Devy Hendri
Presiden Yudhoyono telah menyampaikan pengantar nota keuangan negara RAPBN 2008, di depan rapat paripurna DPR, 16 Agustus lalu.
Asumsi dan alokasi dasar penyusun RAPBN 2008 menunjukkan, pemerintah berkomitmen menggunakan anggaran untuk pembangunan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan.
Bagaimanapun, arah dan kebijakan RAPBN itu layak diapresiasi. Kebijakan infrastruktur dan investasi harus menjadi bagian penting pengurangan kemiskinan pada negara berkembang dengan ciri infrastruktur buruk.
Terkait penyediaan infrastruktur, Pemerintah Indonesia menghadapi beban ganda. Di bidang listrik, beban berat ada di Pulau Jawa dan Bali, sementara pulau-pulau besar di luar Jawa-Bali amat kekurangan listrik. Jalan raya sudah terlalu padat, sementara jalan bebas hambatan baru disiapkan. Proporsi penduduk yang bisa mengakses air bersih pun mengalami penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk (World Bank, 2007).
Ketimpangan pemanfaatan
Dari sisi kualitas, ketersediaan infrastruktur bukan berarti akan menurunkan angka kemiskinan. Laporan Bank Dunia Reaching The Poor 2005 menyimpulkan, hampir tidak ada korelasi positif antara ketersediaan infrastruktur (kuantitas) terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Desain kebijakan infrastruktur yang salah kaprah tidak menghasilkan hal berarti pada perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin.
Isu utama adalah ketimpangan pemanfaatan (utilization inequality) infrastruktur. Berbagai infrastruktur social-based seperti sekolah, jaringan air bersih, kesehatan, dan infrastruktur commercial-based—infrastruktur yang dikelola BUMN dan berorientasi bisnis—yang seharusnya dapat dimanfaatkan merata oleh seluruh masyarakat, pemanfaatan terbesarnya dilakukan kelompok masyarakat yang lebih baik karakteristik sosial-ekonominya.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007, yang dirilis World Bank Office Jakarta memaparkan, akses terhadap air pipa amat terbatas di semua provinsi di Indonesia. Tingkat akses air bersih masyarakat miskin adalah paling rendah. Lebih dari 80 persen rumah tangga dalam kisaran 20 persen kelompok penghasilan terendah (kuintil rakyat paling miskin) bergantung pada air sumur dan sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai.
Pada sektor kesehatan, terutama layanan kesehatan dasar dan sekunder (primary and secondary health care), belum berpihak kepada penduduk miskin meski secara netral didistribusikan di antara kuintil pengeluaran. Berbagai studi menunjukkan, fasilitas dan layanan puskesmas juga dimanfaatkan optimal masyarakat kaya (Davy dan Elfindri, 2007; Elfindri, 1995).
Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder jelas tidak memihak kaum miskin. Sebagian besar dinikmati penduduk kaya.
Celakanya, layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan penduduk miskin adalah infrastruktur dan layanan kesehatan dasar (primer). Tetapi, pemerintah justru menggunakan 40 persen sumber daya untuk layanan kesehatan publik, untuk subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah sakit (layanan kesehatan sekunder) pemerintah.
Hambatan pemanfaatan
Apa saja yang menyebabkan infrastruktur itu belum sepenuhnya mencapai kelompok masyarakat termiskin? Beberapa hambatan dari pribadi masyarakat (individual barriers) menjadi faktor penjelas. Meski jalan raya mulus, mahalnya ongkos transpor menghambat masyarakat miskin untuk menikmatinya. Sementara itu, dalam survei rumah tangga yang tidak memiliki sambungan listrik, 87 persen menyebutkan mahalnya sambungan merupakan alasan utama, hanya 4 persen mengeluhkan biaya bulanan yang mahal.
Meski hambatan individual itu bisa dihilangkan dan masyarakat bersedia memanfaatkan infrastruktur serta layanan publik, buruknya kualitas layanan—seperti layanan yang kurang ramah—sering menjadi masalah tersendiri (service barriers). Ini amat terasa dalam pemanfaatan fasilitas dan layanan publik social-based, seperti pendidikan dan kesehatan.
Meski biaya pelayanan kesehatan amat murah atau gratis, ketidaktepatan diagnosa dan treatment pengobatan membuat orang miskin tidak percaya dengan kualitas obat yang diresepkan dokter puskesmas.
Kebijakan "pro-poor"
Karena itu, kebijakan infrastruktur pro-poor harus menjamin dua hal pokok, yaitu ketermanfaatan dan keberlangsungan secara merata. Untuk menjamin tingginya pemanfaatan infrastruktur dan layanan social based, perbaikan kualitas layanan dan SDM mutlak diprioritaskan.
Terkait infrastruktur commercial-based, pemerintah harus menyusun kebijakan insentif bagi penyedia, agar bersedia menurunkan service charge bagi lapisan miskin, dengan jaminan tidak ada mark-up dan KKN. Selain itu, pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur pendidikan harus terjamin keberlangsungannya.
Kita berharap fokus pembangunan RAPBN 2008 pada infrastruktur fisik (hard-infrastructure) yang dikuti upaya perbaikan soft-infrastructure—aturan main, tata kelola yang baik (good governance)—dapat berdampak maksimal. Yaitu, sebuah korelasi positif dan signifikan antara kucuran dana triliunan rupiah bagi pembangunan berbagai infrastruktur dan penurunan tingkat kemiskinan masyarakat termiskin. Bukankah itu yang menjadi salah satu tujuan kemerdekaan negeri ini?
No comments:
Post a Comment