chatib basri
STAF khusus Menteri Keuangan M. Chatib Basri tidak setuju jika iklim investasi dinilai menjadi biang kerok utama rendahnya penyaluran kredit. Dia mengatakan, pertumbuhan investasi memang merosot pada paro pertama 2006 akibat kenaikan harga BBM pada 2005. Namun, pertumbuhannya sudah mulai pulih hingga Maret tahun ini.
Sektor riil sendiri, kata Chatib, mulai pulih sehingga sudah layak mendapat kucuran kredit. Hal tersebut ditunjukkan sejumlah indikator seperti meningkatnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Ini artinya konsumsi masyarakat terus meningkat," kata Chatib kemarin.
Ketua LPEM FE UI itu mengakui, sejumlah kalangan kurang sreg jika pertumbuhan ekonomi di sektor riil bakal langgeng ditopang sisi konsumsi. Namun, menurut dia, meningkatnya konsumsi masyarakat menunjukkan perbaikan dari sisi pendapatan. Hal tersebut merupakan sinyal yang cukup positif bagi sektor riil.
Pemulihan ekonomi, terutama sektor riil di Indonesia pasca-krisis juga cukup menggembirakan. Pemulihan ekonomi Indonesia memang masih lebih rendah dibanding Korea Selatan ataupun Malaysia. Tapi, tidak ada satu negara Asia pun yang melakukan perubahan ekonomi secara drastis bersamaan dengan perubahan sistem politik. Karena itu, masih cukup bagus jika ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen.
Chatib melihat persoalan sektor keuangan dan sektor riil pada perbedaan persepsi antara pelaku keduanya. Kata dia, sektor rill merasa sudah cukup layak diberi kucuran kredit. Sedangkan perbankan masih menilai risikonya terlalu tinggi. Inilah yang menyebabkan selisih antara BI Rate dengan bunga pinjaman masih cukup lebar.
"Yang menjadi persoalan adalah adanya informasi yang tidak simetris antara bank dan peminjam. Bank menganggap industri memiliki risiko yang tinggi, sedangkan peminjam mengatakan industri baik-baik saja," kata Chatib. Dia menyarankan dibentuk biro kredit yang dapat memberikan informasi kepada bank mengenai tingkat risiko peminjam. Dengan begitu, bank tidak harus mengeluarkan biaya tinggi untuk survei peminjam sebelum memberikan kredit. "Ini menekan lending rate," ujarnya.
Soal penurunan BI Rate, Chatib tidak setuju jika dilakukan secara drastis. Sebab, penurunan suku bunga belum tentu diikuti pertumbuhan kredit. Penurunan drastis BI Rate bakal memicu inflasi lebih tinggi. "Meski ada ruang untuk menurunkan BI Rate, penurunannya yang terlalu progresif menyebabkan inflasi yang tinggi," lanjutnya.
Inflasi tinggi tersebut mungkin terjadi karena penurunan suku bunga hanya menggerakkan sektor ritel. Dari sisi supply tak bergerak akibat tidak adanya ekspansi produksi. "Pada gilirannya, hal itu memicu inflasi," katanya. Jika inflasi tinggi, kondisinya akan memburuk. Sebab BI terpaksa menaikkan kembali suku bunga. Jika hal itu terjadi, akan terjadi perubahan struktur makro. "Di sisi lain, perkembangan ekonomi global, bank sentral negara lain menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi." (sof)
STAF khusus Menteri Keuangan M. Chatib Basri tidak setuju jika iklim investasi dinilai menjadi biang kerok utama rendahnya penyaluran kredit. Dia mengatakan, pertumbuhan investasi memang merosot pada paro pertama 2006 akibat kenaikan harga BBM pada 2005. Namun, pertumbuhannya sudah mulai pulih hingga Maret tahun ini.
Sektor riil sendiri, kata Chatib, mulai pulih sehingga sudah layak mendapat kucuran kredit. Hal tersebut ditunjukkan sejumlah indikator seperti meningkatnya penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Ini artinya konsumsi masyarakat terus meningkat," kata Chatib kemarin.
Ketua LPEM FE UI itu mengakui, sejumlah kalangan kurang sreg jika pertumbuhan ekonomi di sektor riil bakal langgeng ditopang sisi konsumsi. Namun, menurut dia, meningkatnya konsumsi masyarakat menunjukkan perbaikan dari sisi pendapatan. Hal tersebut merupakan sinyal yang cukup positif bagi sektor riil.
Pemulihan ekonomi, terutama sektor riil di Indonesia pasca-krisis juga cukup menggembirakan. Pemulihan ekonomi Indonesia memang masih lebih rendah dibanding Korea Selatan ataupun Malaysia. Tapi, tidak ada satu negara Asia pun yang melakukan perubahan ekonomi secara drastis bersamaan dengan perubahan sistem politik. Karena itu, masih cukup bagus jika ekonomi Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen.
Chatib melihat persoalan sektor keuangan dan sektor riil pada perbedaan persepsi antara pelaku keduanya. Kata dia, sektor rill merasa sudah cukup layak diberi kucuran kredit. Sedangkan perbankan masih menilai risikonya terlalu tinggi. Inilah yang menyebabkan selisih antara BI Rate dengan bunga pinjaman masih cukup lebar.
"Yang menjadi persoalan adalah adanya informasi yang tidak simetris antara bank dan peminjam. Bank menganggap industri memiliki risiko yang tinggi, sedangkan peminjam mengatakan industri baik-baik saja," kata Chatib. Dia menyarankan dibentuk biro kredit yang dapat memberikan informasi kepada bank mengenai tingkat risiko peminjam. Dengan begitu, bank tidak harus mengeluarkan biaya tinggi untuk survei peminjam sebelum memberikan kredit. "Ini menekan lending rate," ujarnya.
Soal penurunan BI Rate, Chatib tidak setuju jika dilakukan secara drastis. Sebab, penurunan suku bunga belum tentu diikuti pertumbuhan kredit. Penurunan drastis BI Rate bakal memicu inflasi lebih tinggi. "Meski ada ruang untuk menurunkan BI Rate, penurunannya yang terlalu progresif menyebabkan inflasi yang tinggi," lanjutnya.
Inflasi tinggi tersebut mungkin terjadi karena penurunan suku bunga hanya menggerakkan sektor ritel. Dari sisi supply tak bergerak akibat tidak adanya ekspansi produksi. "Pada gilirannya, hal itu memicu inflasi," katanya. Jika inflasi tinggi, kondisinya akan memburuk. Sebab BI terpaksa menaikkan kembali suku bunga. Jika hal itu terjadi, akan terjadi perubahan struktur makro. "Di sisi lain, perkembangan ekonomi global, bank sentral negara lain menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi." (sof)
No comments:
Post a Comment