Thursday, August 23, 2007

Mengisolasi Panik Finansial

A Tony Prasetiantono

Mungkinkah kepanikan di sektor finansial dan pasar modal dapat diisolasi sehingga tidak sampai merembet ke mana-mana. Dengan demikian, krisis ekonomi yang lebih besar dan luas dapat dihindari? Menurut saya, bisa. Mengapa?

Apabila kita belajar dari sejarah, kepanikan di lantai bursa saham yang kemudian menular secara berlebihan ke sektor riil secara meluas hanya terjadi secara amat signifikan saat terjadi the great depression atau malaise, yang terentang sejak 1929 hingga 1936. Waktu itu krisis dimulai dari kepanikan nasabah yang menarik dananya di bank-bank Austria, lalu meluas ke Eropa, dan menjalarkan kepanikan di bursa Wall Street, New York, yang akhirnya mengimbas ke seluruh dunia.

Namun, sesudah itu dunia tidak pernah mengalaminya lagi secara signifikan. Memang ada satu-dua kasus kepanikan yang menyebabkan krisis mini (mini crises), misalnya, dampak Black Monday pada Oktober 1987, tetapi hal itu tidak terlalu meluas ke sektor riil dan segera dapat dipadamkan.

Panik 2001, 2002, dan 2007

Ketika terjadi peristiwa 9/11 (11 September 2001) pun, kepanikan segera menikam bursa saham New York, kemudian menular ke bursa-bursa seluruh dunia. Namun, hal itu tidak sampai menyebabkan krisis ekonomi dunia berlebihan, apalagi depresi. Di Amerika Serikat, industri penerbangan memang sempat terpukul berat—terutama menimpa American dan United Airlines—tetapi tidak sampai menjerumuskan ke jurang resesi ekonomi lebih buruk.

Adapun dalam kasus skandal akuntansi perusahaan publik Enron, yang disusul WorldCom dan Xerox (2002), dampak negatifnya juga bisa diminimalkan, tidak melebar terlalu luas.

Mengapa gejolak di pasar modal tahun 2001 dan 2002 tidak meluas? Tentu karena otoritas perekonomian berhasil menetralkannya. Dalam kasus-kasus itu, diperlukan intervensi pemerintah secara intens.

Ide untuk melakukan intervensi ini justru diilhami depresi 1929–1936, yang kemudian mendorong John Maynard Keynes menerbitkan bukunya, The General Theory (1936). Dalam keadaan mekanisme pasar tidak mampu memberi hasil seperti yang diinginkan masyarakat (market failure), yang diperlukan adalah "pertolongan" atau intervensi pemerintah.

Berbekal pemahaman inilah, resep yang dipakai otoritas finansial Amerika Serikat dalam kasus 2001 dan sekarang, lebih kurang sama. Intinya, Bank Sentral (Fed) memasok pasar dengan likuiditas segar, untuk memfasilitasi para pelaku ekonomi melakukan transaksi saham. Dengan peredaran likuiditas dalam jumlah cukup, tidak ada alasan bagi pemain bursa untuk panik lebih lanjut. Berapa pun dana yang mereka butuhkan untuk transaksi, likuiditas di pasar terjamin jumlahnya. Hal ini diharapkan dapat memberi rasa aman para pemain sehingga tidak menambah kepanikan lebih lanjut. Setidaknya, kepanikan lebih besar tidak terjadi.

Saat terjadi peristiwa 9/11, Fed menyuntikkan 81,25 miliar dollar AS ke pasar, pada 14 September 2001. Dalam kasus sekarang, Fed menyuntikkan dana 35 miliar dollar AS. Dari skala injeksi likuiditas ini dapat diduga, Fed yakin bahwa tragedi 11 September 2001 jauh lebih dahsyat daripada krisis subprime mortgage investment kali ini.

Sebenarnya Fed masih bisa menyuntik likuiditas dalam skala lebih besar, sebagaimana Bank Sentral Eropa membanjiri pasar dengan dana 212 miliar dollar AS dan Bank Sentral Jepang dengan satu triliun yen. Namun, jika dilakukan, hal ini malah bisa memicu kepanikan lebih besar lagi.

Karena itu, Fed dan bank sentral lain harus taktis dan tidak boleh bereaksi berlebihan (over-reacted). Intervensi memang harus dilakukan, tetapi harus proporsional, sebatas kebutuhan. Karena itu, Fed juga tidak serta-merta menginjeksi pasar dengan likuiditasnya. Dana 35 miliar dollar AS dicairkan dalam dua tahap, yakni 19 miliar dollar AS dan 16 miliar dollar AS. Apabila masih dirasa kurang, Fed pasti akan menambahnya lagi. Prinsipnya, spending and creating liquidity is the way to stave-off a severe economic decline.

Merajut sentimen positif

Gejolak pasar modal memang bisa menjadi batu sandungan perekonomian dunia. Namun, bila para pelaku ekonomi bisa bersikap tenang dan berpikir lebih rasional, ancaman krisis bisa dihindari.

Menurut saya, ancaman terserius yang bisa menyebabkan krisis ekonomi mendalam bukan dari gejolak Wall Street, tetapi bila harga minyak dunia tidak bisa dikendalikan yang dipicu memanasnya perekonomian "Chindia" (China dan India).

Tahun 2004 Stephen Leeb pernah memprediksi harga minyak akan mencapai 100 dollar AS per barrel (The Oil Factor, Warner Books, New York), sesuatu yang saat itu terasa tidak masuk akal. Kenyataannya, harga minyak menembus rekor 78 dollar AS (2006), dan kini 74 dollar AS per barrel.

Belakangan, Leeb kembali meramal harga minyak 200 dollar AS pada akhir dasawarsa ini, atau tahun 2010 (The Coming Economic Collapse: How You Can Thrive When Oil Costs US$$200 a Barrel, Warner, New York, 2006). Kita boleh berdebat soal akurasi ramalan ini, tetapi satu hal sudah jelas: krisis ekonomi dunia amat berpotensi berasal dari lonjakan harga minyak.

Krisis energi ini terutama disebabkan ketidakseimbangan supply dan demand. Pertumbuhan ekonomi yang amat pesat di "Chindia" menyebabkan konsumsi energi berlebihan. Pada tahun 2007 perekonomian China bisa tumbuh hingga 11 persen, sedangkan India 8,7 persen. Jika tidak dikendalikan, ini akan bermuara pada lonjakan harga minyak lebih cepat.

"Soft landing"

Karena itu, yang kini diperlukan adalah soft landing (perekonomian yang "mendarat" mulus). Perekonomian China diharapkan tumbuh maksimal 9 persen, agar tidak terlalu konsumtif terhadap energi sehingga terhindar dari hard landing atau bahkan crash landing.

Di Indonesia, yang bisa dilakukan Bank Indonesia adalah melakukan intervensi secara hati-hati. Sama dengan yang dilakukan bank sentral lain, likuiditas di pasar harus terjaga pasokannya. Tidak boleh terjadi kelangkaan valuta asing di pasar, yang bisa menambah kepanikan. Dengan cadangan devisa 52,3 miliar dollar AS, sementara potensi capital outflow maksimal 20 miliar dollar AS, seharusnya pasar finansial kita dapat ditenangkan.

Sementara itu, seharusnya Bank Indonesia tidak tergoda untuk memberlakukan kontrol devisa (capital control), sebagaimana Bank of Thailand pernah mencobanya pada 18 Desember 2006. Upaya bank sentral Thailand untuk menahan agar modal jangka pendek asing bertahan lebih lama di sana melalui regulasi ternyata berbuah kepanikan yang kontraproduktif.

Kombinasi antara jaminan likuiditas valas di pasar, mempertahankan suku bunga BI Rate pada level konservatif 8,25 persen, dan tidak mengusik modal asing jangka pendek melalui represi (bukannya persuasi) merupakan tiga instrumen kunci bagi Bank Indonesia untuk merajut sentimen positif.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

No comments: