Wednesday, August 8, 2007

EKSPEKTASI

Indikator...!

Hari Senin pekan lalu, di kolom kecil ini, saya mengingatkan pemain pasar keuangan supaya waspada. Pekan sebelumnya, pasar saham di Amerika Serikat yang dikenal dengan nama Wall Street bergejolak dan merembet ke pasar saham wilayah lain. Kejadian di belahan Amerika yang kemudian merembet ke belahan Asia dan Eropa menunjukkan dunia yang semakin menyatu. Pasalnya, pemain utama di pasar AS biasanya itu juga yang bermain di pasar lain walaupun dana yang mereka putar tidak sebesar di AS. Oleh karena itu, jika terjadi suatu kondisi yang buruk di AS, respons pasar di berbagai belahan dunia juga sama. Meski tidak selalu demikian karena ada faktor-faktor domestik yang turut menjadi pertimbangan investor. Celakanya, investor domestik sering kali ikut-ikutan, tidak percaya diri dengan kondisi dalam negerinya sendiri.

Para pemilik modal, investor, orang-orang yang memutar uangnya dengan membeli dan menjual surat-surat berharga akan selalu memerhatikan kondisi pasar dan indikator-indikator ekonomi. Baik indikator makro-ekonomi maupun sektoral bisnis dan kondisi mikro perusahaan penerbit surat berharga. Surat berharga itu berupa saham, obligasi, dan sebagainya. Mereka bisa juga menempatkan uangnya pada berbagai instrumen investasi lain, seperti bermain valuta asing, berpindah dari satu mata uang ke mata uang lain. Misalnya, dari rupiah ke dollar AS, dari dollar AS ke euro, ke yen, dan sebagainya. Perpindahan itu dilakukan untuk mencari imbal hasil investasi lebih tinggi.

Apa saja indikator ekonomi itu? indikator itu, antara lain, adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, dan tingkat suku bunga. Bagaimana kait-mengait antar-indikator? Pertumbuhan ekonomi, misalnya, bisa memicu tingkat inflasi kalau laju pertumbuhan ekonomi itu memicu melonjaknya permintaan akan barang. Kalau barang yang tersedia tidak memadai, sementara permintaan meningkat, tentu harga barang bakal meningkat, menciptakan inflasi. Apa artinya? Inflasi menggerogoti nilai uang. Dalam kondisi inflasi melonjak, uang yang sama akan berkurang daya belinya dibandingkan dengan sebelum terjadi inflasi. Solusinya, cukupi permintaan barang agar harga tak naik, nilai uang tidak susut.

Dari sisi lain, "menolong" nilai uang agar tidak terkikis inflasi, bank sentral biasanya menaikkan suku bunga atau menahan jika cenderung turun. Selain mengimbangi inflasi, kenaikan suku bunga juga, antara lain, untuk mempertahankan dana asing yang ada di dalam negeri agar tidak lari keluar mencari imbal hasil lebih tinggi di tempat lain.

Dalam konteks anjloknya pasar saham seluruh dunia pekan lalu, melemahnya nilai tukar rupiah, timbul pertanyaan, apa kaitannya dengan pasar keuangan kita? Padahal, kata banyak ahli, kondisi makro-ekonomi kita baik.

Selain aspek ekonomi, perilaku pemilik modal juga dipengaruhi faktor psikologis, sesuatu yang sering kali tidak masuk dalam logika ekonomi. (Andi Suruji)

No comments: