Saturday, August 18, 2007

Kedaulatan Ekonomi


Cetak E-mail

Oleh: Ahmad Erani Yustika, PhD

Secara politik dan hukum, Indonesia sudah merdeka 62 tahun yang lalu. Selama hampir delapan windu ini pula kedaulatan bangsa untuk menentukan posisi politik relatif terjaga dengan baik, terlepas dari pasang surut yang terjadi.

Namun, kemerdekaan politik tersebut ternyata tidak diikuti dengan kedaulatan ekonomi. Perekonomian nasional dari waktu ke waktu justru semakin jauh dari citacita kemerdekaan,yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada level domestik, sebagian besar masyarakat Indonesia tercekam dalam kondisi melarat dan menganggur.

Jika pun mereka memiliki pekerjaan hanya cukup untuk menghidupi secara minimal (subsistem),seperti di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, sektor informal, dan buruh industri. Sedangkan dalam skala internasional, Indonesia menjadi pasar yang empuk bagi produk-produk asing, bahkan untuk komoditas pertanian sekalipun. Inilah nasib buruk yang dialami rakyat Indonesia tepat di hari kemerdekaan sekarang.

Kedaulatan Kebijakan

Kedaulatan suatu negara, sebagai implikasi dari kemerdekaan yang sudah diproklamasikan, antara lain ditunjukkan dari kemandirian untuk memproduksi kebijakan.Tetapi, dalam konteks ekonomi, selama Indonesia merdeka rasanya kedaulatan dalam menyusun kebijakan ekonomi belum pernah disentuh oleh bangsa ini,khususnya sejak masa Orde Baru.

Pemerintah Orde Baru menyusun desain pemulihan ekonomi nasional dengan bersandar pada dua kekuatan yang penting, yakni utang luar negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA). Seperti biasanya, dalam hubungan antara negara donor dan kreditor tersebut selalu ada timbal budi di balik kesepakatan utang. Di sinilah berlaku adagium yang terkenal ”there is no free lunch”.

Utang dari negara maju (bilateral) maupun lembaga multilateral (IMF,World Bank, dan lain-lain) pasti diikuti dengan banyak syarat, misalnya pemerintah harus membeli kebijakan yang disodorkan oleh negara donor (privatisasi, deregulasi, dan lain sebagainya). Hal yang sama juga terjadi dalam skema PMA.Sebagian besar sektor ekonomi di Indonesia selama ini sudah dikuasai oleh asing, seperti sektor pertambangan, perdagangan, perbankan, jasa, dan lain-lain.

Sektor pertambangan, misalnya, telah dikuasai oleh pemain- pemain besar dunia, seperti Freeport, British Petroleum (BP),dan Exxon- Mobil. Sedangkan di sektor perbankan, sebagian besar bank papan atas dunia telah beroperasi secara leluasa di Indonesia, semacam Citybank, Japan Bank, Deutche Bank, dan lain-lain. Sementara itu, di sektor perdagangan dan jasa korporasi- korporasi dunia bertarung sengit untuk memperebutkan pasar Indonesia yang luas.

PMA tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk memengaruhi kebijakan pemerintah, tentu dibantu juga lewat lobi pemerintah dari negara asalnya. Celakanya, manfaat PMA terhadap ekonomi domestik (lokal) sampai sekarang masih sumir. Dalam beberapa kasus, masyarakat lokal justru kian terpinggirkan dan lingkungan rusak parah. Penetrasi asing tersebut juga bisa dilihat dari upaya mereka terus mendesak pemerintah untuk melakukan liberalisasi pasar, salah satunya melalui program privatisasi.

Proyek ini mulai marak sejak tahun 1998 ketika momen reformasi ekonomi sedang berjalan di Indonesia. Saat itu, Indonesia menjadi pasien dari IMF dengan kucuran dananya, namun IMF (dan negara maju yang berada di baliknya) meminta Indonesia untuk menerima obat yang mereka tawarkan, di antaranya privatisasi.

Sejak saat itu, privatisasi menjadi menu utama kebijakan pemerintah, bahkan termasuk ke usaha-usaha yang sebetulnya sangat strategis, seperti telekomunikasi (kasus privatisasi PT Indosat). Privatisasi itu sekurangnya membawa bencana dalam dua hal. Pertama, negara kehilangan sumber pendapatan yang potensial dari BUMN bagus (semisal telekomunikasi dan perbankan).Kedua, penetrasi asing menjadi lebih kukuh karena pemilik modal yang potensial adalah para taipan dunia itu.

Pertempuran Sektor Pertanian

Para ahli ekonomi pembangunan secara eksplisit menyatakan bahwa pertempuran ekonomi yang sesungguhnya ada di sektor pertanian. Pernyataan itu sekurangnya bisa didukung oleh tiga argumen berikut. Pertama, negara-negara yang saat ini tergolong maju, seperti AS dan Jepang, sampai kini tetap mempertahankan pembangunan pertanian sebagai alas ketahanan pangan.

Bahkan, dalam beberapa komoditas, negara tersebut merupakan eksportir besar dunia di sektor pertanian.Kedua,negara maju sampai kini tetap bertahan untuk menolak mengurangi proteksi terhadap sektor pertaniannya karena menyadari bahwa kebijakan itu akan menghancurkan sektor pertanian (dan petani) mereka. Oleh karena itu, dengan segala cara mereka tetap memberikan perlindungan terhadap sektor pertanian.

Ketiga, sektor pertanian yang maju bisa menjadi lokomotif yang kencang untuk menghela kemajuan ekonomi di sektor lainnya, seperti industri dan jasa. Sayangnya, di sektor pertanian Indonesia sedang menuju ke arah sebaliknya. Sudah sejak lama proteksi dikurangi sedikit demi sedikit sehingga kian mempersulit kehidupan petani. Kebijakan pemerintah makin menjauh dari sektor pertanian, antara lain ditunjukkan dari mutasi lahan yang terus berlangsung, infrastruktur pertanian yang rusak, dan kelembagaan ekonomi yang hancur.

Hasilnya, tingkat produktivitas dan kompetisi komoditas pertanian Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain,seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Sekarang Indonesia merupakan salah satu net importir terbesar untuk komoditas pertanian, semacam kedelai, jagung, gandum, buah-buahan,susu, daging, dan seterusnya. Hal yang sama juga untuk benih yang sebagian besar harus diimpor. Intinya, di sektor pertanian yang merupakan sumber kedaulatan ekonomi terpenting- Indonesia sudah kalah telak sejak lama. Refleksinya, secara ekonomi masihkah Indonesia layak disebut negara yang berdaulat?(*)

Ahmad Erani Yustika, PhD
Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan FE Unibraw

No comments: