Kemitraan Indonesia dan Jepang
FAISAL BASRI
Bagi Indonesia, Jepang telah lama menjadi mitra ekonomi paling penting dan strategis. Jepang merupakan negara tujuan ekspor utama sekaligus negara asal impor terbesar. Secara kumulatif, Jepang pun menjadi penanam modal asing langsung terbesar di Indonesia. Sosok keistimewaan Jepang menjadi lebih lengkap dengan posisinya sebagai negara pemberi utang terbesar bagi Indonesia.
Namun, belakangan ini tingkat keeratan hubungan ekonomi Indonesia-Jepang merosot tajam. Sebagai tujuan ekspor Indonesia, peranan Jepang menyusut, dari sekitar sepertiga pada awal dekade 1990-an menjadi sekitar seperlima saja pada tahun lalu. Kecenderungan yang sama terjadi pula untuk impor. Jika pada paruh pertama dekade 1990-an impor dari Jepang sekitar seperempat dari impor total Indonesia, dewasa ini tinggal sekitar 12 persen. Bahkan, posisi Jepang sebagai asal impor terbesar sudah digeser oleh China.
Dalam hal penanaman modal asing langsung (direct foreign investment), daya tarik Indonesia di mata perusahaan-perusahaan Jepang kian pudar. Publikasi terbaru yang dikeluarkan Jetro menunjukkan peringkat Indonesia terus turun dari posisi keenam pada tahun 2003 menjadi kesembilan pada 2006. Padahal, tahun 1997 Indonesia masih menduduki peringkat ketiga dan hanya turun satu peringkat selama kurun waktu 2000-2002. Pesaing baru Indonesia yang makin banyak dibidik oleh investor Jepang adalah India, Vietnam, Rusia, dan Brasil. Sementara itu, dalam satu dekade terakhir China dan Thailand selalu menjadi primadona di Asia bagi perusahaan Jepang dalam berinvestasi di luar negeri.
Kepentingan Indonesia
Pengalaman banyak negara, termasuk Indonesia pada masa lalu, menunjukkan peranan investasi asing sangat penting untuk meningkatkan ekspor. Kajian terbaru Bank Dunia (2007) menunjukkan betapa perkembangan ekspor yang pesat dari Asia Timur sangat ditopang oleh keberadaan penanaman modal asing. Sebagai contoh, lebih dari separuh ekspor China dihasilkan perusahaan multinasional.
Mereka berperan pula untuk memperdalam struktur ekspor dan membuatnya lebih konvergen dengan negara sekawasan. Hal ini terlihat dari peningkatan pesat porsi suku cadang dan komponen dalam ekspor negara ASEAN, seperti Filipina (65 persen), Malaysia (sekitar 40 persen), dan Thailand (sekitar 30 persen). Indonesia sendiri hanya sekitar 15 persen. Ini mengindikasikan Indonesia tersingkir dari jaringan produksi global yang dirajut perusahaan multinasional, termasuk yang dari Jepang.
Salah satu komponen Persetujuan Kemitraan Ekonomi (EPA) Jepang-Indonesia ialah komitmen untuk memajukan investasi Jepang di Indonesia. Untuk itu, kedua negara sepakat untuk memperbaiki keyakinan usaha (improvement of business confidence) dan menghilangkan segala hambatan investasi. Hal itu di antaranya dengan memperlancar impor bahan baku yang dibutuhkan pabrik-pabrik Jepang di Indonesia, kemudahan dan harmonisasi prosedur kepabeanan, serta kemudahan masuknya tenaga-tenaga Jepang.
Dengan langkah-langkah di atas, Indonesia diharapkan bisa kembali tertangkap radar investor asing dengan perusahaan-perusahaan Jepang sebagai pembuka jalan. Selanjutnya Indonesia bakal dimasukkan ke dalam jaringan produksi global sehingga bisa menjadi energi baru dalam menggerakkan dan menganekaragamkan ekspor. Selain itu, perluasan usaha dan investasi baru yang dihasilkan dari EPA diharapkan bisa memperdalam industrialisasi lewat alih teknologi, kerja sama teknik, serta pengembangan kapasitas (capacity building).
Bagaimana dengan liberalisasi perdagangan barang? Jika dilihat dari struktur ekspor Indonesia ke Jepang yang didominasi komoditas primer, seperti migas, batu bara, nikel, aluminium, produk perkebunan dan perikanan, penurunan tarif bea masuk bukan merupakan isu penting. Untuk produk manufaktur, hambatan masuk ke pasar Jepang bukan pula karena tingginya tarif bea masuk, melainkan berasal dari hambatan-hambatan nontarif. Untuk mengatasinya pihak Jepang berjanji memberikan bantuan teknis.
Kepentingan Jepang
Untuk memetik manfaat maksimal dari EPA sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia sudah barang tentu harus memberikan sejumlah konsesi. Jepang meminta akses yang luas untuk perdagangan jasa, pengadaan pemerintah (government procurements), dan perlindungan hak milik intelektual. Selain itu, Jepang meminta Indonesia untuk lebih menjamin pasokan energi dan sumber daya mineral.
Jaminan bisa saja diberikan asalkan tidak mengganggu kepentingan pasokan energi dan sumber daya mineral bagi kebutuhan domestik kita.
Sebagai imbalan atas penghapusan/penurunan tarif bea masuk lebih dari 90 persen pos tarif yang mencapai 99 persen dari nilai ekspor Indonesia ke Jepang, pihak Jepang tidak menuntut kesetaraan. Kompensasi segera yang diminta Jepang adalah pembebasan bea masuk atas impor bahan baku yang dibutuhkan pabrik-pabrik Jepang di Indonesia yang belum mampu diproduksi di sini. Jepang juga sepakat untuk tidak memasukkan sekitar 7 persen dari semua pos tarif ke dalam kerangka EPA (exclusion list).
Momentum pembenahan
EPA merupakan era baru bagi Indonesia dalam menjalin kerja sama ekonomi bilateral. Bagi sementara kalangan mungkin perjanjian ini dinilai terlalu jauh. Namun, jika becermin pada pengalaman negara tetangga yang telah lebih dulu mencanangkan EPA dengan Jepang (Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam), kita tak perlu khawatir berlebihan. Hasil nyata yang positif telah dinikmati negara-negara tetangga. Kita bisa belajar banyak dari mereka, termasuk bagaimana meredam dampak negatif yang tak dikehendaki.
Semakin banyak negara yang berpartisipasi dalam EPA, diharapkan menimbulkan kesadaran baru dan menambah dorongan bagi negara sekawasan untuk mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur yang dipandang lebih realistis ketimbang kerja sama dalam kerangka APEC. Dengan melibatkan Korea dan China, niscaya Asia Timur akan berpotensi menjadi kekuatan penyeimbang terhadap dominasi Amerika Serikat dan Eropa.
Bagi kita, yang lebih penting, bagaimana menjadikan EPA sebagai momentum untuk melakukan pembenahan di dalam negeri secara mendasar dan menyeluruh bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
No comments:
Post a Comment