Wednesday, August 15, 2007

EPA Bisa Mengubah "Footloose Industry"

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe akan berkunjung pada 19-21 Agustus 2007 ke Jakarta, tentunya dengan dasar Doktrin Fukuda sebagai basis kebijakan luar negeri Jepang. Doktrin ini lahir, salah satunya, akibat peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974.

Isinya, Jepang menyatakan dengan resmi untuk menjadi negara yang mempunyai komitmen pada perdamaian, tidak akan pernah menjadi kekuatan militer dan mengembangkan hubungan yang saling mempercayai dengan ASEAN di berbagai aspek, dan dengan posisi yang setara.

Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) adalah salah satu misi utama Abe, sebagaimana ditulis di halaman 1. Lewat EPA, RI-Jepang mengutamakan hubungan komplementer. Inilah sebaiknya yang didalami Pemerintah RI secara saksama dan dengan sepenuh hati.

Jika itu bisa dilakukan, jelas akan bisa memperluas basis perekonomian dan akan melibatkan lebih banyak pengusaha, rakyat dan petani. Jika Indonesia telah lama menjadi pasar bagi produksi Jepang namun kesulitan memasuki pasar Jepang khususnya sektor pertanian, EPA memberi petani penghasil produk pertanian akses memasuki pasar Jepang.

Indonesia yang kelebihan tenaga muda, sementara penduduk Jepang semakin menua, akan diberi kesempatan bekerja di Jepang. Namun peningkatan sumber daya manusia (SDM) juga menjadi hal penting. Indonesia jangan mengabaikan ini. Terkesan sepele, tetapi ini harus dikejar, agar gaung EPA tidak lenyap setelah ditandantangani.

Keidanren (Kadin Jepang) sudah mengusulkan agar bantuan resmi Pemerintah Jepang (ODA) juga difokuskan pada pengembangan SDM, sesuai kebutuhan pasar di Jepang. Usul ini penting agar ODA lebih mengena dan bermanfaat bagi rakyat.

Indonesia juga harus mengejar hal ini, ketimbang membuang-buang ODA, untuk sebuah proyek yang selama ini banyak diraup kembali Investor Jepang, diperburuk lagi dengan pejabat korup RI yang "menelan" ODA.

Dorong, jangan lindungi

Jika ini terjadi, maka akan terjadilah pola hubungan ekonomi yang komplementer. Namun hubungan komplementer itu harus diperkuat, sehingga Indonesia tidak hanya bisa mengirim tenaga kerja dan menjual produksi pertanian. Jangan pula terjadi pola lama, di mana RI hanya bisa menjual energi dan bahan baku tanpa nilai tambah yang berarti.

Pemerintah harus diingatkan agar memanfaatkan EPA untuk melahirkan kegiatan ekonomi baru, hasil dari backward linkage dan forward linkage. Artinya terjadi kegiatan ekonomi yang melibatkan keberadaan pendukung di balik kegiatan produksi dan juga kegiatan ekonomi terkait dengan pemasaran dan kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung dan tidak langsung karena berkembangnya aktivitas ekonomi.

Profesor Shujiro Urata, dari Universitas Waseda memberikan contoh dengan keberadaan Nissan, yang di dalam usahanya selalu memerlukan perusahaan pemasok komponen untuk produknya. Pola produksi seperti itu juga dibutuhkan oleh perusahaan elektronik Jepang, yang di antaranya banyak yang sudah menjadi raksasa dunia.

Untuk ini dibutuhkan keberadaan usaha skala menengah dan kecil (UKM). "Sayangnya, Indonesia tidak memiliki yang UKM andal di sektor manufaktur," kata Urata berdasarkan hasil penelitian yang pernah dia lakukan di Indonesia.

Hal ini tidak usah menjadi hambatan untuk menjalankan EPA, karena Jepang sudah memberi rekomendasi soal pengembangan UKM di Indonesia. Intinya, UKM yang dikembangkan bukanlah lewat proteksi tetapi promosi. "Berilah fasilitas pada UKM yang relatif mampu dan jangan lindungi UKM yang tidak mampu," kata Urata.

Jika UKM berkembang, maka Indonesia akan bisa mengubah pola industri yang selama ini didominasi footloose industry, yakni industri yang hanya mengandalkan upah buruh murah, bukan mengandalkan UKM yang di berbagai negara telah menjadi bagian dari mata rantai produksi global.

Keberadaan UKM akan mengukuhkan fenomena backward and forward linkage. "Jika UKM berkembang, maka pebisnis Jepang akan makin terdorong menjadikan Indonesia sebagai basis produksi," kata Urata.

UKM akan bisa menghasilkan komponen di dalam negeri, yang selama ini masih didatangkan langsung dari Jepang.

Transfer teknologi

Urata mengakui, kesulitan soal transfer teknologi selalu menjadi masalah di balik investasi Jepang di Indonesia. Itu bukan hal yang mudah didapat. "Namun dengan keberadaan UKM yang kuat. maka kemampuan menyerap teknologi oleh UKM akan terdorong sendiri," kata Urata.

Jika hal ini terjadi, akan muncul peningkatan kualitas industri Indonesia. Selanjutnya, hal itu semakin memperbesar kue ekonomi Indonesia, dan juga memperluas struktur industri.

Dengan EPA, Indonesia akan bisa merangsang kembali arus investasi Jepang yang memudar sejak tahun 1996. Sekjen ASEAN-Japan Center, Dr Nobutoshi Akao mengatakan, Jepang sebenarnya selalu menempatkan Indonesia sebagai prioritas di dalam benak investor dan politisi Jepang, karena peran strategis Indonesia di ASEAN dan juga karena kebaikan Indonesia dalam politik regional di ASEAN terhadap Jepang. Persoalannya, daya tarik Indonesia dari hari ke hari makin ketinggalan dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam dan China.

Tidak perlu muncul kekhawatiran mendalam soal EPA RI-Indonesia. Akiko Fukushima, ekonom yang juga bekerja untuk Japan Foundation mengatakan, di balik EPA ada peran periset Jepang untuk memberi dukungan soal pengembangan hubungan ekonomi yang seimbang.

Dr Akao juga menambahkan EPA memberi ruang untuk menyelesaikan persoalan, perdebatan dan sengketa yang mungkin muncul di kemudian hari dalam implementasi EPA. Jika ada masalah, maka hal itu bisa dirundingkan.

Itu semua adalah sebuah kesempatan yang masih di atas kertas. Semua itu tergantung pada kemampuan pemerintah, politisi dan elite Indonesia soal bagaimana meningkatkan atau melahirkan pengusaha domestik yang bisa jadi mitra Jepang. Hal itu juga tergantung pada pelayanan birokrasi pada pengusaha, menyangkut perizinan yang diperlukan para investor.

Sukses EPA lebih tergantung pada posisi Indonesia, yang sebaiknya mengubah perilaku pejabatnya yang korup, yang relatif belum tidak berpihak pada rakyat. Jika pola seperti ini terjadi, EPA tidak akan berarti apa-apa pun.

“Untuk itu birokrasi dan politisi Indonesia harus memiliki pemikiran yang terbuka," kata Profesor Urata.

Jika tidak ada perubahan mental, EPA tak akan mengubah status quo. (mon)

No comments: