Oleh Agus Widarjono
Pasar keuangan dunia bergejolak. Ini diawali dari pasar keuangan di AS akibat rendahnya tingkat pembayaran subprime mortages atau surat utang dengan jaminan kredit pemilikan rumah (KPR). Gejolak di pasar obligasi itu berimbas pula ke pasar saham. Pasar saham di New York Stock Exchange (NTSC) akhirnya juga rontok.
Sebagai pusat pasar keuangan dunia, gejolak di pasar keuangan AS berimbas ke segala penjuru dunia. Dasyatnya gejolak tersebut dikhawatirkan mengakibatkan resesi dunia. Beberapa bank sentral melakukan intervensi pasar dengan menyuntik dana segar ke pasar keuangan. Bank sentral AS, the Federal Reserve, menggelontorkan dana USD 24 miliar. Langkah itu juga dilakukan bank sentral Uni Eropa dengan mengucurkan dana USD 130 miliar.
Jepang tak ketinggalan. Bank sentral Jepang menginjeksi dana segar 1 triliun yen. Langkah tiga bank sentral terbesar di dunia tersebut diikuti Kanada, Australia, Singapura, Korsel, dan lainnya. (Jawa Pos, 11/8).
Walau pelaku pasar keuangan domestik tidak memiliki exposure kredit subprime mortages tersebut, tetap saja pasar keuangan kita terkena imbasnya. Harga saham terkoreksi cukup signifikan. Setelah mengalami keperkasaan pada Juli lalu, IHSG terus menurun hingga pada kisaran 2.200. Nilai tukar rupiah juga terkena imbasnya.
Capital Outflow
Sebelum muncul gejolak pasar keuangan dunia saat ini, pasar keuangan domestik mengalami bulan madu dengan derasnya capital inflow akibat pasar keuangan dunia mengalami kelebihan likuiditas dengan jumlah tak kurang dari USD 1,5 triliun. Hot money itu masuk ke pasar domestik dalam berbagai produk keuangan seperti saham, obligasi korporasi, SUN, dan SBI. Saat ini diperkirakan terdapat hot money di pasar keuangan domestik Rp 220 triliun.
Membanjirnya hot money tersebut menyebabkan IHSG mengalami kenaikan cukup signifikan dalam waktu relatif cepat. Pada 24 Juli 2007, IHSG menunjukkan keperkasaannya menyentuh level di atas Rp 2.400. Begitu pula, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level Rp 8.800 pada Mei lalu.
Itulah karakteristik pasar keuangan. Para pemilik modal berinvestasi di pasar keuangan, seperti pasar saham, hanya didasarkan pada ekspektasi, bukan pada realitas yang terjadi di sektor riil. Mereka hanya mencari capital gain yang setinggi-tingginya, bukan mengharapkan pembagian deviden.
Harga saham akan cepat membubung tinggi dan dalam waktu cepat pula akan kembali terjerembab.
Karena itu, kedua indikator di sektor keuangan tersebut bersifat semu. Perkasanya IHSG maupun kurs rupiah hanya bersifat siklikal. Membaiknya kedua indikator tersebut disebabkan membanjirnya hot money yang sedang haus mencari return yang tinggi. Keduanya akan kembali terkoreksi ketika hot money kembali mengalir keluar.
Gejolak pasar keuangan saat ini menjadi bukti. Akibat pasar keuangan dunia kekurangan likuiditas, para pemilik modal kembali menarik dananya dari pasar keuangan domestik. Di antara jumlah hot money yang ada di pasar keuangan domestik, ditengarai sudah ditarik antara USD 1-1,5 miliar.
Spekulasi
Akibat arus modal balik dari hot money itu, minggu lalu rupiah sempat menyentuh level Rp 9.400 per dolar, walau kemudian kembali menguat tipis. Kurs rupiah saat ini memang masih aman karena diasumsikan kurs berada pada kisaran Rp 9.000-9.500 per USD di tahun ini.
Walau sekarang hot money belum mengalir deras keluar kembali, sebaiknya Bank Indonesia (BI) sebagai penjaga gawang mewaspadai kestabilan nilai tukar rupiah. Kalau perlu, BI bertindak proaktif karena mengalirnya kembali hot money keluar berpotensi terhadap kestabilan nilai tukar rupiah.
BI harus berhati-hati menentukan tingkat suku bunga SBI agar hot money tetap nyaman di Indonesia. Keberhasilan BI mengelola inflasi pada kisaran 6 persen menyebabkan BI cenderung terus menurunkan suku bunga SBI agar fungsi intermediasi bank berjalan normal kembali.
Terakhir suku bunga SBI diturunkan menjadi 8,25 persen. Pengalaman menunjukkan, hot money akan merasa nyaman jika suku bunga riil di Indonesia pada kisaran 1,5-2 persen.
Itu kebijakan yang cukup dilematis. Jika BI tetap mempertahankan SBI yang tinggi, perbankan akan sedikit melupakan fungsi intermediasinya. Namun, bila diturunkan, akan terjadi gejolak di pasar valuta asing. Sejarah mencatat, ketika suku bunga SBI menjadi 7 persen pada 2004, nilai tukar rupiah mengalami gejolak.
BI juga harus bersiaga melakukan intervensi pasar untuk menstabilkan rupiah apabila terjadi arus pembalikan modal hot money dalam waktu cepat dan skala yang cukup masif. BI, tampaknya, terlalu percaya diri. Kalau bank sentral negara lain bertindak reaktif, BI tampak tenang-tenang. Sebab, cadangan devisa USD 52,3 miliar masih mencukupi untuk menstabilkan rupiah jika semua hot money ditarik keluar.
Sayang, terjadinya apresiasi rupiah yang cukup signifikan pada Mei lalu ditentang para eksporter. Akibatnya, rupiah kembali pada posisi level di atas Rp 9.000. Padahal, saat itu apresiasi rupiah hanya bersifat siklikal, akan kembali melemah jika hot money ditarik keluar.
Jika saat itu tetap dibiarkan apresiasi, dana yang digunakan untuk intervensi ke pasar oleh BI saat ini jauh lebih sedikit.
Yang perlu diwaspadai ialah potensi spekulasi. Unsur spekulasi, tampaknya, tidak bisa dihindari. Ibarat api dalam sekam. Pasar keuangan kita kini sedang kelebihan likuiditas. Menganggurnya dana perbankan karena belum berjalannya fungsi intermediasi bank mudah digunakan untuk melakukan spekulasi jika terjadi gejolak di pasar valuta asing.
Data BI per April menunjukkan dana pihak ketiga (DPK) 1.299,8 triliun, hanya Rp 855,4 triliun yang disalurkan dalam bentuk kredit. Berarti, ada Rp 374,4 triliun dana menganggur. Karena itu, BI perlu proaktif dengan meningkatkan net open position perbankan agar spekulasi di pasar valas bisa direduksi.
Agus Widarjono MA, dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia Jogjakarta
No comments:
Post a Comment