Wednesday, August 8, 2007

PDB Nominal 2007 Turun Rp 42,7 Triliun

Hukum Diperlukan untuk Menekan Penggelembungan "Cost Recovery"

Jakarta, Kompas - Produk Domestik Bruto atau PDB 2007 diperkirakan menurun Rp 42,74 triliun karena melambatnya laju inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah. Dengan demikian, pendapatan negara, terutama perpajakan, dipastikan akan berkurang karena seluruh nilai dan barang yang diproduksi akan menurun.

Penurunan PDB nominal tersebut diungkapkan Ketua Panitia Kerja DPR untuk asumsi dasar, pendapatan, defisit, dan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Suharso Monoarfa dalam rapat kerja antara Panitia Anggaran dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin (6/8).

Menurut Suharso, PDB nominal 2007 yang disepakati Panitia Kerja untuk APBN Perubahan adalah Rp 3.761,4 triliun, atau lebih rendah Rp 42,7 triliun dibanding target Rancangan APBN Perubahan (RAPN-P), Rp 3.804,2 triliun. Hal itu didorong penurunan nilai tukar dari usulan awal Rp 9.100 per dollar AS menjadi Rp 9.050. Sementara, laju inflasi melambat dari 6,5 persen pada APBN 2007 menjadi 6 persen.

Turunnya PDB nominal itu menyebabkan berkurangnya penerimaan perpajakan menjadi Rp 454,4 triliun atau lebih rendah dibanding target APBN 2007 senilai Rp 468,2 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, penurunan penerimaan itu terjadi karena perubahan asumsi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Namun, tidak hanya itu, masalah yang sangat sensitif bagi pemerintah adalah turunnya produksi minyak dari 1 juta menjadi 950.000 barrel per hari," katanya.

Panitia Kerja memutuskan target pertumbuhan ekonomi atau PDB riil tetap 6,3 persen, sama dengan target APBN 2007. DPR mengharapkan dengan pertumbuhan ekonomi itu bisa menciptakan lapangan kerja sebanyak 10,7 juta orang.

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Chatib Basri mengatakan, PDB nominal tidak bisa menjadi patokan dalam menilai kinerja perekonomian karena terpengaruh oleh tingkat harga atau inflasi. "Sebagai contoh, pada tahun 2005 PDB nominal kita sangat tinggi, bukan karena pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi karena inflasinya melonjak ke 17 persen, atau karena harga barang sangat mahal. Ekonominya sendiri hanya tumbuh 5,5 persen. Jadi, pertumbuhan ekonomi 6,3 persen di 2007 sudah lebih baik," katanya.

Namun, Kepala Ekonom BNI A Tony Prasetiantono menyebutkan, target pertumbuhan yang realistis adalah 6 persen, maksimal 6,1 persen. Itu disebabkan antara lain lemahnya intermediasi perbankan untuk mendorong investasi yang dibutuhkan pertumbuhan ekonomi karena dana menganggur tertanam pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp 200 triliun.

"Sementara faktor eksternal masih menekan perekonomian dalam negeri, terutama naiknya harga minyak ke 78 dollar AS per barrel dan jatuhnya harga saham Wall Street yang menghambat turunnya tingkat suku bunga BI hingga tertahan di 8,25 persen. Akibatnya, tidak ada insentif bagi sektor riil. Atau bisa dibilang, kita sudah kehilangan momentum," ujarnya.

"Cost recovery"

Dalam rapat kerja tersebut, DPR menekankan perlunya tindakan hukum bagi kontraktor migas yang menggelembungkan laporan cost recovery atau perhitungan biaya operasi migas yang dibebankan ke pemerintah. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan bisa dijadikan dasar.

"Pemerintah harus menyusun petunjuk pelaksanaan dalam menetapkan komponen biaya yang layak untuk cost recovery mulai 2008. Itu penting untuk menghentikan kecurangan korporasi dan menambah penerimaan negara dari minyak dan gas," kata Suharso Monoarfa. (OIN)

No comments: