Saturday, August 11, 2007

The Mighty China


Oleh: Dr. Rainer Adam
(Project Director Good Governance, Friedrich-Naumann-Stiftung)



Menteri Luar Negeri China, Yang Jiechi, saat ini sedang berkunjung di Indonesia. Ini adalah lawatannya yang ketiga kalinya sejak ia diangkat belum lama ini (setelah Mongolia dan Korea Utara). Kunjungan ini merupakan pertanda bagi pentingnya Indonesia untuk China. Tujuan utama misinya ini adalah untuk membangun hubungan dagang dengan Indonesia. Yang juga termaktub di dalam memorandum yang ditandatangani dalam kesempatan tersebut adalah penyediaan bantuan teknis untuk Indonesia.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memiliki target yang ambisius dalam hal perdagangan bilateral. Ia menginginkan agar pada tahun 2010 Indonesia memiliki volume perdagangan yang meningkat dua kali lipat, dari 15 juta dolar AS pada 2006 menjadi 30 juta dolar AS pada 2010. Pertukaran perdagangan yang diintensifkan tersebut dapat menciptakan banyak peluang bagi perusahaan-perusahaan Indonesia. Namun dapat pula menyebabkan tekanan yang lebih besar terhadap pencapaian produktivitas, terutama pada industri-industri yang padat karya. China mungkin akan segera bergerak menuju produksi barang-barang yang bernilai lebih tinggi sementara produksi-produksi padat karya mungkin akan mengalami relokasi ke Vietnam, Cambodia serta Indonesia. Saya akan senang sekali jika bisa melihat keadaan sebaliknya, dan Indonesia yang memproduksi lebih banyak barang-barang dan jasa yang canggih, bukan hanya menjual hasil alam (batubara, kayu, bijih besi, metal, dll) serta produk-produk hasil industri padat karya. Satu hal yang pasti, China akan menjadi salah satu mita perdagangan dan bisnis yang utama di Asia Tenggara, dan tidak terbatas di situ saja.

Baru-baru ini saya mengunjungi kota asal saya, Trier, suatu tempat yang kecil dengan jumlah penduduk hanya 100.000 orang di Lembah Mosel, sekitar 40km dari Luxembourg, dekat perbatasan dengan Perancis. Trier juga adalah kota kelahiran Karl Marx, filsuf Jerman yang melahirkan Marxisme, yang digunakan sebagai pembenaran ideologis untuk penerapan rezim otoriter satu-partai dengan perekonomian yang direncanakan secara terpusat. Eksperimen-eksperimen tersebut gagal total, dan berakhir dengan kemiskinan, kerusakan dan penderitaan, seperti yang sudah kita ketahui sejak jatuhnya Uni Soviet dan transformasi China dari sosialisme negara menjadi kapitalisme otoriter. Setiap tahunnya, lebih dari 50.000 orang China mengunjungi kota asal saya sebagai suatu ziarah ke kota kelahiran Karl Marx. Pemerintah kota dan masyarakat bisnis di sana bereaksi terhadap sumberdaya ekonomi yang penting ini dengan cara menyelenggarakan kursus-kursus bahasa China bagi para pelayan toko, karyawan hotel dan restoran, pemandu wisata, dsb. Banyak toko yang sekarang juga menuliskan namanya dalam bahasa China (selain dalam bahasa Jerman dan Inggris.) Turis-turis dari China telah menjadi sumber penghasilan yang sangat penting bagi penduduk Trier. Tidak heran jika universitas di kota itu pun menawarkan studi bahasa dan budaya China kepada mahasiswanya yang berjumlah lebih dari 5000 orang. Belajar bahasa China Mandarin pun menjadi populer di Jerman dewasa ini. Dengan adanya turis dari China tersebut, poster-poster Karl Marx menjadi tren, meskipun mungkin Marx akan meradang di dalam kuburnya bila melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kapitalisme, yang sangat dibencinya itu, pada akhirnya menang di China dimana ia menemukan lahan yang begitu subur di negeri yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di seluruh dunia. Ketika para periset opini mengajukan pertanyaan “apakah sistem usaha bebas dan ekonomi pasar bebas adalah sistem yang terbaik untuk dijadikan dasar masa depan dunia”, sekitar 75% responden di China menjawab “ya” sementara 30% masyarakat di Perancis mendukung pandangan ini.

Trier tidak sendirian dalam mencoba memikat bisnis China ke kota tersebut. Pemerintah kota besar Koeln sedang berupaya keras menarik lebih banyak perusahaan China untuk membuka kantor di wilayah tersebut. Baru-baru ini Walikota Koeln, Mr. Fritz Schramma, dalam suatu lawatan bisnis ke China, diterima dengan sangat ramah di Shanghai dimana ia mengumumkan bahwa 100 perusahaan China saat ini berdomisili di kotanya di tepi sungai Rhine. Pada tahun 2005 Koeln memulai suatu strategi mengejar investasi yang agresif, dengan target memikat investor-investor China ke kota tersebut. Pemerintah kota tersebut menyederhanakan prosedur-prosedur perijinan bagi perusahaan-perusahaan China. Perlu waktu hanya beberapa hari untuk memperoleh ijin dan lisensi dari pemerintah untuk mengoperasikan suatu bisnis. Koeln diuntungkan oleh infrstrukturnya yang baik serta lokasinya yang strategis di jantung Uni Eropa. Pemerintah berhasil menyatukan dan memobilisir semua stakeholder swasta bagi proyek Chinanya ini dan sekarang mulai dapat meraup hasilnya dalam hal pertumbuhan, penciptaan pendapatan dan lapangan kerja, serta kemitraan usaha bilateral yang makin berkembang dengan perekonomian keempat terbesar di dunia. Mari kita berharap agar boom China di Jerman dan Indonesia akan berlangsung lama. Kita semua akan diuntungkan oleh perdagangan bebas dan “keajaiban” pasar terbuka tersebut.

(Dikutip dari www.kedai-kebebasan.org)

No comments: