Sunday, August 12, 2007

Mengapa Sejumlah Perusahaan Unggulan Tumbang

INDRA GUNAWAN

Kalau sejumlah perusahaan yang lemah dalam sumber daya manusia, modal, teknologi, manajemen, dan strategi mengalami kebangkrutan, hal itu dianggap sebagai kewajaran.

Akan tetapi, kalau yang roboh itu adalah perusahaan unggulan, great companies, yang namanya kerap berkibar dan disanjung oleh para pengulas, ini tentu merupakan suatu persoalan yang amat serius.

Dr Jagdish N Sheth, seorang mahaguru pemasaran yang tidak hanya sekadar berpengalaman dalam mengajar, tetapi pernah terjun dalam dunia industri dan perusahaan, meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan "Mengapa sejumlah perusahaan bagus menjadi bangkrut?" Ia melakukan riset selama bertahun- tahun dan hasilnya adalah buku ini, "The Self Destructive Habits of Good Companies" (Wharton School Publishing-Pearson Education, Inc, New Jersey, 2007)

Sesuai dengan judulnya, penulis berpendapat bahwa "kebiasaan merusak diri" (self destructive habits) itu yang menjadi biang utama persoalan. Prof Philip Kotler dalam ulasan singkatnya memberi catatan, "Anda dapat membaca banyak buku yang menuturkan bagaimana membuat perusahaanmu menjadi besar. Namun, bila Anda berhasil, ingat bahwa sukses itu adalah racun potensial…."

Kunci untuk mengatasinya, menurut Dr Jag, adalah kepemimpinan besar (great leadership), yakni pemimpin yang mempunyai visi jelas mengenai masa depan perusahaan dan juga orang yang membumi dalam realitas masa kini dengan kesadaran lingkungan yang terus berubah. Tugasnya bukan sekadar merumuskan apa yang dimaui bersama, tetapi lebih kepada menyiasati kehendak lingkungan yang senantiasa bergerak.

Menyangkal kenyataan baru

Menurut Dr Jag, paling tidak ada tujuh kebiasaan atau perilaku yang "merusak diri" yang patut diwaspadai dan dilawan habis- habisan. Yang paling utama adalah penyangkalan terhadap realitas baru yang kemungkinan besar tidak kita sukai. Umpamanya munculnya teknologi baru yang dapat membuat produk kita limbung.

Atau tiba-tiba saja terjadi perubahan dalam preferensi, selera, dan pola pembelian konsumen. Ada keengganan untuk mengubah model bisnis yang dijalankan selama ini karena dianggap sudah teruji selama beberapa tahun. Kemungkinan pula terjadi perubahan besar dalam lingkungan global dan kita menyangkalnya sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi di sini. Perusahaan kita adalah kekecualian.

Kebiasaan "merusak diri" lainnya adalah rasa bangga yang berlebihan, yang agaknya dapat terjadi karena di masa lampau orang pernah mencapai suatu prestasi istimewa. Sekian hantaman dari kompetitor, peraturan pemerintah yang tak menguntungkan dan tekanan dari pendapat umum berhasil dilewati.

Sebab itu, ke depan kita penuh percaya diri dan merasa "langit adalah batasnya" (the sky is the limit). Padahal, dalam drama Yunani purba, kebanggaan berlebihan yang bercampur dengan kecongkakan merupakan tragedi jatuhnya para pahlawan. Sebelum tumbang, ternyata ada beberapa pahlawan perusahaan yang sempat dielu-elukan oleh berbagai media dan institusi.

Dekat dengan itu adalah rasa puas diri (complacency) yang lahir dari kepercayaan bahwa sukses yang terjadi di masa lampau dan kini akan berkelanjutan. Semboyan yang diyakini adalah success is forever (sukses adalah selamanya) atau success is never ending (sukses tidak akan berkesudahan). Biasanya rasa puas diri itu menghinggapi perusahaan berukuran dan berskala besar. Mereka yakin dengan kebesarannya. Sedikit guncangan dari luar tak akan membawa pengaruh yang berarti.

Kompetensi dapat membawa masalah

Sebelum Dr Jag menulis buku terbarunya ini, sebetulnya sudah ada penulis lain yang mengupas topik serupa. Di antaranya dapat disebut "Why Companies Fail" karangan Mark Ingebretsen (Crown Business, 2003) dan "Why Smart Executives Fail" karya Sydney Finkelstein (Penguin Group, 2003)

Kalau dicermati, ketiga penulis buku ini dengan cara risetnya sendiri-sendiri di sana-sini menghasilkan kesimpulan yang sama. Umpamanya soal realitas di luar sana yang sama sekali berbeda dengan keyakinan kuat yang ada di benak para pemimpin (The picture in our head and the world outside, menurut Walter Lippmann). Mereka tidak menyadari dan tenggelam dalam ketidaksadaran berlarut-larut, sampai suatu guncangan dahsyat datang. Atau sikap arogansi yang merasa apa pun yang akan disentuh pasti akan berhasil (sentuhan Midas atau "tangan dingin").

Yang menarik dan yang tidak sama adalah apa yang dikemukakan Dr Jag perihal ketergantungan pada kompetensi. Kebanyakan seruan yang muncul belakangan adalah: kalau ingin sukses, kembali ke kompetensi inti semula. Kalau kemahirannya adalah di industri jasa, ya bergeraklah di bidang yang sama atau sejenis yang masih ada korelasi dengan kompetensinya. Jangan bergerak terlalu jauh di bidang yang sama sekali berlainan. Seruan semacam itu ada betulnya seperti yang dilakukan Jack Welch dalam menciutkan bidang bisnis General Electric.

Hanya, Dr Jag juga mempersoalkan bahwa ketergantungan berlebihan pada kompetensi juga dapat menjadi kebiasaan yang ’merusak diri’. Ia bertanya: bagaimana kalau kompetensi Anda sudah menjadi usang dan tidak kompetitif lagi? Apakah kita bersedia mencari peluang-peluang baru yang tidak atau belum dikuasai? Atau tetap bertahan pada kompetensi yang mulai redup menghadapi ancaman? Umpamanya ancaman datang dari perubahan eksternal yang tidak dapat dibendung lagi? Hemat saya, Dr Jag masih kurang menukik dalam mempersoalkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan besar itu.

Kalau perusahaan makin besar

Masih ada tiga kebiasaan "merusak diri" lain yang diutarakan Dr Jag. Salah satu di antaranya adalah cadok mata dalam melihat kompetisi. Yang dilihat sebagai pesaing adalah mereka yang bergerak dalam usaha sejenis, yang kasatmata berdekatan dan kurang lebih seimbang. Yang kurang diperhitungkan adalah pendatang baru yang masih ingusan, tetapi inovatif atau kompetitor yang non-tradisional ataupun munculnya produk substitusi, karena ada kemajuan teknologi.

Sementara kebiasaan "merusak diri" lain yang teramat membahayakan dapat muncul kalau perusahaan menjadi makin besar dan kemudian, karena tuntutan organisasi, menjadi makin terkotak-kotak. Ada kotak-kotak karena jenis usaha, unit, fungsi, geografi, dan sebagainya. Semakin besar suatu organisasi diperlukan, bentuk, struktur, dan birokrasi yang melilit. Sistem dan prosedur birokrasi menggeser komunikasi antarmanusia yang akrab dalam organisasi kecil. Dalam bahasa Dr Jag, ’tangan kiri tak selalu akan tahu apa yang dikerjakan tangan kanan’.

Dalam situasi demikian, maka kepemimpinan tunggal yang kuat dapat terpecah ke tangan beberapa pemimpin suku (unit) yang masing-masing ingin menggembalakan ’jalan’ anak buahnya sendiri-sendiri. Terjadi suatu proses tarik-menarik. Satu unit merasa dirinya lebih berharga dibandingkan dengan unit lainnya karena menghasilkan laba lebih besar, umpamanya. Atau suatu fungsi merasa lebih penting karena lebih menguasai informasi dan data perusahaan dibandingkan fungsi lain, misalnya fragmentasi dalam tubuh organisasi kalau dibiarkan berlarut-larut akan membuka pintu untuk perpecahan.

Kebiasaan "merusak diri" yang berikutnya adalah inefisiensi dalam biaya. Perusahaan terobsesi betul kepada volume dan jumlah, hingga penjualan dipacu sekencang-kencangnya, tanpa memperhitungkan hubungan antara hasil penjualan dan lompatan biaya.

Sebenarnya untuk setiap kebiasaan perilaku "merusak diri" itu, penulis menyediakan jalan keluarnya. Bagaimana mengenali tanda peringatan dini dan memecah kebiasaan buruk tersebut sebelum dia telanjur berurat akar. Ia lebih mengibaratkan perilaku perusahaan dengan tabiat manusia yang alot yang dapat jatuh sakit dan mati. Namun, betapapun sulit dan kronisnya, Dr Jag mempunyai keyakinan bahwa ada harapan kebiasaan "merusak diri" itu dapat diatasi. IBM, GE, dan De Beers telah memberikan contohnya. Tidak disebut di buku, tetapi di Indonesia, beberapa perusahaan yang tadinya hampir bangkrut juga telah berhasil "memutar arah".

Indra Gunawan Pengamat Manajemen dan Bisnis

No comments: