|
Oleh: Ahmad Erani Yustika, PhD
Secara politik dan hukum,
Namun, kemerdekaan politik tersebut ternyata tidak diikuti dengan kedaulatan ekonomi. Perekonomian nasional dari waktu ke waktu justru semakin jauh dari citacita kemerdekaan,yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Jika pun mereka memiliki pekerjaan hanya cukup untuk menghidupi secara minimal (subsistem),seperti di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, sektor informal, dan buruh industri. Sedangkan dalam skala internasional,
Kedaulatan Kebijakan
Kedaulatan suatu negara, sebagai implikasi dari kemerdekaan yang sudah diproklamasikan, antara lain ditunjukkan dari kemandirian untuk memproduksi kebijakan.Tetapi, dalam konteks ekonomi, selama
Pemerintah Orde Baru menyusun desain pemulihan ekonomi nasional dengan bersandar pada dua kekuatan yang penting, yakni utang luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA). Seperti biasanya, dalam hubungan antara negara donor dan kreditor tersebut selalu ada timbal budi di balik kesepakatan utang. Di sinilah berlaku adagium yang terkenal ”there is no free lunch”.
Utang dari negara maju (bilateral) maupun lembaga multilateral (IMF,World Bank, dan lain-lain) pasti diikuti dengan banyak syarat, misalnya pemerintah harus membeli kebijakan yang disodorkan oleh negara donor (privatisasi, deregulasi, dan lain sebagainya). Hal yang sama juga terjadi dalam skema PMA.Sebagian besar sektor ekonomi di
Sektor pertambangan, misalnya, telah dikuasai oleh pemain- pemain besar dunia, seperti Freeport, British Petroleum (BP),dan Exxon- Mobil. Sedangkan di sektor perbankan, sebagian besar bank papan atas dunia telah beroperasi secara leluasa di Indonesia, semacam Citybank, Japan Bank, Deutche Bank, dan lain-lain. Sementara itu, di sektor perdagangan dan jasa korporasi- korporasi dunia bertarung sengit untuk memperebutkan pasar
PMA tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk memengaruhi kebijakan pemerintah, tentu dibantu juga lewat lobi pemerintah dari negara asalnya. Celakanya, manfaat PMA terhadap ekonomi domestik (lokal) sampai sekarang masih sumir. Dalam beberapa kasus, masyarakat lokal justru kian terpinggirkan dan lingkungan rusak parah. Penetrasi asing tersebut juga bisa dilihat dari upaya mereka terus mendesak pemerintah untuk melakukan liberalisasi pasar, salah satunya melalui program privatisasi.
Proyek ini mulai marak sejak tahun 1998 ketika momen reformasi ekonomi sedang berjalan di
Sejak saat itu, privatisasi menjadi menu utama kebijakan pemerintah, bahkan termasuk ke usaha-usaha yang sebetulnya sangat strategis, seperti telekomunikasi (kasus privatisasi PT Indosat). Privatisasi itu sekurangnya membawa bencana dalam dua hal. Pertama, negara kehilangan sumber pendapatan yang potensial dari BUMN bagus (semisal telekomunikasi dan perbankan).Kedua, penetrasi asing menjadi lebih kukuh karena pemilik modal yang potensial adalah para taipan dunia itu.
Pertempuran Sektor Pertanian
Bahkan, dalam beberapa komoditas, negara tersebut merupakan eksportir besar dunia di sektor pertanian.Kedua,negara maju sampai kini tetap bertahan untuk menolak mengurangi proteksi terhadap sektor pertaniannya karena menyadari bahwa kebijakan itu akan menghancurkan sektor pertanian (dan petani) mereka. Oleh karena itu, dengan segala cara mereka tetap memberikan perlindungan terhadap sektor pertanian.
Ketiga, sektor pertanian yang maju bisa menjadi lokomotif yang kencang untuk menghela kemajuan ekonomi di sektor lainnya, seperti industri dan jasa. Sayangnya, di sektor pertanian
Hasilnya, tingkat produktivitas dan kompetisi komoditas pertanian
Ahmad Erani Yustika, PhD
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw
No comments:
Post a Comment