Tuesday, August 14, 2007

PPN Koran Langgar UU

Surat Kabar Ikut Cerdaskan Publik, Layak Bebas Pajak

Jakarta, Kompas - Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN atas penjualan surat kabar melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN karena dibebankan saat industri ini merugi. Menteri Keuangan Sri Mulyani diminta menerbitkan surat keputusan untuk membebaskan pungutan PPN tersebut.

Demikian pernyataan Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Jakob Oetama dan Sekjen SPS Amir Effendi Siregar yang disampaikan dalam pertemuan dengan Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan (Depkeu) Salip di Jakarta, Senin (13/8).

Menurut Amir Effendi, selama ini biaya produksi tiap eksemplar koran harus disubsidi dari penghasilan iklan. Hal itu disebabkan harga jualnya lebih rendah dibanding biaya produksinya.

Atas dasar itu, sesungguhnya tidak ada pertambahan nilai atas penjualan koran di Indonesia sehingga pengenaan PPN menjadi lemah. "Kami tidak menolak pengenaan PPN atas iklan. Namun, yang jadi masalah adalah harga jual surat kabar, saat ini rata-rata Rp 2.500 per eksemplar, padahal biaya cetaknya Rp 5.000," ujar Amir Effendi.

Sebagai ilustrasi, sebuah koran di Jakarta dijual dengan harga Rp 3.000 per eksemplar, setelah dikurangi diskon agen atau loper sebesar 33,3 persen, perusahaan menerima penjualan Rp 2.000. Atas penerimaan itu dikenakan PPN 10 persen sehingga pendapatan bersih dari penjualannya menjadi Rp 1.800 per eksemplar.

Biaya produksi

Sebetulnya, biaya produksi untuk koran Rp 2.572 per eksemplar. Itu baru memperhitungkan biaya cetak dan pembelian kertas, belum memasukkan biaya redaksi, pemasaran, administrasi umum, gaji karyawan dan wartawan.

Dalam setahun, industri media cetak menghabiskan Rp 1,7 triliun untuk belanja kertas koran. Karena dikenakan PPN, media cetak menyetor Rp 170 miliar ke negara. Bila PPN tidak diberlakukan, SPS yakin dapat membangun pers lebih baik sekaligus menyebar informasi lebih banyak. (Kompas, 15/2)

Menurut Jakob Oetama, saat ini ada kekhawatiran di tengah masyarakat bahwa orang Indonesia cenderung gemar menonton dibanding membaca.

"Kalau dilihat secara akal sehat, prinsip no tax on knowledge (larangan pengenaan pajak atas produk penyebar ilmu pengetahuan) itu ada dalam setiap surat kabar, dalam bentuk informasi. Oleh karena itu, kami mencoba memasukkan usulan pembebasan PPN ini ke Depkeu," ujarnya.

Salip menegaskan, satu-satunya jalan untuk mengakomodasi keinginan SPS dengan memasukkan usulan itu ke dalam Daftar Inventaris Masalah Rancangan Perubahan UU No 18/2000.

"SPS dapat meminta DPR memasukkan usulan itu dalam pembahasan perubahan UU PPN itu," saran Salip.

Pajak riset

Di tempat terpisah, Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan, pembebasan pajak atas biaya riset untuk mendorong inovasi dan peningkatan produksi industri manufaktur mulai dibahas.

Insentif itu sebetulnya sudah disiapkan pemerintah, tetapi implementasinya masih lemah.

Pasal 6 Ayat 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2007 soal Pengalokasian Sebagian Pendapatan Badan Usaha untuk Peningkatan Kemampuan Perekayasaan, Inovasi, dan Difusi Teknologi. (OIN/OSA)

No comments: