Wednesday, August 15, 2007

Memacu Industri Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi


Target Muluk, Iklim Usaha Buruk
Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan industri tak pernah mencapai target. Meski tahun lalu hanya tumbuh lima persen, pemerintah berani menetapkan target pertumbuhan industri 2007 sebesar 7,9 persen dan 2008 8,6 persen. Bisakah terealisasi?
-----------------

Sektor industri dijadikan penggerak utama pembangunan nasional sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan tantangan pembangunan ke depan adalah mengembangkan perekonomian yang didukung penguasaan dan penerapan teknologi tinggi.

Paskah mengharapkan hal itu terealisasi dengan mengembangkan kelembagaan yang efisien, praktik-praktik perekonomian dan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Untuk itu, perlu transformasi bertahap dari ekonomi berbasis keunggulan komparatif ke ekonomi berbasis keunggulan kompetitif. "Struktur perekonomian perlu diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak utama yang didukung sektor pertanian dalam arti luas," tegasnya.

Rencana pengembangan industri telah dimasukkan dalam empat periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Tahap pertama 2005-2009, kedua 2010-2014, ketiga 2015-2019, dan keempat 2020-2024. Tujuan terakhir RPJM, menurut Paskah, adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan. Namun itu hanya rencana di atas kertas.

Kenyataannya, pertumbuhan industri tak menunjukkan hasil yang gemilang. Itu diakui Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Pada 2005, pertumbuhan industri hanya 5,9 persen, lebih rendah dari target 6,8 persen. Sedangkan 2006 pertumbuhan industri hanya lima persen, jauh di bawah target yang ditetapkan enam persen. Anehnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan industri 2007 7,9 persen dan 2008 8,6 persen.

Anjloknya pertumbuhan sektor industri sebenarnya terjadi sejak krisis ekonomi (1997-1998). Sebelum krisis pada 1996, pertumbuhan industri mencapai 11,66 persen. Setelah krisis ekonomi 1998, pertumbuhan sektor industri minus 13,10 persen. Meski telah terjadi peningkatan setelah itu, namun belum mampu mengembalikan ke kondisi semula.

Ekonom FE UI Faisal Basri menilai target pertumbuhan industri 2007 dan 2008 terlalu tinggi. Menurutnya, target sebesar itu hanya bisa dicapai jika ada investasi baru atau ekspansi, baik untuk peningkatan kapasitas maupun perluasan produksi. Kalaupun ada pertumbuhan, tahun ini paling hanya mencapai 6 persen dan tahun depan 6,5 persen. Itu karena tahun lalu investasi yang masuk sangat minim. "Sebab, kegiatan investasi tahun lalu baru terlihat hasilnya tahun ini," ungkapnya.

Tahun lalu, berdasar laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) hanya Rp 20,78 triliun. Sementara penanaman modal asing (PMA) USD 5,98 miliar. Realisasi investasi 2006 itu memperlihatkan penurunan dibanding 2005. Pada 2005, investasi PMDN Rp 30,67 triliun dan PMA USD 8,91 miliar.

Penurunan realisasi investasi membuktikan bahwa iklim penanaman modal masih jauh dari kondusif. Ekonomi biaya tinggi yang bersumber sejak proses perizinan usaha hingga pemasaran produk, stabilitas keamanan, dan kepastian hukum, masih menjadi momok menakutkan bagi kegiatan investasi. Selain itu, arus masuk barang-barang selundupan, khususnya dari Tiongkok, membuat produk-produk buatan industri nasional sulit bersaing.

Meski pemerintah telah mengeluarkan UU Penanaman Modal untuk merangsang investasi, namun aturan pelaksananya secara bertahap baru hadir pada pertengahan 2007. Akibatnya, beberapa industri terpaksa hengkang dari Indonesia karena tak kuat menahan berbagai permasalahan industri di Tanah Air. Yang terbaru, perusahaan cokelat Cadbury merelokasi pabriknya ke Malaysia dan Thailand akibat instrumen fiskal di Indonesia membuat bahan baku yang mereka impor menjadi mahal.

Selain itu, berbagai permasalahan klasik sektor industri belum juga terpecahkan hingga saat ini. Industri keramik dan pupuk yang masih menghadapi seretnya pasokan gas, industri produk karet yang menghadapi ketidakpastian aliran listrik, lalu industri tekstil yang menghadapi gencarnya produk impor. Masih ada industri logam yang menghadapi mahalnya biaya energi (listrik dan gas), serta industri baja yang belum mendapat kepastian mengenai pasokan bahan baku bijih besi. Karena itu, perlu kerja keras secara lintas sektoral untuk memacu pertumbuhan sektor industri. (agus wirawan)

No comments: