Wednesday, August 15, 2007

Khitah Negara Kebangsaan


Oleh Nadlifah Hafidz

"Berikan aku sepuluh pemuda. Maka, aku akan ubah Indonesia," demikian intisari kalimat yang dilontarkan (diorasikan) Soekarno saat "membaca" awal keruntuhan mentalitas kaum muda negeri ini akibat berbagai tantangan yang merapuhkan idealisme dan menggerogoti kesatuannya.

Memang, saat itu, kondisi kaum muda sedang terancam pesona politik pragmatis yang dijual kekuatan asing atau kalangan "pebisnis" internal. Mereka berkolaborasi dan bertualang mencari untung untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan masing-masing.

Kekuatan di luar diri kaum muda yang mencoba meruntuhkan idealisme itu memang jitu membaca elemen strategis bangsa. Pasalnya, jika semangat kebersamaan dan kecintaan terhadap tanah air kaum muda bisa dilemahkan, atau birahi juangnya diimpotensikan, konstruksi bangsa niscaya mudah rapuh.

Sebagai pemimpin, Soekarno menempatkan diri sebagai penjaga "negara kebangsaan" dengan mengingatkan dan membangkitkan semangat nasionalisme kaum muda. Dia tak ingin kekuatan fundamental tersebut dirapuhkan kekuatan asing atau manusia Indonesia yang bermental pedagang.

Kaum muda sekarang pun sebaiknya tak mudah terpengaruh dan tergoda tawaran ideologi dan agama (mazhab) yang bertujuan merekahkan "negara kebangsaan". Sebab, jika mereka sampai masuk dalam lingkaran kekuatan ideologi dan agama, konstruksi kapal besar Indonesia akan merekah dan berpecah belah.

Ada kecenderungan godaan penasbihan ideologi dan agama tertentu telah menjerat sebagian anak muda. Mereka merelakan dan memberanikan diri terjun dalam jagat kiri dengan mengusung semangat militansi yang menempatkan komponen sosial lain berhak dihakimi dan dibantai. "Negara kebangsaan" tak digubris sebagai kekuatan yang menyatukan pluralitas. Tetapi, dianggap kambing hitam yang harus dimusnahkan.

NKRI tak ditempatkan sebagai kekuatan moral yang mengusung prinsip persaudaraan dalam perbedaan maupun perbedaan dalam persaudaraan. Melainkan, konsep itu absah dibuang jauh-jauh jika menghalangi ideologi dan agama eksklusif yang diklaim.

Idealnya barangkali seperti disebutkan Siswono Yodo Husodo (2005). Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, dan Yunani yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau, Australia, India, Sri Lanka, dan Singapura yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau juga, Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah yang menjadi satu negara karena kesamaan ras.

Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri atas banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu. Bahkan, nyaris kesamaan wilayah. Yakni, 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit. Selain itu, sama-sama 350 tahun dijajah Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang.

Pluralitas masyarakat Indonesia di berbagai aspek menjadi kekayaan tersendiri, yang sebenarnya membuat bangsa ini besar. Kekayaan itu adalah pesona yang bisa dinikmati jika dapat dijaga dengan sebaik mungkin. Bukan sebaliknya, dirusak dan dikorbankan oleh kepentingan egoisme sektoral. Perbedaan seharusnya menjadi aspek mendasar yang mempertemukan persatuan (Nurcholish Madjid, 1999).

Negara kebangsaan kita juga terbentuk atas upaya besar founding fathers yang tanpa kenal lelah keluar-masuk penjara untuk memantapkan rasa kebangsaan Indonesia yang resmi lahir pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Negara kebangsaan Indonesia lahir melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 yang ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Bagian pembukaannya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila merupakan sublimasi pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat dengan beragam suku, ras, bahasa, agama, dan pulau menjadi bangsa yang satu, Indonesia.

Karena itu, meski UUD 1945 telah diamandemen empat kali, bagian pembukaan tersebut tetap tidak berubah. Sebab, jika berubah, artinya membentuk negara baru. Bukan negara yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.

Berangkat dari realitas sosial, budaya, ideologi, agama, dan etnis yang sangat plural itu, kaum muda seharusnya kembali ke khitah "negara kebangsaan". Bukan tergoda dalam pemaksaan, apalagi gerakan yang mengarah pada separatisme dan radikalisme.

Jadi, kaum muda selayaknya menjadi pelopor yang menguatkan kebulatan untuk melawan setiap gerakan yang bermaksud menghancurkan kapal besar negara ini.

Kalau rezim ini sudah sering dikritisi anak muda akibat "khilaf" hingga beberapa kepulauannya diseborot negara lain, sudah saatnya, anak muda sekarang memberikan teladan sebaliknya. Yakni, dengan menyebarkan dan menyuburkan sikap yang bermodus menguatkan dan membulatkan tekad menjaga "negara kebangsaan" di atas kepentingan ideologi dan kelompok masing-masing. Khitah itu sudah selayaknya jadi kartu mati anak muda yang berjiwa militan dalam membela tanah air daripada membela kepentingan golongan.


Nadlifah Hafidz, peneliti anak-anak dan editor buku di Malang.

No comments: