Robert Bala
Akhir-akhir ini, frase "tanggung jawab sosial" menjadi populer. Ini tidak hanya terkait regulasi perundang-undangan, tetapi lebih merupakan sapaan batin dan tuntutan etis untuk memperbarui cara pandang dan tata tindak.
Hutan di Bumi, demikian Worldwatch Institute, kini berkurang 20 juta hektar per tahun. Padahal hingga 1970, pengurangan itu baru mencapai 5 juta hektar. Lain lagi menurut IBGE. Sebanyak 5 persen hutan Amazon sudah lenyap. Kelihatannya kecil, tetapi jika 1 persen setara 40.000 kilometer persegi, kita pun terperangah, dan spesies penghuni hutan pun turut raib. Bila antara tahun 1500 dan 1850, hanya satu spesies hilang dalam 10 tahun, pascatahun 2000, hal itu terjadi setiap jam, demikian tulis Leonardo Boff, (Ecologia, Teologia y Nuevos Paradigmas: 1999).
Tidak kurang tragedi teknologi. Meledaknya pabrik kimia di Seveso, Italia (1970); bocornya Three Mile Islands, AS, 1979, yang mengakhiri mitos energi nuklir tidak berbahaya; Tragedi Bhopal India dengan 3.000 korban jiwa dan 400.000 menderita, konsekuensinya hingga Chernobil di Ukraina tahun 1986 adalah beberapa contoh. Tidak cukup. Ada tumpahan 76.000 ton minyak dari Exxon Valdez yang mencemarkan 5100 kilometer garis pantai (H Hobbelink, 1992).
Di Indonesia, tragedi Lapindo merupakan nestapa tak henti. Seluas 200 hektar, bahkan diperkirakan 400 hektar, lahan produktif lumat. Sebanyak 7.000 warga kini mengungsi karena desanya tenggelam. Meledaknya sumur migas Sukowati 5 di Bojonegoro juga meninggalkan korban. Kini 13 juta warga yang tinggal dekat 20 blok sumur minyak yang masih beroperasi bisa menjadi korban berikut (Kompas 12/8/2007).
Ambivalensi
Garza TreviƱo (2001) dalam Responsabilidad Social y Etica mengakui perlunya tanggung jawab sosial dan etis. Sayang, kita selalu ambivalen. Kita sering mengartikan tanggung jawab sosial sebagai usaha optimal tiap perusahaan untuk menghasilkan kegunaan, bahkan keuntungan, bagi dirinya. Sebaliknya, bila merugi, ia akan menjadi beban bagi masyarakat dan negara.
Namun, cukupkah itu? Lebih lagi, pada saat bersamaan, ada korban menderita akibat langsung atau tidak langsung dari sebuah usaha. Kita sebut korban Lapindo, pengungsi di Morowali, dan lainnya. Tanggung jawab sosial lalu diperluas kepada keterlibatan sosial karitatif membantu korban.
Sekilas, tindakan altruis dan filotrofis seperti itu patut dibanggakan. Namun, ia masih terbatas dan hanya merupakan ekspresi setengah hati karena akar terdalam yang menyentuh rasa kemanusiaan yang adil dan beradab belum tersentuh. Sebaliknya, manusia yang punya kesadaran penuh akan membangun sebuah moral sosial yang mengacu komitmen memperlakukan alam semanusiawi mungkin. Pada saat bersamaan, tuntutan batin sebagai ekspresi etika yang tangguh akan mewujudkan keterlibatannya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan
Ekologi mental
Wajah dunia yang retak dengan lebih kerapnya bencana alam yang menimpa adalah indikasi agar darinya terlahir imperatif moral. Jelasnya, sesuatu yang sebelumnya masih menjadi pilihan sukarela perlu beralih kepada keharusan. Paradigma baru yang mewajibkan perlu diambil.
Pertama, pengusaha yang memiliki uang dan peralatan teknologi perlu menyadari semuanya hanya merupakan sarana atau aturan (nomos, darinya lahir ekonomi) dan bukan tujuan. Di atasnya ada nilai (logos, darinya lahir ekologi). Sayang, terjadi sebaliknya. Teknologi destruktif kerap terjadi, sementara ekonomi yang lebih mementingkan kuantitas dan pencapaian target tak jarang membuat pertimbangan kualitas-ekologis tak berdaya. Tindakan sosial-etis diharapkan mengembalikan primasia ekologi.
Kedua, pemerintah sebagai pengambil keputusan perlu (lebih) bijak dalam menentukan pola pembangunan yang pas. Kemiskinan yang melanda tidak harus "diselamatkan" oleh eksplorasi, atau bahkan eksploitasi, tanpa batas atas alam. Dalam kenyataan, pilihan ini banyak dilakukan. "Kolaborasi haram" antara pemerintah dan pengusaha untuk meredam seruan tentang dampak destruktif pembangunan yang diprediksi bakal hadir sebagai konsekuensinya.
Sebaliknya, konsep pembangunan berkelanjutan perlu diimplementasikan, dengan pemerintah secara konsisten menyusun langkah strategis sebagai pijakan menuju jenjang lebih baik. Ia tidak sekadar menjiplak model pembangunan "instan" untuk menyelamatkan bangsa dari krisis, tetapi konsisten membangun tahap-tahap pembangunan. Dimulai dari kesadaran moral yang tinggi, disiplin diri, dan komitmen sosial yang dominan. Di atasnya baru kita bisa bermimpi sebagai The Big Five.
Ketiga, perlunya panggilan universal terhadap semua manusia untuk merumuskan siapa dirinya dalam kaitan dengan alam. Ia menyadari perusakan alam berakar dari timpangnya pikiran dan kotornya hati. Karena itu, ekologi mental perlu diberi tempat. Ada keyakinan, ketika batin manusia menjadi lebih bening, dengan mudah merembes demi terciptanya ekologi sosial dan lingkungan, hingga bermuara kepada penciptaan ekologi yang lebih integral, manusia bersatu membangun kebersamaan, dengan sesama dan alam.
No comments:
Post a Comment