CSR yang dimuat dalam pasal 74 RUU PT itu mengatur perseroan yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan biaya yang dianggarkan tahunan, terlepas apakah perseroan itu untung atau rugi.
Pengaturan lebih jelas dan rinci tentang apa dan bagaimana CSR itu harus direncanakan, dianggarkan dan dilaksanakan serta siapa yang mengawasi akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Setelah gagal mencegah masuknya CSR ke dalam RUU Perseroan, kini kecemasan pengusaha tergantung kearifan PP. Thus, pemerintah perlu berhati-hati dan mature dalam membuat PP tentang CSR karena memang banyak hal yang perlu diantisipasi dan diperhatikan.
Dengan adanya CSR ini, pengusaha selain harus menjadi wajib pajak, pengusaha sumber daya alam juga menjadi wajib CSR. Bukan tak mungkin lahirnya CSR di Indonesia sebagai kompensasi menutupi kegagalan penyelenggara negara yang konon didominasi birokrat dan politisi korup dalam menjaga lingkungan, dengan seolah-olah menyalahkan karena ketiadaan CSR dalam undang-undang. Pengusaha juga mengkhawatirkan ketentuan CSR itu akan semakin menambah high cost economy, menjauhkan investor, membuka ruang baru untuk KKN dan pemerasan, atau dijadikan tempat melempar tanggung jawab pemerintah atau mencari kambing hitam atas kerusakan lingkungan. Pengusaha sudah membayangkan kesulitan (atau trauma?) dengan Pemda atau LSM yang mengatasnamakan masyarakat yang akan menuntut bola liar dana CSR dan sebagainya.
Banyak juga yang berpendapat bahwa urusan sosial dan lingkungan sebenarnya sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetapi belum sungguh-sungguh dan jujur dikawal pelaksanaannya. Mestinya dilaksanakan saja dulu ketentuan-ketentuan wajib yang sudah ada dalam hal lingkungan, daripada membuat ketentuan baru yang serba tidak jelas dan kabur definisi atau pengertiannya sehingga mau tidak mau DPR menyerahkan blanko kosong kepada pemerintah untuk menuangkan rincian tentang CSR ke dalam PP. Kekhawatiran juga muncul karena hal yang sepenting CSR ini awalnya tidak ada dalam draft RUU PT yang dikirim pemerintah ke DPR, sehingga tidak benar-benar dipersiapkan dengan seksama dan tanpa pembahasan atau public hearing dengan pengusaha sumber daya alam. Konon CSR muncul dari spontanitas para politisi di Senayan sehingga ada gurauan CSR adalah Cuma Slogan & Rekayasa. Lagi pula karena CSR ini dimuat di RUU PT, bagaimana kalau yang bergerak dibidang usaha sumber daya alam ini bukan badan hukum perseroan tapi koperasi, firma atau perorangan?
RUU PT semestinya lebih menekankan pada reformasi proses pendirian dan pendaftaran perseroan yang di Indonesia sudah amat tertinggal, serta untuk memaksa reformasi di Departemen Hukum dan HAM yang dikenal sebagai Departemen yang pelayanannya masih jauh dari semangat perubahan. Dibanyak negara lain proses pendirian dan pengesahan perseroan hanya memakan waktu bilangan jam dan maksimal 1-3 hari. Sementara proses yang sama di Indonesia masih seperti di abad pertengahan, repot dengan segala dodong petong-nya sampai Berita Negara. “Kemajuan” yang diperkenalkan oleh Departemen Hukum dan HAM baru jalur cepat dan jalur lambat dalam pelayanan pendaftaran PT dan pembuatan paspor, tergantung gizi-nya. Semoga pendaftaran perseroan secara elektronis yang dimuat dalam RUU PT ini dapat segera diwujudkan tanpa biaya mahal atau hiruk-pikuk KKN yang akan menarik lebih banyak lagi petinggi Departemen ini ke meja hijau. Selamat rekayasa.***
No comments:
Post a Comment